Bisnis.com, Jakarta-- Limbah kain yang dikenal dengan sebutan perca ternyata bisa disulap menjadi produk suvenir bernilai ekonomis. Siapa sangka, bisnis berbahan baku sampah ternyata bisa mendatangkan cuan nan melimpah.
Ada beberapa tips bagi Anda yang tertarik terjun ke bisnis ini. Meski disebut kain sisa, bukan berarti bahan baku yang digunakan memiliki tampilan yang usang dan lusuh. Tantangan utama yang harus dihadapi oleh pelaku usaha suvenir kain perca adalah memilih bahan mana yang bisa digunakan. Salah satu yang harus diperhatikan adalah ukuran kain.
“Usahakan ukuran kain perca jangan terlampau kecil. Saya mematok ukuran kain minimal 10 cm x 15 cm. Dengan begitu, kami bisa leluasa berkreasi membuat bentuk-bentuk unik. Jika ukurannya lebih kecil tetap bisa digunakan untuk bagian pinggir atau aksen,” kata Lisa, Kamis (27/2/2014)
Namun, kriteria tersebut ternyata tak berlaku bagi Rafika. Karena memproduksi benda yang ukurannya lebih kecil, misalnya gantungan kunci, dompet koin, dan kipas, dia masih bisa menggunakan perca berukuran 5cm x 5cm.
Bahan-bahan perca tersebut bisa didapatkan dengan berbagai cara. Selain mendatangi pusat konveksi atau penjahit baju, ada pula pedagang kain yang menjual bahan-bahan perca. Hal inilah yang dilakukan Rafika.
Dia membeli bahan perca seharga Rp20.000-Rp25.000 per kilogram. Harga ini lebih murah jika dibandingkan dengan harga kain baru yang biasanya dijual dalam satuan meter. “Harga kain per meter mulai dari Rp25.000-Rp30.000. Bahkan, ada yang harganya di atas itu,” ujar Rafika. Selain harga miring, dia juga mendapat corak kain yang beraneka ragam.
Agar makin cantik, Lisa dan Rafika mengombinasika kain perca dengan beberapa jenis kain, aksesori, bahkan teknik jahit. “Saya biasa menggabungkan perca batik dengan renda, kain blacu, dan kain katun jepang. Jadi, kain perca itu saya bentuk sedemikian rupa dan dibuat sebagai aksen. Kain-kain polo situ jadi kelihatan berbeda,” tutur Lisa.
Kreasi Rafika pun tak kalah bagus. Selain menggunakan bahan polos, dia juga menambahkan aksesori misalnya mutiara, pita-pita, hingga teknik sulam di suvenir kain perca. Hasilnya, kain-kain usang yang tadinya tak memiliki nilai ekonomis tersebut kini tampil menarik dan siap untu dijual ke pasar.
“Proses pembuatan suvenir dari kain perca ini sebenarnya cukup mudah. Namun, perajin harus teliti dalam mengombinasikan motif-motif kain serta aksesori lainnya. Semakin kreatif produsen, harga suvenir pun semakin tinggi,” ujarnya.
Pemain di bisnis suvenir perca bisa membidik pasar yang lebih luas. Caranya tak lain adalah kreativitas dalam mengelola limbah kain sehingga bisa menghasilkan produk-produk yang disukai dan dibutuhkan masyarakat. Hal inilah yang dilakukan oleh Lisa. Selain memproduksi beberapa barang misalnya jampel, handuk tangan, dan tempat tissue, perempuan yang hobi memasak ini juga selalu menerima masukan dari konsumen.
“Kami selalu mencoba memenuhi permintaan konsumen. Selain memperlihatkan hasil karya saya, konsumen juga bisa menyodorkan desain yang mereka inginkan. Contohnya, saya pernah mendapat pesanan untuk membuat ratusan boneka dari perca oleh salah satu sekolah Australia di Jawa Tengah. Saya sempat melakukan beberapa kali percobaan karena belum pernah membuat boneka sebelumnya. Ternyata, saya bisa dan konsumen pun puas dengan boneka perca buatan saya,” kata perempuan yang kini dibantu oleh 15 perajin ini.
Hal yang sama juga dituturkan oleh Rafika. Menurutnya, bisnis suvenir kain perca adalah usaha yang mengendepankan kreativitas. Karena jumlah bahan baku yang melimpah dan murah, dia dan pekerjanya sering kali membuat model-model suvenir baru. Bentuk-bentuk itulah yang dia pajang sebagai porto folio dan bisa dijadikan referensi oleh konsumen.
Keleluasaan tak hanya datang dari sisi desain dan kreativitas. Dua produsen ini mengungkapkan pasar suvenir perca ini masih terbuka lebar. “Permintaan dari konsumen sangat tinggi dan rata-rata dalam jumlah besar. Tak jarang, saya memberdayakan ibu-ibu dan remaja yang tinggal di sekitar rumah untuk membantu membuat suvenir.”
Peluang semakin terbuka karena pemain yang terjun ke bisnis ini masih sedikit. Lisa menuturkan alasan minimnya jumlah pelaku usaha yang menggeluti bisnis suvenir. “Banyak perajin enggan bikin suvenir karena barang yang dikerjakan kecil-kecil dan banyak. Padahal, meskipun kecil, keuntungan yang didapat dari bisnis ini sangat besar. Keuntungan yang didapat pun bisa bertambah karena bahan bakunya murah. Bahkan, jika jeli produsen bisa mendapatkannya secara gratis.”