----- Komunikasi adalah problem terbesarnya. Sebab, tak semua atasan bisa menampung keluhan dan tak semua bawahan bisa mengadukan ihwal pekerjaan kepada bosnya--
Ada anggapan umum bahwa urusan gaji yang membuat karyawan betah atau bosan bekerja di sebuah perusahaan, disusul jam kerja yang panjang, dan tak ada tantangan.
Tiga soal ini, konon, yang selalu jadi alasan pekerja ketika pamit mengundurkan diri. Atau, sebelum pamit, alasan ini menjadi standar yang dipakai oleh para karyawan ketika berkeluh kesah dan kehilangan gairah kerja.
Para pemilik perusahaan atau manajer sumberdaya manusia sering mendapati karyawan yang loyal tiba-tiba menjadi orang paling malas di dunia, tadinya aktif mengusulkan ide-ide segar hanya datang dalam rapat dengan usulan yang pas banderol, bahkan terlambat masuk kantor.
Dia jadi gampang tersinggung oleh hal-hal sepele yang sebelumnya bukan sebuah problem besar. Benarkah itu karena gaji, lembur, dan tak ada tantangan lagi dalam pekerjaannya?
Penelitian Dunamis Organizations Service ternyata menemukan hal lain yang menjadi penyebab karyawan tak bersemangat mengerjakan tugas-tugasnya. Dan temuan itu mengejutkan, paling tidak di luar dugaan asumsi sebelumnya.
Sebab, separoh responden menyebutkan ketidakcocokkan dengan atasan langsung yang membuat mereka tak lagi betah bekerja. Dua dari tiga karyawan yang kami wawancara memakai alasan ini untuk berpamitan dan mengembangkan karir di tempat lain.
Tentu saja ini menakutkan. Sebab, alasan yang berkaitan dengan persinggungan antar manusia—dengan komunikasi sebagai faktor penyulutnya—selalu lebih sulit diatasi ketimbang hal teknis yang menyangkut besaran gaji dan jam kerja.
Perbaikan tidak saja harus kepada anak buah yang jadi pemalas tapi juga kepada atasan yang menyebabkan bawahannya tak lagi bersemangat. Jika ada anak buah yang selalu gagal menyelesaikan pekerjaan pada tenggat yang ditentukan, pertanyaan juga mesti ditujukan kepada atasan mereka dalam mengontrol pekerjaan. Mungkin saja ada pembagian beban yang tak merata di antara tim yang selevel.
Rupanya, ini juga bukan faktor penentu. Para responden penelitian kami mengaku tetap bertahan dan mengerjakan tugas sebaik dan semampu yang mereka bisa asal dapat berkomunikasi dengan atasannya langsung tentang masalah dan mencari solusi dalam pekerjaan, sekalipun mereka merasa tak cocok dengan gaya kepemimpinan bos mereka. Dengan kata lain, masalah ketidakbetahan karyawan bukan semata soal ketidakpuasan.
Komunikasi adalah problem terbesarnya. Sebab, tak semua atasan bisa menampung keluhan dan tak semua bawahan bisa mengadukan ihwal pekerjaan kepada bosnya. Tak semua bos punya kemauan mendengar. Paling banyak adalah mementingkan hasil ketimbang proses.
Mereka selalu menekankan hasil pekerjaan sesuai tenggat. Inilah yang membuat karyawan merasa seperti robot, bekerja bak dalam penjara yang berakibat pada situasi kerja tak menyenangkan sehingga produktivitas mereka menurun.
Solusi dari problem tersebut adalah membangun transparansi, keterbukaan di semua level, tak hanya bagi karyawan di level lebih rendah, tapi juga manajer yang bekerja mengorganisasikan mereka. Konsep crucial conversations salah satunya membuka tabir yang menghalangi komunikasi setiap orang dalam organisasi.
Sebab pada dasarnya, setiap orang menghindari percakapan krusial. Apalagi pada mereka yang menduduki jabatan tinggi dengan kekuasaan yang luas. Mereka biasanya menghindari bentrok pendapat dengan karyawan yang berada di level bawah. Strata diperlukan dalam organisasi, tetapi kerap kali menjebak para pelakunya jika menerima kekuasaan itu secara tidak arif.
Untuk menghindari kemandekan komunikasi, crucial conversations bisa dipelajari dan dipahami dengan mudah kendati sulit dipraktekkan. Perlu ada budaya perusahaan yang membangun perbedaan bukan sebagai masalah, justru menghidupkan perdebatan sebagai sebuah tradisi.
Perusahaan yang tradisi debatnya sehat biasanya tak punya masalah dengan komunikasi antar karyawannya, baik komunikasi sehari-hari maupun mengkomunikasikan visi dan misi yang diterjemahkan dalam kerja sehari-hari.
Hal-hal yang bisa dirintis agar komunikasi tak berakhir pada “diam” atau “keras” adalah; Pertama, suasana aman. Perlu ada penekanan kepada para atasan agar membuka ruang kepada bawahan untuk bebas mengungkapkan perasaannya, tak hanya terkait pekerjaan tapi urusan lain sepanjang tak mengganggu tugas pokok mereka.
Ruang kebebasan ini akan mendorong dan menciptakan rasa dan suasana aman secara psikologis. Para bawahan akan berpikir atasan mereka peduli dengan masalah mereka, seraya menaruh hormat kepadanya, sehingga mereka sampai pada pikiran tak pernah ada masalah yang tak ada solusinya.
Percakapan umum dalam membuka “ruang aman” itu, misalnya: “Salah satu prioritas saya adalah membantu Anda berhasil. Kadang-kadang saya lupa itu jika beban kita terlalu berat. Bisakah Anda memberi masukkan jika hal itu terjadi untuk memperbaiki situasi dan tugas-tugas kita?”
Kedua, fakta, bukan asumsi. Setiap orang cenderung tersinggung dan marah jika mendengar kritik atau masukkan dengan cara yang tak sopan menurut ukurannya. Para atasan sebaiknya tak defensif jika ada kritik dan masukkan semacam itu. Membuka ruang diskusi akan lebih menolong.
Misalnya, jika ada anak buah yang mengatakan “Anda terlalu mengatur” minta dia lebih spesifik di mana letak persepsi itu. Problemnya barangkali mereka tak menangkap apa yang Anda mau. Dengan cara itu Anda sebagai atasan sekaligus membantu para bawahan mengungkapkan fakta ketimbang asumsi yang subjektif.
Ketiga, tangkap keraguan. Saat seseorang menolak pendapat Anda, biasanya terlihat dari gestur tubuh, cara bicara, bahkan gumaman. Jika ini terjadi, percakapan yang hendak Anda bangun menjadi tak terbuka. Ajak lawan bicara itu, apalagi jika itu anak buah Anda, dengan menuntun mereka mendudukkan ketidakpuasan, lalu jelaskan maksud Anda dari cara pikir dan pandang mereka.
Keempat, pahami, sebelum dipahami. Dalam percakapan krusial, semua pihak mesti bersabar jika menginginkan solusi. Cara sederhana adalah membiarkan lawan bicara sampai selesai menyampaikan gagasannya. Jangan memotong untuk menjelaskan posisi Anda apalagi membela diri. Jika lawan bicara Anda merasa didengar, mereka juga akan mendengarkan Anda, bahkan melihat masalah dari sudut lain sehingga solusi bisa komprehensif.