Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Belajar dari Kemelut CEO Yahoo

Menyelamatkan perusahaan dunia yang sedang limbung bukan hal mudah. Bertangan dingin dan populer saja jauh dari cukup. Yahoo dibawah Marissa Mayer bisa menjadi contoh.
Ilustrasi logo Yahoo di antara kode siber./Reuters-Dado Ruvic
Ilustrasi logo Yahoo di antara kode siber./Reuters-Dado Ruvic

Bisnis.com, JAKARTA--Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kepemimpinan Marissa Ann Mayer di Yahoo sejak 2012. Masa kepemimpinannya memang tidak terlalu lama, berakhir pada 2017.

Namun bisa jadi masa lima tahun di pucuk pimpinan perusahaan internet papan atas tersebut terasa 10 tahun atau lebih. Pasalnya, Mayer masuk ketika Yahoo sedang limbung karena persoalan internal yang tak kunjung beres.

Saat lulusan terbaik Stanford University itu didapuk sebagai CEO Yahoo, banyak pihak berharap perempuan semampai itu mampu mengangkat pamor raksasa internet yang sedang terkapar lemas.

Dan Mayer memang menemukan 'lawan tangguh' di tubuh Yahoo yang tak lain adalah persoalan internal di tubuh perusahaan itu, dan bagaimana ia merespon dinamika pasar industri internet dan teknologi informasi yang sangat cepat.

Tak pelak lagi, para pimpinan puncak perusahaan, apalagi yang berskala global, rasanya tak bisa melewatkan lika-liku Mayer dalam upaya menyelamatkan Yahoo, meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa mantan eksekutif di Google tersebut pun akhirnya terpental.

Dan akhirnya Yahoo juga bermetamorfosis menjadi Oath setelah Verizon Communication mengakhiri legenda internet tersebut dengan pembelian senilai US$4,48 miliar. Sejak akuisisi ini Yahoo tak lagi berdiri sendiri. Ia kemudian bergabung AOL dalam sebuah entitas baru bernama Oath.

Masa lima tahun Mayer di Yahoo adalah periode yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi CEO manapun. Jauh sebelum dia tampil sebagai komandan pada 2012, Yahoo sebenarnya sudah terseok.

Kemundurannya terjadi selama masa dotcom bust pada tahun 2000. Ia semakin tidak bertenaga, bahkan ketinggalan zaman. Sahamnya jatuh 9% dalam sehari. Itulah masa ketika Yahoo hampir kehilangan segalanya.

Pada saat bersamaan para pemegang saham sepakat untuk merekrut salah satu petinggi Google saat itu: Marissa Mayer. Proses rekrutmen berjalan sangat cepat dan membuat semua orang tampak optimistis.

Mayer membuktikan kemampuan perdananya. Belum genap setahun sebagai komandan, Yahoo meluncurkan produk dengan kecepatan yang tak pernah dimiliknya selama lebih dari satu dekade. Pujian dan penghargaan mengalir. Sayang, tak berlangsung lama.

Manajemen kembali dihadapkan dengan tantangan positioning yang tak kunjung terjawab. Mahluk apa Yahoo ini di tengah perubahan cepat model bisnis, dunia internet, startup, dan teknologi informasi. Mau berposisi sebagai perusahaan media yang hidup dari iklan atau perusahaan piranti lunak? Dan jawabannya adalah iklan.

Tangan dingin Mayer kembali diuji. Ujian yang tampaknya semakin berat untuk dilalui. Pengalamannya di Google seperti tak banyak membantu dirinya menemukan model bisnis dan solusi besar yang pas untuk sang raksasa yang sedang tertatih-tatih.

Seperti yang digambarkan Nicholas Carlson dalam bukunya Marissa Mayer and the Fight to Save Yahoo!, perempuan itu terlihat seperti tak mampu berkutik ketika berhadapan dengan sekitar 2.000 karyawan yang memadati URLs, nama kafetaria Yahoo pada November 2013.

Yang tampak justru wajah gugup, penuh emosi. Rambutnya basah tanpa riasan. Sangat berbeda ketika dia tampil di majalah Vogue beberapa bulan sebelumnya dengan kesan cemerlang dan penuh gairah.

Medan Panas 

Memang betul, laga sesungguhnya Mayer selama di Yahoo adalah di kafe tersebut. Pasalnya, begitu tampil sebagai pimpinan, salah satu tindakan pertama yang diambilnya adalah menggelar sebuah rapat besar setiap Jumat siang dengan melibatkan semua karyawan (Yahoos) yang disebut FYI.

Rapat bertujuan untuk membawa 'transparansi radikal' ke perusahaan itu yang selama bertahun-tahun karyawan hanya bisa mengetahui apa yang dilakukan pihak manajemen dari pemberitaan media.

Apa saja yang dibahas? Ada banyak isu. Mulai dari program rekrutmen baru, perayaan masa kerja karyawan, 'pekan kemenangan' Yahoo, latar belakang akuisisi hingga cara kerja produk baru. Ada satu pesan Mayer: Jangan bocorkan rahasia rapat.

Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran merebak kencang. Karyawan resah, galau, dan kehilangan semangat. Sementara Mayer paham betul bahwa dirinya dihadapkan masalah pelik. Pengeluaran harus dipangkas dan, di sisi lain, fokus pada perbaikan kualitas produk.

Padahal dewan direksi yang merekrutnya telah meminta Sang CEO untuk memangkas karyawan antara 35% dan 50% dari total yang ada. Dalam hal ini Mayer untuk sementara waktu dapat meyakinkan dewan direksi bahwa pemecatan besar-besaran bukan langkah yang bijaksana.

"Anda harus merasa senang dengan hal ini," ujarnya. Yahoos pun bertepuk tangan.

Dia berargumen bahwa Yahoo masih membutuhkan banyak talenta unggul agar dapat bersaing. Namun mereka yang tidak berkinerja memuaskan memang harus angkat koper setelah dievaluasi secara obyektif dan transparan melakui indikator kinerja yang disebut QPR (Quarterly Performance Reviews). Model yang dicomot hampir sempurna dari Google.

Sudah ada QPR pun gejolak belum reda, karena masih berbuntut pada masalah evaluasi kinerja berikutnya yang umum disebut stack ranking. Mayer tidak sependapat dengan hal ini, karena menurutnya apa yang diterapkan adalah bucket sort.

Tak ayal program rekrutmen, PHK, gaji, remunerasi, evaluasi kinerja hingga pemangkasan pengeluaran selalu menjadi trending topic di setiap acara FYI.

Kekaguman Yahoos perlahan bergeser menjadi tanda tanya. Apakah Mayer benar-benar sedang menyelamatkan Yahoo?

Semua orang tentu berharap perempuan cerdas dan pekerja keras itu mampu membuat Yahoo menemukan bentuk terbaiknya dan kembali memperkenalkannya kepada publik.

Seperti kata Carlson, Mayer tiba di Yahoo bak pahlawan super. Percaya diri dan penuh ide. Seluruh dunia memandang dialah orang paling tepat melakukannya. Siapa mereka? Seorang manajer hedge fund pemanas suasana dari New York. Seorang agitator internet dari Kanada. Seorang negosiator ulung di Hong Kong dan seorang miliarder di Tokyo.

"Namun berkat serangkaian kesalahannya sendiri dan masalah yang melekat di Yahoo, dia segera menyadari bahwa dirinya sedang berada di tengah pertarungan sengit."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper