Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Erick Thohir : Berani meninggalkan bisnis keluarga

JAKARTA: Erick Thohir dikenal sebagai salah satu dari sekian pengusaha muda yang sukses menggeluti bisnis media dan hiburan. Dia pun terobsesi menjadi salah satu raja media di negeri ini. Selain membidik pasar bisnis media yang segmented danme nyasar

JAKARTA: Erick Thohir dikenal sebagai salah satu dari sekian pengusaha muda yang sukses menggeluti bisnis media dan hiburan. Dia pun terobsesi menjadi salah satu raja media di negeri ini. Selain membidik pasar bisnis media yang segmented danme nyasar komunitas, Erick juga melejitkan klub bola basket Mahaka Satria Muda dan Mahaputri Jakarta.

Untuk mengikuti kisah sukses Grup Mahaka, berikut petikan wawancara dengan Erick :

 

Bisa diceritakan kapan mulai terlibat di bisnis media?

Saya pulang dari Amerika Serikat (AS) pada 1993. Saat itu masih berusia 23 tahun. Sekolah sudah selesai danmeraih gelar bachelor dan master[Erick lulus dari National University, California, AS]. Kenapa pulang? Kebetulanbapak saya yang sudah kerja [dagang] dari usia 10-11 tahun, sudahwaktunya istirahat. Kakak saya [BoyGa ribaldi Thohir], pulang pada 1991 langsung meneruskan bisnis keluarga, sehingga ketika saya pulang ke Indonesia, juga langsung membantu.

Kami punya grup [bisnis keluarga] namanya Tri Nugraha Thohir. Bergerakdi empat bidang yakni pertambangan batu bara, properti, restoran (makanan) yakni Hanamasa dan Pronto, serta otomotif (sepeda motor).

Bapak saya, awalnya memiliki belasan perusahaan lalu dijual dan fokus mengelola empat bidang tersebut.

Saya disuruh membantu menanganibisnis makanan (restoran), mulai 1993-1998. Saat itu kami barumemiliki Hanamasa.

Saat baru masuk, gerai Hanamasa baru 3 outlet dan terakhir saya tinggalkansudah ada 20-anoutlet yang tersebar diberbagai kota.

Pronto, yang kami ambil alih, waktu itu ada empat outlet, kemudian sayatutup tiga dan tersisa satu outlet di Pondok Indah.

Dari Pondok Indah kami start ulang lagi dan sekarang ada 3-4 gerai Pronto.

Sebelumnya saya tidak memiliki latar belakang pendidikan untuk bisnis makanan. Saya meraih gelar bachelor untuk advertising dan master dibidang marketing. Tidak ada hubungan, tapi mirip-mirip lah.

Pada 1998, ketika mau mengembangkan bisnis restoran, krisis terjadidan bunga bank naik. Padahal konsep pengembangan ini sudah jadi. Saya mau meminjam Rp10 miliar-Rp20miliar untuk mengembangkan gerai menjadi 50 outlet, ternyata begitu dapat uang Rp3 miliar, bunganya 80%.

Ketika bunga naik menjadi 80% itu berat sekali, tetapi kita bisa bayar sehingga langsung dibayar. Ekspansi tertunda. Memang kebetulan filosofi keluarga saya tidak berutang. Seperti Hanamasa sekarang tidak ada utang dibank sama sekali, nah itu yang menyelamatkan.

 

Kapan memiliki bisnis sendiri?

Ketika ekspansi bisnis resto tertunda, teman-teman saya semasa sekolah di AS, seperti M. Lutfi, Wisnu Wardhana,dan Harry Zulnardy mengajak untuk berbuat sesuatu. Obrolan ini sudah dimulai pada 1996-1997.

Bukannya tidak menurut pada orang tua dan kakak, tetapi sebenarnya saya juga ingin punya bisnis sendiri.

Kebetulan keluarga memutuskan Boy menjadi pimpinan dan kalau saya mau membangun usaha sendiri, tidak boleh menjalankan operasional bisnis keluarga, cukup menjadi komisaris saja, supaya jangan ribut. Lalu, bisnis otomotif, makanan dan lainnya dijalankan oleh para profesional dipegang Boy, saya beserta adik saya [Rika] menjadi komisaris.

Dari situ, setelah teman-teman mengajak, saya pikir-pikir kenapa tidakmencoba. Di keluarga, saya paling bandel, paling gaul. Awalnya bapak dan kakak saya tidak setuju. Mereka menilai sudah ada bisnis keluarga dan kenapa tidak itu saja yang di jaga?

Mereka mengetahui karakter saya, kalau makin ditahan makin rebel. Ya sudah disetujui tetapi tidak boleh yang ada hubungannya dengan bisnis keluarga. Itu yang membuat saya berani meninggalkan bisnis keluarga dan memulai sendiri.

Bersama teman-teman kami membentuk perusahaan, awalnya di trading mulai dari semen, pupuk, beras, kapur, pokoknya bahan kebutuhan. Ternyata sukses, karena memang Lutfi tukang lobi yang bagus, saya pedagang yang bagus, Wisnu tukang hitung yang bagus dan Harry treasury yang bagus.Ya semuanya saling melengkapi.

Dalam perjalanannya, saya diskusi dengan partner-partner saya dan sampaikan, kok trading ini sesuatu yang come and go, saya ingin mencoba ke media, Lutfi menyambut dengan baik, lalu kami mulai membeli perusahaan billboard dan radio, terus Republika (sekitar tahun 2000).

Nah, dari situ sudah mulai tidak bisa berjalan bersama, saya ke media, yang lain ke trading. Dalam perjalanannya masing-masing partner punya visi yang berbeda. Wisnu diminta membantu bisnis keluarga (Grup Indika]. Akhirnya waktu itu kami sepakati, kalau pada sibuk, saya yang mengurusi bisnis media. Saat itu kami membentuk perusahaan namanya Mahaka Media dan Mahaka Niaga. Persentase kami 30:30:30 dan 10.

 

Bagaimana awalnya menemukan nama Mahaka, lalu apa artinya?

Nama Mahaka itu tidak sengaja ditemukan.

Saat kami berbincang, saya membuka kamus Jawa Kuno [Sanskrit], di situ tertulis Mahaka, artinya langkah pertama yang baik, yang besar. Seperti mahakarya [karya besar], maha itu sesuatu yang besar. Saya tidak sengaja menemukannya dan teman-teman menilainya cukup bagus.

Waktu itu saya mendirikan Mahaka Niaga, sedangkan Mahaka Media belum lahir. Dalam perjalanannya, teman-teman sibuk dan saya fokus menangani bisnis media. Ketika Wisnuke luar 2007, sahamnya saya beli, Harry keluar untuk bisnis lainnya, saya beli sahamnya. Sisanya saya dan Lutfi, komposisi 60: 40, lalu go public.

Kisah go public ini juga seru. Sebenarnya tidak mau go public tapi Republika adalah public company meski tidak listed, jadi saya agak aneh. Saya minta tolong bursa efek dan akhirnya go public secara strategik.

Dari tidak terdaftar menjadi terdaftar, dari situlah ada pemegang saham publik sampai saat ini, saya pegang 61%, Lutfi ada 20-an%, sisanya publik.

Rosan P. Roeslani juga beli melalui Recapital, dari situ kami bertumbuh dibawah bendera Mahaka, mulai dari koran, radio, online, terakhir Alif TV.

 

Lalu bagaimana dengan posisi Anda di TV One?

TV One itu tidak berada di bawah bendera Mahaka Media, itu VivaNews. Saya berpartner dengan Anindya [Viva Group] di TV One. Dulu diajak dalam rangka membantu secara operasional dan investasi, saya punya saham sedikit di TV One. Saya berusaha profesional menaruh diri pada tempatnya, tidak boleh conflict of interest.

Mayoritas saham milik mereka sekitar 90%. Hanya mereka melihat saya bisa membantu secara operasional. Kebetulan saya juga melihat ini tantangan.

Saya ini kan problemnya kutu loncat,jadi duduk di satu perusahaan setelah 2-3 tahun kalau sudah jalan saya tinggal, penyakit juga sih. Kenapa saya seperti itu? supaya saya memberi kesempatan kepada profesional untuk menjalankannya. Saya kembali memikirkan aspek strategis. Ini bisa dilihat di struktur Mahaka Media, dirutnya orang lain dan saya komisaris saja.

 

Apa pertimbangannya memilih terjun ke bisnis media?

Sebenarnya saat itu ada tiga pertimbangan.

Pertama, Indonesia pada 1998 menjadi negara terbuka, saya melihat media akan tumbuh karena tidak dikontrol. Kedua, terlepas pada tahun itu masa susah karena krisis, saya yakin ke depan pertumbuhan consumergoods akan tinggi. Media is a consumer goods. Media kan seperti produk, cuma dari angle yang lain, dinikmati dengan mata dan telinga. Ketiga, saya percaya hidup itu mesti give and take, bukan take and give. Saya percaya dengan media juga bisa  berkontribusi sesuatu kepada masyarakat.

Makanya juga saya membatasi diri di areal politik, saya tidak ikut parpol.

Kenapa saya masuk ke media? Saya lihat itu peluang seiring era kebebasan dan consumer goods yang akan berkembang, lalu dari segi edukatif, ini memberikan sesuatu, tetapi konsekuensinya saya tidak boleh terjebak pula diputaran itu. Ini prinsip dan pilihan.

Walaupun, 2 tahun terakhir ini keluarga saya menerima oke. Jadi waktusaya keluar dari bisnis keluarga untuk mengurusi Mahaka, mereka berkata “waduhâ€. Ketika Mahaka jalankan bisnis trading, mereka happy, tapi begitu kita masuk ke bisnis media, keluarga bilang lagi “waduh cari musuh, kalau nulis salah dimusuhin.†Mereka easy going sekali, ketika kita masuk ya mereka agak kurang menerima, bukan mereka tidak setuju dengan kemauan saya, tapi khawatir karena mereka ini kan pedagang.

 

Berapa lama pergulatan memutuskan pindah ke media?

Sekitar 6 bulanan, dan saya rasa itu pilihan yang tepat, karena ketika beberapa partner kita fokus ke tempat lain, niaganya juga goyang, bagi tugasnya jadi tidak seimbang.

 

Ke depan, apakah ada rencana membeli media atau televisi lagi?

Saya juga mesti terima kasih dalam pengembangan hidup saya ini banyak partner, seperti di Mahaka ada Lutfiada Rosan, di JAK TV ada Artha Graha (Tommy Winata), di TV One ada Bakrie, jadi banyak partner. Tapi untungnya partner-partner tadi mempercayakan kepada saya, saya dianggap transparan dan profesional, kalau tidak mana mungkin mereka mau bekerja sama dengan saya, saya transparan dan professional, dan yang terpenting ketika menjalankan I act asa professional not as an owner.

Kami sekarang menjadi punya dua bendera, Mahaka Media dan Alif. Mahaka Media untuk media dan Alif untuk entertainment company. Alif ini menaungi produk-produk terkait hiburan.

Kami mulai pisahkan antara media dengan entertainment. Kalau Beyond Media itu saya, holding company saya. Basicly Beyond Media bergerak sebagai holding. Mahaka Media itu public company, untuk TV One itu my personal.

 

Bagaimana melihat bisnis media ke depan di Indonesia?

Bisnis 360 derajat integrated services, bercampur antara media, entertainment, multiplatform dan konten is theking. Beberapa hal yang memang bagian yang bisa diefisiensikan kita efisiensikan, distribusinya kita gabungkan karena tidak ada hubungan dengan konten.

 

Pengalaman yang Anda selalu kenang dalam berbisnis?

Keputusan yang selalu dikenang, ya ketika saya memtuskan memulai usaha sendiri, terus memutuskan juga dari Mahaka Niaga ke Mahaka Media.

Sebetulnya orang tidak tahu pada 2006 saya lagi susah-susahnya karena masalah cash flow, kebetulan bisnis lagi tidak jalan, tapi tiba-tiba ada ekspansi,tapi cash flow tidak cukup.

Maka saya mesti jual lukisan dan jual mobil. Saya sebenarnya bisa berutang ke bank, tapi saya pikir itu ada lukisan atau mobil, kenapa tidak dipakai, padahal sayang lukisan itu ada karya Affandi. Anak buah saya tahu bahwa saya berani mengorbankan sesuatu yang pribadi untuk kita semua. Loyalitas itu mesti dibentuk dari dua pihak, dari kita sebagai pimpinan dan dari tim. Kalau dari anak buah ke atasan itu normal, tapi pimpinan itu harus memberi contoh.

Saya memang kontradiksi, di satu pihak dikatakan ekspansi, tapi loyal. Jadi seperti dua sisi, saya ini Gemini.

Di sisi satu sangat eksploratif dan satu sisi lainnya, secure. Saya juga membagi area publik dengan private.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Sumber : Bisnis Indonesia

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper