--- Tatkala kita melakukan transaksi dalam bisnis, kita akan banyak menggunakan keputusan yang sifatnya emosional. Pertama-tama, kita hanya berbisnis dengan orang yang kita sukai.
Emotionomics? Apaan sih? Sejak diperkenalkan pada 2007 oleh Dan Hill, istilah ini menjadi obrolan yang menarik. Ternyata, emotionomics menyakinkan kita bahwa perasaan yang dialami di tempat kerja, baik yang dialami oleh karyawan Anda maupun yang dialami oleh pelanggan, akan mempengaruhi hidup matinya perusahaan Anda.
Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa perasan-perasaan ini ujung-ujungnya terkait dengan hasil finansial akhir yang Anda akan capai. Sungguh disayangkan, selama ini telah terjadi salah kaprah, emosi sering disikapi secara negatif.
Bebagai kesalahkaprahan itu misalnya, “Emosi adalah sesuatu yang perlu ditinggalkan di rumah dan jangan dibawa dalam dunia bisnis!”. “Emosi itu salah dalam dunia bisnis! Kita nggak boleh emosional!” Atau komentar seperti, “Jangan tunjukkan emosimu”.
Namun, apakah emosi selamanya buruk? Sebenarnya tidak juga! Misalkan saja, ada seorang owner perusahaan cat yang disegani tetapi disayang oleh karyawannya. Saat itu, perusahaan sedang memutuskan untuk pindah lokasi yang cukup jauh karena perusahaan memutuskan untuk melakukan ekspansi yang berakibat pada berbagai langkah efisiensi.
Pada waktu itu, beberapa karyawan yang senior, mulai ragu-ragu apakah akan terus bergabung. Hingga suatu ketika, saat sedang berlangsung sebuah pelatihan, si owner ini maju ke depan dan menceritakan tentang keprihatinannya serta rasa sayangnya pada karyawannya.
Si owner, yang memiliki latar pendidikan teknis dan biasanya jarang bicara emosi, tiba-tiba berbicara hingga menangis. Dan apa yang dikatakan oleh si pemilik ini ternyata berdampak luar biasa. Karyawan serta para pejabat senior melihatnya sebagai bentuk ketulusan yang luar biasa, rata-rata mengungkapkan kesetiaan dan memperbaharui komitmennya pada perusahaan.
Memang, jangan disalahartikan bahwa kita menginginkan semua pemimpin mempunyai bakat acting serta menjadi terlalu emosional. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa mengungkapkan emosi, pada saat dan momen yang tepat, bisa memberikan dampak yang positif. Seperti seringkali diungkapkan, bukan hanya “One picture speaks thousand words” tetapi “Emotion also speaks thousand words”.
Karena itulah, jika dulu kita seringkali menghidupi apa yang dikatakan oleh filsuf Rene Decartes sebagai “Cogito Ergo Sum” (saya berpikir, maka saya ada!) maka mungkin di era sekarang ini, kita pun harus berkata, “Saya merasa, apa yang saya pikirkan, maka saya ada!” Karena itulah, jika selama ini kita telah mengenal istilah economics, marilah kita berkenalan dengan emotionomics, yakni perpaduan dari konsep “emotion” serta “economics”.
Singkat kata, formulanya, emotionomics = emotion + economics. Istilah emotionomics ini pertama kali diperkenalkan oleh Dan Hill, seorang President Director Sensory Logic di 1997 lewat bukunya. Dan Hill, selama ini dikenal sebagai pakar yang banyak berkecimpung dalam penelitian tentang facial coding. Yakni, memetakan bentuk dan raut wajah untuk ekspresi tertentu. Hebatnya, penelitian Dan Hill ini lantas banyak dipakai di dalam dunia detektif, untuk pendeteksi kebohongan bahkan baru-baru ini, idenya diangkat ke dalam film serial Lie to Me.
Menariknya, menurut Dan Hill yang banyak melakukan penelitian soal ekspresi dan emosi ini, berbagai hasil akhir dan realitas bisa ditebak dari situasi ekspresi emosi seseorang. Intinya, bagaimana membaca respons dan ekspresi emosi seseorang bisa menentukan interaksi dan hubungan selama ini. Lewat penelitian ekspresi emsoinilah, Dan Hill bisa membuat prediksi dengan ketepatan yang tinggi mulai dari apakah seseorang pelanggan akan membeli atau tidak.
Hingga, bisa pula diprediksi apakah suatu perkawinan akan terus atau kemungkinan akan berakhir cerai! Semuanya hanya dilihat dari ekspresi emosi seseorang saat berinteraksi!
Fakta Penting
Sekali lagi, ada banyak orang, khususnya pemimpin yang tidak menyadari soal pentingnya aspek emosi dalam bisnis. Padahal, menurut penelitian University of Rochester School of Medicine diungkapkan bahwa hampir tidak mungkin membuat keputusan tanpa melibatkan bagian emosi kita.
Yang jelas, tatkala kita melakukan transaksi dalam bisnis, kita akan banyak menggunakan keputusan yang sifatnya emosional. Pertama-tama, kita hanya berbisnis dengan orang yang kita sukai. Tentang hal ini, para peneliti melakukan suatu eksperimen yang disebut dengan eksperimen pesta. Hasil kesimpulannya sederhana.
Tatkala kita memasuki suatu pesta yang isinya orang-orang yang tidak kita kenal, dalam waktu kurang dari satu menit, kita akan putuskan dengan siapa kita mau bersama, siapa yang levelnya sama, siapa yang kita sukai. Begitu pula dalam berbisnis. Biasanya, dengan siapa yang kita sukai itulah, dengan siapa yang kita merasa punya chemistry yang akan kita ajak berbisnis.
Hal ini termasuk terjadi pada saat kita melakukan transaksi jual beli. Umumnya, dikatakan kita akan membeli dari orang yang kita sukai dan percaya. Kalau tidak percaya, lihatlah daftar orang-orang yang biasanya di mana Anda membeli dari mereka.
Rata-rata, yang Anda beli adalah orang-orang yang Anda percayai dan merasa nyaman bersamanya. Tak heran, kalau baca dari buku Blink karya Malcolm Gladwell, ternyata dibutuhkan kurang lebih semenit buat kita untuk percaya dengan orang yang berinteraksi dengan kita. Dan itulah momen yang sangat menentukan apakah kita akan membeli dari orang itu ataukah tidak.
Begitu pula dalam dunia advertising. Misalkan saja, Journal of Advertising Research di tahun 2002 yang melakukan riset dengan lebih dari 23,000 orang membuat kesimpulan menarik. Intinya, “Emosi dua kali lebih penting daripada fakta”. Dengan kata lain, gengsi, elegant serta berbagai sesasi yang dirasakan dengan meng-asosiasi-kan dengan suatu produk, ternyata bisa lebih bermakna daripada fungsi produk itu semata.
Karena itulah, jangan lagi mengecilkan arti emosi dalam bisnis. Mulai dari pengambil keputusan bisnis hingga rasa puas, akan sangat mempengaruhi masa depan bisnis kita. Bahkan beberapa waktu lalu, sebuah riset oleh Thottam yang dipublikasi di majalah Time pada 2005 mengungkapkan bahwa karyawan yang puas akan berkontribusi hingga 10%-25% dari kinerjanya.
Sebagai contoh aplikasinya, kita mengenal Walt Disney yang sangat canggih memahami unsur emotionomics ini. Yang jelas, mulai dari misi bisnisnya sendiri, Walt Disney selalu menegaskan bahwa mereka bukan melakukan bisnis entertainment, tetapi bisnis mereka adalah membuat orang menjadi happy. Dan inilah semangat yang ditularkan ke semua karyawannya.
Begitu pula kita melihat berbagai iklan dan promosi, semakin disadari soal pentingnya unsur emosi ini. Belakangan ini, perusahaan menyadari tatkala kebutuhan dasar sandang dan pangan telah terpenuhi, maka kita bukan lagi bicara soal “kebutuhan” tetapi “keinginan”.
Dengan contoh sederhana, bukan lagi sekadar “makan apa” tetapi “makan di mana”. Karena bicara soal keinginan, maka konsep emosi menjadi semakin penting dalam berbisnis. Lihatlah saja, mulai dari bagaimana rumah makan, restoran, hingga mall, maupun berbagai produk mulai menawarkan nilai tambah.
Dan sebagai kata akhir, jika Anda menyadari bagaimana emosi bisa lima kali lebih cepat dari fungsi logika manusia dalam pengambilan keputusan, maka mulailah Anda berpikir bagaimana perasaan-perasaan bisa mulai diciptakan kepada para pelanggan Anda.
Bagaimanakah merekayasa emosi yang menyenangkan dan menciptakan emotional moment of truth yakni momen emosional yang berkesan pada pelanggan Anda? Ingatlah, keunggulan dalam merawat emosi pelanggan serta orang-orang yang terkait dengan bisnis Anda, selalu berujung pada hasil akhir finansial Anda.