Perlambatan ekonomi sering membuat perseroan mengutak-katik buttom line. Pertanyaannya: Why not the top line? Bagaimana idealnya menyikapi suatu krisis ekonomi atau kontraksi pasar? Apa sebenarnya pesan di balik suatu turbulensi bisnis? Bagaimana perseroan bisa mengambil hal yang terbaik dibalik kondisi tersebut?
Krisis dan turbulensi dalam bisnis adalah suatu keniscayaan. Ia pasti terjadi! Tidak mungkin tidak. Hanya saja, pada saat apa itu terjadi! Bisa dalam siklus 5 tahunan, atau 10 tahun dan lain sebagainya.
Krisis ekonomi adalah alat penampi competitiveness: ia hanya ingin memastikan semua orang dan organisasi -- yang ingin menikmati lezatnya kue ekonomi-- mendapat kesempatan yang sama. Caranya? Ia mengguncang sendi-sendi pasar, memberi pasar sebuah kesempatan untuk konsolidasi: bahwa hanya mereka yang benar-benar fit saja yang boleh berhak survive dan sustain dalam dunia ekonomi. Jadi krisis adalah sebuah kesempatan besar, sehingga kita, meminjam istilah warkop, bisa berkata kepada struktur pasar “gantian dong”.
Kemampuan suatu organisasi perseroan untuk terus ada dan bertumbuh, tidak bisa dipisahkan dari kata competitiveness. Dan kadar competitiveness ditentukan oleh tiga faktor utama ini: values creation, strategi dan engagement. Business values creation sendiri muncul hanya bisa hadir kalau ada kemampuan-kompetensi, know how untuk menghantarkan solusi kepada konsumen di luar sana.
Seperti disebut di atas bahwa values creation adalah nafas dari bisnis. Ia mendemonstrasikan apa yang kita tawarkan (content) kepada konsumen atau pelanggan masih punya nilai jual. Bukan barang basi yang tidak laku.
Ia bisa berupa produk, proses, konsep bisnis atau layanan jasa, termasuk delivery channel-nya. Semakin tajam dan berfaedah suatu value creation bagi pasar konsumen, maka makin mahal lah harga jualnya. Jika values creation-nya itu amat distinctive, maka selaku produser, ia akan bisa menjualnya dalam harga premium atau menjadi pemimpin pasar.
Bahkan kalau values creation yang diciptakan itu begitu tajam dalam arti bisa mendeteksi keinginan keinginan potential yang ada dalam masyarakat konsumen, maka values creation seperti ini akan menciptakan demand dengan sendirinya.
Jadi, kalau krisis ekonomi datang, dan pasar melemah, terus basic instink perseroan adalah efisiensi dan bottom line, maka hal itu bisa saja merupakan langkah strategi yang jitu, jika dilakukan dalam ranah konsolidasi. Namun pakem itu tidak bisa terus-menerus dilakukan. Orientasi manajemen seperti itu akan ada batasnya. Sejatinya orientasi terhadap top line dalam hal values creation juga harus digencarkan. Dan berbagai inovasi tetap bisa terus lahir pada musim paceklik. Dan kalau itu terjadi, kita telah mengubah batu sandungan menjadi batu lompatan. Masa krisis dan paceklik menjadi masa tuai yang melimpah.
Penulis
Hendrik Lim
Managing Director Defora Consulting