RIRIEK ADRIANSYAH: Transisi Itu Ibarat Puzzle

Agnes Savithri & Firman Hidranto
Rabu, 27 Mei 2015 | 19:16 WIB
Dirut Telkomsel Ririek Adriansyah/Bisnis-Dedi Gunawan
Dirut Telkomsel Ririek Adriansyah/Bisnis-Dedi Gunawan
Bagikan

 

Malang melintang dalam dunia telekomunikasi selama lebih dari dua dekade, menjadi bekal Ririek Adriansyah mengelola operator telekomunikasi seluler PT Telkomsel yang di awal tahun ini mencanangkan transformasi. CEO yang hobi golf ini bertekad kuat membawa Telkomsel menjadi salah satu perusahaan digital terdepan. Apa visinya, dan bagaimana kiatnya menghadapi tantangan bisnis dan perubahan yang pesat dalam era digital saat ini? Bisnis mewawancarai Direktur Utama Telkomsel baru-baru ini. Berikut petikannya:

Bisa dijelaskan apa yang menjadi visi dan misi Anda untuk transformasi perusahaan?

Kami akan berkomitmen untuk terus berinovasi, berkreasi dan memberikan yang terbaik. Pada 2015 ini, kami tetapkan sebagai tahunnya great experience sehingga pelanggan bisa merasakan layanan yang lebih baik. Kami akan meningkatkan kualitas di legacy business kami yakni SMS dan voice. Selain itu, kami akan memperluas kualitas layanan broadband dan digital serta mengembangkan ekosistem digital.

Apa saja target perusahaan dan optimisme Anda pada tahun ini?

Target perusahaan tahun ini bisa tumbuh triple three. Sebenarnya target seperti ini sudah dicanangkan sejak tiga tahun terakhir. Ini tahun terakhir, namun belum lama ini diminta untuk diteruskan. Kami lihat dahulu seperti apa, tidak lantas tiga tahun kemudian berhenti. Triple double inginnya seperti itu. Revenue –nya double digit. Kontribusi digital juga naik, sedangkan untuk di legacy yakni SMS dan voice juga masih tumbuh. Kami inginnya berbalik, legacy tumbuh namun digital lebih tinggi.

Sejauh mana progres pertumbuhan bisnis khususnya legacy business?

Legacy mulai stagnan, tapi kami beruntung karena masih dapat tumbuh walaupun single digit. Tapi ke depannya kami yakini SMS dan voice akan landai dan perlahan turun. Oleh karena itu kami ingin mengganti melalui layanan data, broadband dan digital. Harapannya, hingga tahun ini bisa memberikan kontribusi 33% terhadap keseluruhan.

Dengan target ini, bukankah saat ini bisnis digital menghadapi tantangan tersendiri, erat juga kaitannya dengan pengembangan infrastruktur? Bagaimana menurut Anda?

Digital tentu memiliki tantangan. Salah satunya yakni handset. Digital membutuhan smartphone sementara penetrasi smartphone hingga saat ini masih rendah. Di sisi lain, Kami tetap melakukan pengembangan infrastruktur. Salah satunya kami memperkenalkan True Broadband Experience (TrueBEx), Digital World, dan Digital Payment. Fokus broadband kami geser sedikit, digantikan dengan TrueBEx. Layanan ini akan lebih menyasar area di kota-kota yang banyak penggunan.

Nantinya tahun ini akan nada 30 broadband city. Kenapa 30. Karena kami melihat 30 ini memiliki demand dan penetrasi smartphone yang cukup tinggi. Smartphone menjadi penting karena pemanfaatan jaringan kurang maksimal jika tidak didukung smartphone.

Bisa dijelaskan arti pengembangan perusahaan ini dalam konteks ekonomi digital?

Kalau mengenai digital economy, kami memiliki beberapa program. Namun yang akan kami mulai terlebih dahulu adalah dari sisi digital payment. Kami akan menggunakan teknologi near field communication (NFC) untuk TCash.

Siapa saja yang akan menjadi sasaran bisnis mobile digital ini?

Saat ini masyarakat pengguna bank belum sebanyak pengguna seluler, walaupun memang satu orang ada yang menggunakan lebih dari satu simcard, sedangkan sisanya masih banyak yang tidak menggunakan bank. Jumlah tersebut tidak mungkin perbankan rangkul semua penduduk. Sehingga harus ada cara lain yang bisa menjangkau mereka. Selain itu, transaksi di wilayah-wilayah tertentu pun nominalnya kecil dan pola transaksinya berbeda. Kami mendorong program pemerintah mendorong less cash society. Kalau berbelanja nominal kecil seperti Rp1.000 atau Rp5.000, akan lebih baik menggunakan digital payment bila dibandingkan dengan uang fisik. Lebih mahal cetak uangnya dibandingkan nilai intrinsiknya sehingga cash less dapat membantu.

Dengan visi operator telekomunikasi saat ini apakah operator kita bisa menjadi seperti operator di Jepang yang menggabungkan perbankan dan operator menjadi satu?

Hal tersebut bisa saja terjadi. Namun tentunya harus ada titik kompromi. Dalam artian, jika nantinya bergabung atau merger. Belum tentu diizinkan. Tetapi kami bisa bekerja sama dan bersinergi untuk memberikan layanan yang baik. Selain itu, kami bisa menjangkau kesempatan yang belum terjamah sebelumnya. Terwujudnya hal tersebut harus ada komprominya kan?

Artinya masih ada kemungkinan untuk bergabung?

Kerja sama bank dan telko, lima tahun lagi tidak mungkin namun 10 tahun lagi memungkinkan. Namun Indonesia berbeda dengan Jepang. Perbedaannya, jika di Jepang layanan seperti itu akan lebih maksimal karena membutuhkan smartphone. Pengguna membutuhkan smartphone, namun jika menggunakan featured phone bisa melalui SMS.

Sebenarnya apa kekurangannya dari digital payment?

Sebenarnya lack nya dari sisi infrastruktur, penetrasi handset dan kepercayaan orang. Masih banyak masyarakat yang kurang percaya untuk bertransaksi model seperti itu. Perlunya dibangun edukasi bahwa pelayanan seperti ini aman, tidak mudah dipalsukan dan tidak mudah hilang. Ekosistemnya harus dibentuk. Tantangannya di situ.

Selain digital payment, apalagi yang dibutuhkan untuk mendorong ekonomi digital?

Kita perlu ekosistem. Komponen DNA yakni devices, networks and application. Yang harus ada tiga-tiganya. Walaupun kami membangun network, tapi harus mendorong dua yang lain, device dan application. Devices terkendala dengan harga. Harga handphone yang masih relatif mahal. Kami sudah berbicara dengan vendor untuk bisa meluncurkan versi yang low-end, smartphone namun low-end. Kami memberi masukan ke vendor.

Kemudian bagaimana dengan aplikasinya?

Aplikasi akan ada yang kami kembangkan sendiri. Ada pula anak muda yang kami support untuk mengembangkan ini, agar semakin banyak aplikasi yang tersedia di pasar. Ini agar bisa tumbuh industri aplikasi.

Bagaimana dengan mobile advertising ?

Kami akan masuk ke sana tapi masih basic. Profiling dari customer menjadi penting. Kami bisa mengetahui apa yang dilakukan dan disukai sehingga bisa menawarkan yang pas. Secara teknis hal ini dimungkinkan, bisa dilihat dari penggunaan data. Bedanya over the top [OTT]dan operator. OTT lebih tahu karena menggunakan Google, sehingga mau cari apapun terlihat di situ. Itu menjadi kelebihannya. Kami akan mematuhi rambu rambu privasi yang dikemas melalui advertising. Sekarang mayoritas masih di cetak. Namun akan bergeser. Pasarnya iklan besar. Perlahan billboard statis akan bergerak jadi digital. Memang butuh waktu. Advertiser butuh diyakinkan hal tersebut memang lebih efektif.

Mobile advertising value-nya dalam lima tahun, seberapa optimis?

Pertumbuhan setiap tahunnya at least bisa 100%. Pasarnya advertising besar tapi sebagian besar masih dilakukan di televisi. Video akan lebih dilihat nantinya.

Sejauh mana iklan lewat SMS saat ini, apakah ada kelemahan?

Itu memang menjadi salah satu kelemahan saat ini. Promosi Telkomsel diskon satu hari bisa 5 SMS-10 SMS per hari. Sender-nya itu di SMS. Akan ramai masuk SMS iklan. Kami sedang melakukan filter, SMS diprotes karena kebanyakan jadi annoying maka itu nantinya akan dibatasi. Satu pelanggan maksimal berapa SMS. Sebenarnya pelanggan terganggu karena yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan dan kesukaan. Kalau bisa lebih mem-profile maka akan lain, ini sedang bertahap diperbaiki. Nantinya tidak akan SMS. Nantinya kalau kita akses web ada iklan memang kadang ganggu nanti bertahap menjadi materi disesuaikan dengan profile, cara lebih halus. Teknologi yang mendukung sudah ada.

Sebelumnya, setiap bulan sedikitnya Rp19 triliun uang dari bisnis telekomunikasi lari ke luar negeri direbut OTT asing seperti Facebook, Google, dan lainnya. Bagaimana terobosan Telkomsel agar ini tidak mengalir keluar negeri?

Pemain OTT merupakan hasil dari teknologi dan kreativitas, di mana hal ini memungkinkan siapa saja menciptakan disruptive technology dan disruptive business. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi operator. Permasalahan OTT harus dijawab bersama agar di Indonesia memiliki developer lokal yang mampu bersaing. Seluruh stakeholder perlu mencari terobosan agar OTT Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Salah satunya adalah mengembangkan ekosistem lokal agar bandwidth tidak lari keluar negeri dan devisa tidak melayang.

Apakah Indonesia perlu bertindak seperti China?

Tidak perlu seekstrem itu namun harus ada langkah. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, teknologi yang cukup berat untuk bersaing. Namun Indonesia bisa mengejar. Kedua, manufacturing yang secara umum kita kalah dengan China jika dilihat dari skalanya. Ketiga, dan yang menjadi harapan adalah industri kreatif. Otak kita enggak kalah lancar dengan yang lain. Programmer potensial mungkin belum terbiasa berpikir secara global. Pasti bisa kalau cuma bikin aplikasi seperti Facebook itu bisa. Itu yang sebenarnya peluang mendunia di industri kreatif.

Boleh di-share apa yang menjadi filosofi hidup Anda?

Filosofi saya, hidup dengan berusaha semampu kita, nantinya hasilnya sekian persen usaha sekian persen dari Yang di Atas. Nanti kalau sudah usaha ya sudah diterima saja. Namun, berbeda dengan pasrah. Bekerja keras dan hasilnya bagaimana. Tapi harus bekerja keras, biar pada akhirnya menoleh ke belakang kita enggak akan menyesal.

Apa cita-cita Anda?

Cita-cita hidup bahagia dan dunia di akhirat, ha-ha-ha.

Bagaimana pencapaian Anda dalam konteks pribadi?

Harus menjadi orang bermanfaat untuk diri sendiri. Kedua, untuk keluarga dan komunitas dan nantinya untuk orang banyak. Sekarang menyiapkan Telkomsel agar memiliki modal yang kuat, di tengah masa transisi. Ibarat membangun puzzle ya, bloknya harus punya, biar ke depannya lebih kuat lagi. Untuk menghadapi ke depannya. Pendahulu membuat Telkomsel ada di mana-mana. Padahal waktu itu enggak ada hitungannya.

Bagaimana dengan pembangunan sumber daya manusia dalam konteks korporasi?

Saya mau menceritakan latarbelakangnya dulu. Dahulu waktu ke Amerika tahun 1990-an. Saya melihat culture di sana disiplin dan lingkungannya bersih. Awalnya saya berpikir karena iklimnya namun ternyata hal tersebut karena manusianya.

Pada akhirnya, semua kembali ke manusianya bukan lingkungan, yang membedakan negara adalah sumber daya manusianya. Perlu beberapa cara mendidik dari awal, tapi tidak berarti semua harus diubah, tapi perlu diajarkan seperti konten budi pekerti. Membangun budaya yang penting, nantinya akan ada globalisasi yang membuat manusia tidak bisa berdiri sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Roni Yunianto
Sumber : Bisnis 27 Mei 2015
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper