Rosa Christiana Ginting: Suka Gaya Empower

News Editor
Rabu, 5 September 2012 | 08:05 WIB
Bagikan

Sebagai dokter, Rosa Christiana Ginting memahami soal kesehatan. Namun, kalau tentang marketing, dia mengaku banyak yang lebih hebat dari dirinya. Prinsip tak segan belajar dari siapa saja menjadi salah satu kunci Rosa memimpin PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia.

Dalam sebuah wawancara dengan Bisnis, Rosa juga memaparkan banyak hal tentang filosofi kepemimpinan, persaingan, motivasi karyawan, strategi pasar, hingga soal hobi yang dijalani untuk mengisi waktu luang. Berikut petikannya:

Bagaimana filosofi Anda dalam memimpin InHealth?

Pemimpin dan yang dipimpin itu harus bersifat menyatu. Pemimpin harus kenal yang dipimpin dan yang dipimpin juga kenal dengan pemimpinnya. Bagi saya, itu prinsip.

Pemimpin harus melihat ekspektasi mereka terhadap pimpinan. Saya men­coba menggali. Mereka pasti meng­harapkan pemimpin yang menye­­mangati, punya integritas, mau mendengar, mau mengajak, inspiring, passion, dan humble. Itu harapan umum, siapa pun pasti ingin punya pemimpin seperti itu.

Namun, perusahaan ini juga tidak hanya bergantung pada pemimpinnya, melainkan juga pada orang-orangnya. Di InHealth, saya berharap para karyawan punya jiwa entrepreneur. Maka, saya pun harus menjadi entreleader, yaitu pemimpin yang membawa orang-orang yang dipimpin menjadi entrepreneur. 

Apa poin-poin Anda sebagai entreleader?

Supaya mereka bisa melihat dan termotivasi. Poin yang saya pegang untuk bisa memimpin harus punya dua karakter, sebagai leader dan entrepreneur yang disebut entreleader.

Karyawan yang berjiwa entrepreneur yaitu karyawan yang mampu mengelola pekerjaan, berani bekerja, berani action, berani ambil risiko, dan dapat mengalkulasi risiko. Jangan sedikit-sedikit tanya direksi. Sebab kalau sedikit-sedikit menunggu direksi, akan makan waktu. Perusahaan jadi tidak dapat bergerak cepat dan bersaing dengan perusahaan lain.

Maka, saya harus punya karakter yang melayani mereka, tetapi meng-encourage mereka untuk menjadi lebih. Saya juga harus menjadi contoh bagi mereka. Kalau saya bilang, kita harus punya integritas yang tinggi. Maka saya harus mulai dari diri saya sendiri. Kalau saya bilang, kita harus disiplin, harus tepat waktu. Saya harus tunjukkan itu.

Kedua, prinsipnya encourage. Mem­­buat mereka menjadi berani, membuat mereka memiliki passion dalam bekerja. Mereka harus berani me­­nyam­­paikan ide, tidak boleh ada rasa takut. Saya percaya di setiap diri ma­­nusia itu banyak potensi yang harus dikembangkan. Sejak saya ada di sini [InHealth], itu sudah saya terapkan pada diri saya.  

Apa tantangan dalam bisnis yang InHealth, apa strategi Anda?

Tantangannya adalah membangun, mempertahankan, dan meningkatkan citra perusahaan. Citra dalam konteks yang luas, tidak hanya kantor bagus, orang-orangnya ramah, pelayanan baik, tetapi juga bagaimana laporan keuangannya.

Saya ingin InHealth memiliki citra sebagai perusahaan yang layak dipercaya. Nah, orang akan percaya kalau prestasi kita bagus dan kalau kita tidak cacat.

Ini adalah perusahaan yang menjual jasa, sehingga bergantung pada kua­litas layanan yang diberikan. Le­­­bih spesifik lagi, jasa yang dijual itu bersifat intangible, tidak dapat dilihat. Berbeda dengan yang menjual barang tampak, yang kami jual adalah janji. Begitu janji itu kita penuhi maka citra kita akan terbangun dan orang akan percaya.

Yang kami layani adalah manusia yang sedang sakit. Maka, kita harus berempati pada peserta itu. Kalau dia sakit, berobat, dia mengharapkan pelayanan seperti apa, kita harus tahu. Pasti mengharapkan layanan yang ramah, yang cepat, yang jelas.

Kalau sudah tahu keinginan konsumen seperti itu, maka kita berlaku seperti yang diharapkan konsumen. Nah itu sangat tergantung kepada sumber daya manusianya, karena SDM-lah yang action di lapangan. Kalau ada cerita bahwa staf InHealth di RS sangat baik dan ramah, itu kan membangun citra. Tetapi kalau pegawainya jutek dan tidak baik, itu dapat merusak citra.

Oleh karena itu, sejak awal rekrutmen SDM kami sudah mulai membangun dan membentuk mereka menjadi entrepreneur yang baik, yang mau melayani, yang humble, yang punya integritas.

Saya bersyukur dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, saat ini kami sudah mulai mendapatkan pujian. Pernyataan bahwa peserta men­da­patkan pelayanan baik dari InHealth ­dan akan menyampaikannya kepada orang lain, sudah beberapa kali saya terima.

Kalau sudah sampai pada fase ini, tantangannya jadi sangat besar. Me­rubah keluhan menjadi menghilangkan keluhan itu lebih mudah daripada mempertahankan pujian. Tambah besar berarti tugas tambah berat. Begitu kepuasan orang-orang turun, maka citra dan kepercayaan orang pun dapat terpengaruh.

Oleh karena itu, kami tidak puas ha­­nya de­­ngan itu. Kami lakukan juga survei dan menyediakan wadah bagi nasabah untuk menyampaikan keluh­a­nnya melalui call center atau website.

Apa strategi berkompetisi dengan perusahaan asuransi jiwa lain?

InHealth memiliki 1,2 juta jiwa peserta. Seluruhnya adalah peserta dari nasabah korporasi, tidak ada yang individual. Bagi asuransi kesehatan, itu adalah yang terbesar. Akan tetapi kami sadar masih banyak masyarakat yang belum terjamin dengan sistem kesehatan yang baik, yaitu manage care.

Sebagian besar asuransi kesehatan bersifat idemnity. Kami meyakini sistem yang melindungi masyarakat adalah yang manage care. Jadi, kami masih terus berjuang memperkenalkan ma­­nage care dan meyakinkan bah­wa manage care merupakan yang pa­­ling baik untuk mereka.

Oleh karena itu, kami sering membuat seminar tentang apa itu manage care dan manfaatnya bagi karyawan dan bagi perusahaan.

Dalam menerapkan manage care, SDM harus mampu menjadi konsultan. Ujung tombak kami, yang disebut sebagai personal care officer (PCO). Mereka betul-betul bekerja sesuai namanya, memberikan care, memberikan pelayanan kepada mereka yang berobat di RS.

Selain itu, ada pula customer leads officer yang menjalin hubungan antara perusahaan (nasabah) dengan ka­­mi sebagai penyelenggara asuransi.

Ada pula provider relation officer (PRO) yang menjalin komunikasi de­­ngan pemberi layanan mi­­salnya ru­­mah sakit, dokter, apotek, dan klinik.

Bagaimana Anda mengelola potensi perusahaan agar bisa maksimal?

Sesuai dengan kebijakan kami, semua pegawai bukan hanya sumber daya, tetapi human capital yaitu mo­­dal. Kalau kita lihat pegawai sebagai sumber daya, maka semakin lama akan habis dipakai.

Namun, kalau kita melihat sebagai human ca­­pital, maka dia adalah salah satu modal yang tum­buh, baik dari sisi mental maupun pengeta­h­u­an, se­­hingga semakin memberikan kontribusi kepada perusahaan seiring de­­ngan perjalanan waktu.

Jika kita memandang mereka seperti itu, maka human capital ini harus terus diisi. Dia harus dibuat menjadi kompeten dan profesional. Salah satu caranya dengan training.

Kami mempunyai banyak training. Pertama, training teknis sesuai de­­ngan bidangnya masing-masing. Se­­lanjutnya ada training managerial. Pelatihan seperti ini sering dan sangat regular. Bahkan ada ketentuan setiap pegawai harus mendapatkan training minimal sekian jam dalam 1 tahun. Kami menggunakan 7% biaya pegawai untuk pelatihan-pelatihan. 

Bagaimana cara Anda mencari solusi masalah dalam perusahaan?

Masalah akan selalu ada di dalam hidup. Sampai kita meninggal. Di mana pun. Ka­­pan pun. Kita hidup untuk menghadapi masalah, menyelesaikannya, me­­nemukan masalah baru, lalu me­­­nye­­lesaikannya lagi, begitu terus.

Itu bukan sesuatu yang menakutkan. Yang paling penting adalah kita dapat mengidentifikasi masalah itu. Jangan sampai dibuat kaget, ternyata ada masalah seperti ini. Misalnya di industri keuangan, peluang masalah adalah target yang tidak tercapai.

Siapa dapat menjamin bahwa target kita akan tercapai? Nah, karena ada peluang tidak tercapai target, maka kita tahu harus melakukan apa. Solusinya sudah disiapkan.

Kedua, yang paling harus diperhatikan adalah integritas SDM. Sering kali sumber permasalahan berawal dari SDM. Ada SDM yang nakal, tidak jujur, atau perilaku yang tidak membangun perusahaan. Itu akan jadi masalah yang membuat pusing.

Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan saya selalu mengatakan tidak ada tempat di InHealth untuk mereka yang tidak mempunyai intergritas. Misalnya mencari-cari peluang untuk mencuri. Yang paling rugi adalah yang bersangkutan. Cepat atau lambat pasti ketahuan. Begitu ketahuan, maka selesai.

Saya lebih menekankan kalau perlu apa-apa ngomong ke saya, dan saya akan berusaha carikan solusianya. Ja­­ngan sampai karena kebutuhan tidak terpenuhi dan tidak tahu mencari di mana maka ada SDM yang jadi “mencari-cari”.

Saya berani bilang begitu, ya saya pun harus begitu. Kalau kita sebagai atasan menunjukkan perilaku yang baik, mereka yang di bawahnya akan ikut. 

Siapa yang paling menjadi inspirasi Anda?

Saya suka pemimpin yang gayanya empower dan memberdayakan yang dipimpinnya sehingga mereka muncul. Sebenarnya banyak. Di luar negeri, Obama seorang kulit hitam, bisa berkampanye dan menang dengan baik. Hillary Clinton juga saya suka. Dia pintar dan mau bersikap, dari tadinya kompetitor lalu berkoalisi. Itu kan perlu sikap mental yang baik sekali.

Di dalam negeri, saya suka gaya [Menteri BUMN] Dahlan yang terobos dan be­­rani. Dia unik dengan caranya. Dia da­­pat meminimalisasi demokrasi. Kalau memang bisa diselesaikan di bawah dan yakin bahwa itu baik, kenapa tidak langsung saja. Kalau ada yang tidak jelas, baru disampaikan. Namun, pintu selalu terbuka, ja­ngan jadi sok tahu, semua dikerjakan sendiri lalu salah. Itu saya tidak mau.

Saya juga kagum dengan Menteri BUMN yang lama, Sofyan Djalil yang sangat kebapakan, rendah hati, dan humble. Dia tidak merasa rendah bertanya kepada bawahan atas hal-hal yang memang dia tidak tahu.

Sebagai dokter, saya mungkin pa­­ham bidang kesehatan. Tetapi kalau soal marketing, banyak yang lebih hebat dari saya. Maka saya belajar dari dia.

Dari kecil saya kagumi ayah saya. Kami dari keluarga biasa-biasa, tetapi ayah selalu menekankan pentingnya pendidikan. Kedua orang tua saya ada­­lah guru dengan sembilan anak. Mereka selalu menekankan kami dari kecil untuk harus belajar, belajar, be­­lajar. Saat ini semua anaknya minimum menjadi sarjana bahkan ada yang mencapai doktor.

Motifnya adalah menyenangkan orangtua. Itu yang mendasar. Sebab, kalau saya begini, ayah pasti senang.  

Di sela-sela waktu luang, apa hobi yang Anda lakukan?

Saya suka membaca buku. Sebagai manusia kita harus mengisi terus, yang mengisi itu ya diri sendiri.

Dari dulu saya memang suka membaca. Suka membaca manajemen. Saya berprinsip manajemen itu harus dipelajari dari buku dan dari aktivitas sehari-hari. Kalau hanya dari aktivitas sehari-hari, kita bisa terjebak bahwa kita yang benar.

Dari buku, saya belajar banyak hal, termasuk konsep tentang entrepreneur dan entreleader yang saya coba terapkan di InHealth. Banyak buku yang menyatakan pengalaman orang lain yang dapat kita gali dan terapkan un­­tuk lingkungan kita.

Buku dapat menjadi acuan, tinggal bagaimana meramunya sehingga menjadi karakter kita, itu yang kita bangun sendiri.

Selain itu saya juga suka berenang di sela waktu luang. Selain hobi, juga karena kebutuhan akan kesehatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Editor : Sitta Husein
Sumber : Anggi Oktarinda, Dinda Wulandari & Roni Yunianto
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper