Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Untung Beken dari Topi Keren Berbahan Laken

Banyak bisnis keluarga yang umurnya telah puluhan tahun dan diturunkan hingga anak cucu
Ilustrasi topi laken/
Ilustrasi topi laken/

Bisnis.com, JAKARTA - Banyak bisnis keluarga yang umurnya telah puluhan tahun dan diturunkan hingga anak-cucu. Bisnis tersebut tetap bertahan dan terus berkembang hingga saat ini meskipun zaman telah berubah.

Salah satu bisnis yang sudah lama muncul di tanah air adalah pembuatan topi dari bahan laken. Aksesori pelindung kepala tersebut sudah banyak diproduksi oleh para pengrajin lokal dan dipasarkan hingga penjuru tanah air.

Awalnya, topi-topi buatan pengrajin tersebut hanya dijual secara konvensional di pasar-pasar tradisional, yang menyasar para blantik sapi di kawasan Jawa Timur.

Seiring berjalannya waktu dan bergantinya generasi produsen topi laken, sekarang produk tersebut bisa dengan mudah ditemukan dijual secara online oleh para penerus generasi pengrajin topi laken.

Salah satunya adalah Denis Andri yang memasarkan topi laken secara online melalui forum jual beli online. Pria yang berdomisili di Kediri, Jawa Timur itu mengaku bisnis pembuatan topi tersebut diwariskan oleh orangtuanya yang sudah memproduksi topi sejak dua dekade lalu.

Kemudian, sejak dua tahun terakhir Denis mulai merambah dunia online untuk meningkatkan omzet penjualan topi berbahan laken yang selama ini hanya dijual di pasar-pasar tradisional.

“Saya melihat permintaan terhadap topi ini cukup tinggi dengan persaingan di produk serupa yang belum terlalu ketat, sehingga bisnis online cukup menjanjikan untuk meningkatkan penjualan,” katanya.

Hal serupa juga dilakukan oleh Abdul Rohim yang merupakan generasi kedua produsen topi laken yang saat ini berdomisili di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saat ini dia memasarkan topi buatannya melalui berbagai macam forum jual beli, serta aplikasi pesan singkat.

Dia bercerita, awalnya kedua orangtuanya memproduksi topi berbahan laken di kawasan Madura mulai 1970. Sejak beberapa dekade yang lalu, masyarakat Madura banyak yang menjadi pengrajin topi karena permintaannya yang cukup tinggi.

Hingga sekarang, produsen topi di Madura masih tetap bertahan, namun masih sedikit yang memasarkannya secara online. Padahal, banyak konsumen dari berbagai daerah yang mencari produk itu melalui internet.

“Selain menjualnya lewat toko topi yang kami kelola, sekarang topi sudah bisa dibeli secara online dan akan dikirimkan ke alamat pemesan,” katanya.

Baik Denis maupun Abdul, mengaku adanya peningkatan penjualan sejak produk topi buatan usaha keluarga mereka dijual secara online. Pertumbuhan penjualan bisa mencapai 20%-30% dibandingkan dengan total penjualan di toko dan pasar tradisional.

Denis mengatakan, saat ini dirinya bisa memproduksi hingga 50 topi laken dalam sehari yang dibantu oleh tiga orang tenaga kerja. Adapun, model topi yang rutin diproduksi dan menjadi favorit konsumen, yakni topi model pork pie, stout hat, dan homburg.

Masing-masing topi dijual dengan harga Rp200.000 per buah. Harga yang ditawarkannya tersebut dinilai lebih murah dibandingkan dengan harga topi produsen lainnya. Sehingga, harga yang bersaing tersebut menjadi salah satu daya tarik topi buatannya.

“Ada beberapa produsen yang menjual topi laken secara online, tetapi harga yang ditawarkan relatif lebih mahal,” katanya.

Selain tiga model topi yang rutin diproduksi, Denis juga menerima pemesanan topi sesuai keinginan konsumen. Pemesan bebas menentukan model, ukuran dan warna. Tidak ada minimal pemesanan dan proses pembuatannya juga cukup cepat, sekitar satu hari.

“Pembuatan topi itu cepat, asalkan bahannya tersedia dan cuaca mendukung, karena ada bagian yang harus dikeringkan menggunakan sinar matahari,” katanya.

Sementara itu, Abdul bisa memproduksi sekitar 20-30 topi dalam sehari. Model andalannya adalah topi koboi dengan lebar daun topi yang berbeda-beda mulai dari 3 cm hingga 8 cm. Topi buatannya tersebut dijual dengan kisaran harga Rp60.000-Rp500.000.

“Margin keuntungan bisa mencapai 50% dari harga jual, tergantung dari ukuran topi dan jenis bahanlaken yang digunakan,” katanya.

Saat ini, kebanyakan konsumen topi koboi Abdul adalah para pengusaha yang mengoleksi berbagai macam topi, khususnya untuk topi dengan daun lebar, sedangkan untuk topi berdaun kecil banyak digunakan sehari-hari oleh masyarakat luas.

“Banyak yang beli hanya dijadikan sebagai pajangan di rumah, atau digunakan hanya pada kegiatan-kegiatan khusus,” imbuhnya.

Meskipun demikian, permintaan terhadap topi ini cenderung terus meningkat. Apalagi, saat ini topi tak hanya dijadikan sebagai penutup kepala, tetapi juga bagian dari gaya berbusana.

Denis juga merasakan pengalaman yang sama. Semakin banyaknya para tokoh publik yang menjadikan topi sebagai fesyen item, membuat masyarakat ikut menjadikannya sebagai kebutuhan gaya.

“Mayoritas pemesan dari daerah Jakarta dan Jawa Barat, mereka banyak yang mencari topi dengan harga yang murah,” paparnya.

Tak jarang ada yang datang langsung ke Kediri untuk membeli topi laken dalam jumlah banyak. Bahkan, untuk pembelian grosir biasanya saya beri potongan harga khusus sekitar Rp130.000-Rp150.000 setiap 10 topi.

Kendati bisnis ini telah berjalan puluhan tahun, bukan berarti tidak menemui kendala di tengah jalan. Denis dan Abdul mengatakan kendala yang ditemui saat ini lebih pada pasokan bahan baku.

Persediaan bahan laken yang kebanyakan diimpor tersebut tidak selamanya ada, sehingga produsen topi harus pintar-pintar memasok bahan baku dari importir hingga mencari alternatif bahan baku lainnya.

Abdul mengatakan pernah suatu waktu kehabisan bahan laken, sehingga dia tidak bisa berproduksi. Dia pun mencoba mencari jalan keluar dengan menggunakan bahan wol yang dipress secara manual.

Meskipun hasil bahannya lebih lembek dibandingkan dengan bahan laken, tetapi masih banyak konsumen yang menyukainya. Dia menilai bisa jadi karena konsumen tidak memiliki pilihan lain dan sangat membutuhka topi.

“Sebelum dijual, saya sudah beritahun bahwa topi itu dibuat dari bahan wool bukan dari laken, namun konsumen tetap menyukainya,” paparnya.

Meski demikian, selama bahan laken masih didapatkan, Abdul tetap konsisten menggunakan bahan tersebut karena kualitasnya yang lebih baik dan tahan lama.

Hal itu yang juga dilakukan Denis, hingga saat ini dia belum pernah mencoba alternatif bahan lain pembuat topi selain laken, karena hal itu yang menjadi ciri khas produksi topi secara turun-temurun.

Ke depannya, Denis dan Abdul sepakat prospek di bisnis ini masih tetap cerah, seiring semakin meluasnya pasar konsumen topi, serta gaya hidup dan penampilan yang dinamis. “Produsen yang memanfaatkan pemasaran online masih terbatas, hal ini yang bisa diambil peluangnya,” kata Abdul.

Selain itu, kepekaan produsen terhadap tren terkini dan dunia fesyen juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan bisnis dan daya tarik bagi konsumen. “Yang terpenting produsen topi harus bisa mengikuti tren, caranya dengan rajin mencari informasi tentang gaya terbaru topi di luar negeri di internet,” ungkap Denis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper