---- Puntadewa telah mengoreksi kesalahan politiknya dengan menjadi pemimpin yang legawa menerima kekalahan, seraya berikhtiar menyiapkan masa depan--
Hidup di dunia hanya sekali, mati pun sekali. Namun, politisi bisa mati dan hidup berkali-kali. Begitulah kata ‘begawan’ politik Akbar Tanjung kepada Anas Urbaningrum, setelah KPK menetapkan juniornya itu sebagai tersangka kasus Hambalang.
Ki Dalang tidak hendak meramal dari sisi kalkulasi politik. Lebih elok kita teropong persoalan ini dengan wewayang kepada kisah Puntadewa alias Yudistira berjuang menyelamatkan Pandawa.
Kocap kacarita. Kendati dikenal lurus dan jujur, Prabu Puntadewa adalah manusia biasa. Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah klan, dia harus mengambil keputusan politik. Dan keputusan politik itu tidak selamanya benar.
Masalahnya, kesalahan politik yang hanya terjadi sekali seumur hidup itu berdampak fatal, karena secara langsung membunuh dan mengenyahkan klan Pandawa dari percaturan politik.
Semua bermula dari kegemarannya main dadu. Sesuatu yang lumrah dan di kalangan satria kala itu. Di kubu seberang, klan Kurawa yang berkuasa di Hastina setiap hari hidup dengan iri dan dengki terhadap Pandawa, karena pamor Hastina sebagai kekuatan politik terbesar meredup dan nyaris tak lagi diperhitungkan.
Mereka gagal mengelola kekuasaan karena sibuk mencari kelemahan dan kekurangan lawan, dan terus bersiasat untuk bisa menguasai Amarta dan mengenyahkan Pandawa.
Aktor intelektual di balik strategi politik Kurawa adalah Patih Sengkuni. Politisi kawakan ini menancapkan pengaruhnya dengan mengobarkan permusuhan. Dia hidup dan eksistensinya diakui karena konflik. Tanpa konflik, tanpa intrik, eksistensinya tak dihitung. Adanya sama dengan ketiadaannya, wujuduhu ka ‘adamihi dalam bahasa santri.
Bahkan ketika Pandawa masih remaja, dialah aktor di balik peristiwa Bale Sigala-gala yang nyaris membunuh kelima Pandawa dan Ibunda Kunti. Demi memenuhi hasrat kekuasaan para Kurawa, demi menegakkan kembali pengaruh dan wibawa Hastina, Sengkuni menyiapkan sebuah siasat culas. Kegemaran Yudistira pada judi dadu menjadi titik masuk siasat licik itu.
Dengan dalih merayakan penobatan Puntadewa sebagai Raja Suya, raja utama yang dihormati dan dipatuhi raja-raja di sekitarnya, Prabu Duryudana mengundang Puntadewa bermain judi di Hastina. Tanpa syak wasangka Puntadewa berangkat ke Hastina bersama empat saudaranya dan permaisuri Drupadi.
Sengkuni sudah merancang trik agar Puntadewa tidak akan menang. Mulai dari taruhan satu-dua kepeng, sampai ratusan dan ribuan kepeng. Sengkuni dengan jeli terus memprovokasi Puntadewa untuk terus bermain.
Bahkan ketika ia ditantang untuk mempertaruhkan kerajaan Amarta dan Dewi Drupadi, Puntadewa tidak bisa mengelak. Sia-sia Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa mengingatkan.
Dan benar saja, Yudistira kalah. Dewi Drupadi dipermalukan di depan umum oleh Dursasana, adik Duryudana. Werkudara dan Arjuna yang marah melihat ulah bejat itu, tidak bisa berbuat banyak.
Ketika hendak melabrak Dursasana, Puntadewa mencegah dan mengingatkan agar mematuhi aturan main. Saat itulah Werkudara bersumpah akan membantai Sengkuni dan Dursasana kelak di palagan Baratayudha.
Halaman Kedua
Sungguh tragis dampak kehilafan politik Puntadewa. Ia kehilangan mahkota raja, Pandawa terusir dari Amarta. Mereka harus menghilang dari mata dan telinga publik dengan hidup di hutan Dandhaka selama 12 tahun. Selepas itu selama satu tahun mereka boleh berbaur dengan masyarakat tapi harus menyamar sebagai kawula alit.
Jika dalam periode penyamaran itu keberadaan mereka tercium oleh Kurawa dan wadya bala-nya, maka hukuman harus diulang dari awal. Pandawa memang masih hidup, tapi secara politik mereka sudah mati.
Saat memasuki tahun ke-13, mereka memilih Wirata sebagai tempat penyamaran. Di sini mereka harus betul-betul disiplin dan menahan diri dalam penyamaran masing-masing. Sungguh berat, karena situasi Wirata saat itu tengah amburadul akibat salah urus. Rakyat hidup miskin, dengan jaminan keamanan nol besar. Wirata bak negara tanpa pemimpin, negeri auto pilot.
Sebagai satria, Pandawa terpanggil dan tergerak untuk membantu rakyat dan memperbaiki keadaan. Namun, Puntadewa mengingatkan adik-adiknya untuk menahan diri. Sekali saja mereka muncul, akan terendus oleh telik sandi Hastina.
Pernah Prabu Matswapati menanyakan sesuatu kepada Puntadewa yang menyamar sebagai juru pasar Dwijakangka. Namun, raja ternyata tidak berkenan dengan jawaban jujur kawula alit. Sontak diambilnya tempat dadu dan dipukulkan ke kepala Dwijakangka. Darah mengucur deras.
Werkudara yang ada di situ dalam penyamaran sebagai Jagal Abilawa, spontan hendak melabrak Matswapati. Namun, Dwijakangka menenangkan adiknya itu. Kemenangan sudah di depan mata, jangan sampai sirna oleh emosi sesaat.
Dengan kepemimpinan Puntadewa yang wasis lan waspada, cerdas tetapi penuh perhitungan, Pandawa berhasil melalui periode terberat hidup mereka. Mereka tidak hanya berhasil melewati periode pengucilan politik, tetapi kembali ke tengah publik sebagai sosok yang lebih matang dan dewasa, lebih tangguh karena deraan ujian dan cobaan, dan lebih cakap dalam mengelola persoalan. Dan ketika tiba saatnya perang Baratayudha, merekalah pemenangnya.
Puntadewa telah mengoreksi kesalahan politiknya dengan menjadi pemimpin yang legawa menerima kekalahan, seraya berikhtiar menyiapkan masa depan. Sabar dan lapang dada menjalani penderitaan, seraya mengasah dan memperkaya diri dengan kearifan dan kebajikan.
Becik ketitik, ala ketara. Yang baik akan tampak, yang buruk akan nyata terlihat. Sura dira jaya ning rat, lebur dening pangastuti. Kedzaliman dan kebusukan, pasti sirna oleh kebajikan dan keadilan.
Pidato pengunduran diri Anas Urbaningrum mengisyaratkan akan ada “halaman kedua”. Akan ada episode berikutnya. Bisa saja ini adalah awal kematiannya sebagai politisi. Tapi sebagai manusia dia masih muda, jalan politiknya masih panjang.
Berkaca pada Puntadewa, legitimasi untuk kembali hidup secara politik adalah pangastuti. Hidup di jalan yang benar, jalan yang lurus, mengamalkan dharma kebajikan dan keadilan. Tanpa legitimasi itu, masihkah berharga dan bermakna hidup kembali sebagai politisi? Sumangga. (msb)
*Rohmad Hadiwijoyo