Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gurihnya Laba Bisnis Makanan Tradisional Instan

Peluang bisnis makanan tradisional kini tak hanya berpusat di daerah asalnya saja. Banyak masyarakat yang tinggal di daerah lain yang ingin mencicipi cita rasa khas tersebut. Sadar akan peluang ini, beberapa pelaku usaha kuliner mengembangkan inovasi produk santapan tradisional dalam kemasan agar konsumen bisa menyantap makanan itu kapan saja dan di mana saja dengan cara yang praktis.

Bisnis.com, JAKARTA - Peluang bisnis makanan tradisional kini tak hanya berpusat di daerah asalnya saja. Banyak masyarakat yang tinggal di daerah lain yang ingin mencicipi cita rasa khas tersebut.

Sadar akan peluang ini, beberapa pelaku usaha kuliner mengembangkan inovasi produk santapan tradisional dalam kemasan agar konsumen bisa menyantap makanan itu kapan saja dan di mana saja dengan cara yang praktis.

Salah satu pengusaha muda yang menelurkan inovasi makanan tradisional adalah Chumairo Ibnatul Arobiyah, 25. Perempuan yang akrab dipanggil Yayah ini memperkenalkan makanan khas Yogyakarta yaitu gudeg instan yang dibungkus dalam kaleng. Ide Yayah membuat gudeg instan muncul pada 2009.

“Jika ditanya makanan khas Yogyakarta ya pasti gudeg. Saya melihat banyak wisatawan yang ingin membawa gudeg ke rumah mereka. Namun, gudeg mengandung santan yang membuat makanan tersebut gampang basi. Nah, dari situ saya terpikir untuk membuat gudeg dalam kemasan yang praktis dan tahan lama. Caranya memproduksi gudeg instan dalam kaleng,” ujar Yayah kepada Bisnis.

Untuk memulai bisnis tersebut, Yayah menyiapkan dana sebesar Rp5 juta. Modal itu diperoleh dari hasil memenangi sebuah kompetisi wirausaha untuk mahasiswa. Berbekal dana itu, Yayah kemudian memulai berbisnis makanan gudeg dalam kaleng. Sadar akan pengetahuannya soal pangan olahan yang masih minim, Yayah yang kala itu masih berstatus mahasiswa datang ke pusat pengalengan makanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wonosari, untuk berkonsultasi dengan beberapa profesor ahli pangan olahan.

Dari situ, Yayah akhirnya mengetahui bahwa LIPI juga menyediakan jasa pengalengan makanan. “Untuk menghemat biaya produksi, saya memutuskan untuk memakai jasa LIPI daripada saya harus membeli mesin pengalengan sendiri. Harganya sudah pasti mahal sekali,” kenangnya. Setelah melalui beberapa percobaan, Yayah akhirnya berhasil menelurkan gudeg instan. Yayah menamai produk ini sesuai dengan namanya yaitu Gudeg Kaleng Mbak Yayah.

Untuk menjaga cita rasa gudeg, Yayah tetap memasak gudeg secara tradisional di rumahnya. Produknya juga tidak menggunakan bahan peng awet. Produk Yayah bahkan telah mendapatkan beberapa sertifikat hingga gudeg kaleng aman dikonsumsi.

Isi gudeg kaleng buatan Yayah tidak berbeda dengan gudeg yang dijajakan di warung atau rumah
makan lainnya. Gudeg gurih tersebut berisi krecek, daging ayam kampung yang disuwir, telur bebek, tempe, tak lupa gori atau nangka muda. Sejauh ini, Yayah baru menyediakan gudeg kaleng dengan berat 250 gram. Harga gudeg dibanderol Rp25.000 per kaleng.

Rasa yang lezat dan harga yang pas di kantong membuat Yayah kebanjiran orderan, baik dari pasar lokal maupun luar kota. Melihat besarnya peluang yang bisa digarap, Yayah pun meningkatkan produksi gudeg kaleng buatannya. “Saya masih meraba-raba pasar gudeg kaleng ini. Ternyata banyak konsumen yang suka. Bahkan sebagian besar permintaan datang dari luar pulau, misalnya Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Untuk memenuhi kebutuhan, saya coba menaikkan target produksi. Kalau dulu hanya 50 kaleng setiap dua minggu sekali, kini saya bisa produksi 3.000 kaleng gudeg per bulan,” kata perempuan yang kini memiliki tujuh orang pekerja.

Bukan hanya pasar Nusantara, gudeg kaleng buatan Yayah pun disukai oleh orang asing. “Ada teman-teman saya yang bawa gudeg instan sebagai oleh-oleh untuk teman-temannya di luar negeri. Ternyata, teman - temannya suka dengan gudeg itu,” ujar Yayah.

Kini, berkat kerja keras dan ke mampuannya melihat peluang, Yayah mulai memanen buah kesuksesan. Perempuan yang hobi menyanyi dan jalan-jalan ini mengantongi omzet sekitar Rp75
juta per bulan dengan margin keuntungan hingga 30% dari tiap kaleng gudeg.

Untuk target beberapa tahun ke depan, Yayah ingin memiliki pabrik sendiri untuk memproduksi gudeg kaleng. Dia juga memiliki impian gudeg instan miliknya bisa menjadi ikon kuliner asli Yogyakarta.

NASI LIWET INSTAN
Pelaku usaha lain yang membuat inovasi makanan tradisional instan adalah Andris Wijaya. Pria yang lahir 34 tahun yang lalu ini memproduksi nasi liwet dan nasi uduk kemasan yang disajikan secara praktis. Dengan produk ini, konsumen bisa memasak nasi tradisional hanya dengan menggunakan rice cooker.

Pada mulanya, lelaki asli Garut ini tidak bertujuan menjual nasi liwet instan. Semula, Andris berniat menaikkan pamor beras Garut di pasar. Beras Garut memiliki kelebihan dibandingkan dengan beras -beras curah lainnya yaitu warnanya putih alami, rasa tidak hambar, dan berkualitas tinggi.

Sayangnya, tidak banyak konsumen yang tahu kelebihan tersebut. “Kalangan yang tahu kelebihan beras Garut adalah produsen besar. Mereka rata-rata membeli beras curah dari saya. Ternyata, sampai di pasar, mereka mengganti karung beras Garut dengan merek sendiri. Saya miris melihat kejadian ini karena konsumen tidak akan tahu kelebihan beras produksi Garut.

Saya pun memutuskan untuk membuat gebrakan yaitu membuat varian baru dari bahan baku beras Garut.” Andris yang lahir dan besar di Garut melihat potensi besar datang dari sektor pariwisata. Lelaki lulusan Politeknik Bandung jurusan teknik mesin tersebut memilih memproduksi makanan khas sunda yaitu nasi liwet.

Andris pun berniat menjadikan nasi liwet sebagai buah tangan khas Garut. Andris memulai eksperimennya untuk membuat liwet instan pada 2010. Berbekal ilmu dari bangku kuliah, dia lantas memodifikasi mesin yang bisa menggiling dan mencuci beras sekaligus.

“Karena konsepnya nasi liwet instan, saya ingin penyajian praktis. Konsumen tidak perlu mencuci beras terlebih dahulu dan semua bahan baku dikeringkan. Konsumen tinggal campurkan semua bahan dan masak dengan rice cooker. Ini sesuai dengan jargon kami ‘Makan Cepat, Tetap Nikmat.”

Andris memulai bisnisnya dengan modal Rp30 juta. Uang tersebut dia gunakan untuk membuat mesin dan membeli bahan baku nasi liwet, yaitu ikan teri, jambal, bawang merah, minyak, dan lainnya. Produknya diberi label ‘Nasi Liwet 1001’.

Saat itu, Andris dibantu oleh dua orang pekerja. Setelah 6 bulan bereksperimen untuk mendapatkan rasa yang pas, dia pun menjual nasi liwet instan pertamanya pada awal 2011. Awalnya, dia hanya bisa menghasilkan 50 dus nasi liwet selama 1 minggu. Andris pun menjajakan nasi liwet buatannya ke beberapa toko oleh-oleh khas Garut.

Sayangnya, hal tersebut tidak berjalan mulus. Banyak produsen yang masih asing dengan produk nasi liwet instan dan menolak untuk menjualnya. Andris tak patah semangat dan tetap menjajakan inovasinya dari satu toko ke toko lain hingga akhirnya liwet buatannya diterima masyarakat.

“Untuk membuat mereka percaya, saya selalu bawa contoh nasi liwet untuk mereka masak. Ternyata banyak yang tertarik karena wanginya sangat menggoda selera dan rasa yang tak kalah dengan liwet yang dijual di restoran.

Dari situ, pesanan mulai berdatangan. Saya menjual nasi liwet instan via toko online dan dibantu oleh beberapa reseller,” ujarnya. Promosi dari mulut ke mulut membuat nama Nasi Liwet 1001 semakin terkenal. Konsumen pun datang dari berbagai daerah, utamanya Bandung dan Jakarta.

Bahkan, Andris telah mengekspor nasi liwet instan ke AS mulai tahun ini. "Ada konsumen yang mengontak saya melalui websites. Ternyata dia ingin mengajak kerja sama untuk mengirimkan nasi liwet instan ke Amerika Serikat.

Setelah melalui proses perijinan dan uji kandungan gizi, Alhamdulillah sekitar 11.000 kemasan produk saya dijual di pasar AS,” kata Andris seraya bersyukur. Andris pun mulai memperluas lini bisnisnya dengan menambah target produksi dan varian rasa baru.

Kini, lelaki yang meneruskan bisnis beras milik orang tuanya tersebut memproduksi sekitar 3.000 kemasan nasi liwet instan per hari. Melihat jumlah kapasitas produksi yang fantastis, Andris jelas menangguk untung yang besar.

Setiap bulannya, Andris bisa menanggok puluhan hingga ratusan juta rupiah . “Harga eceran nasi instan berkisar antara Rp17.000–Rp27.500 per kemasan. Margin keuntungan yang didapat dari tiap kemasan sekitar 20%” kata Andris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper