Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

JIMING HA: Saatnya Indonesia Rasionalisasi Harga BBM

BISNIS.COM JAKARTA-—Sekitar 15 tahun lalu, perekonomian Indonesia dirundung kri­­­sis finansial Asia yang cukup parah. Saat itu, kinerja ekonomi rapuh dan sejumlah masalah mencuat ke permukaan, termasuk inflasi tinggi.Kondisi kini berubah.

BISNIS.COM JAKARTA-—Sekitar 15 tahun lalu, perekonomian Indonesia dirundung kri­­­sis finansial Asia yang cukup parah.

Saat itu, kinerja ekonomi rapuh dan sejumlah masalah mencuat ke permukaan, termasuk inflasi tinggi.

Kondisi kini berubah. Perekonomian nasional masih tumbuh di atas 6% kendati negara-negara di sekitarnya harus gigit jari karena mengalami koreksi akibat terpaan krisis global.

Pertumbuhan kelas menengah ju­­­ga cukup tinggi. Kondisi ini dinilai cukup mendukung pemerintah da­­­lam menjalankan sejumlah kebijakan, termasuk kebijakan di sektor energi.

Jiming Ha, Direktur Pelaksana Divisi Manajemen Investasi Goldman Sachs Asia L.L.C, berbagi pandangannya mengenai perkembangan dan di­­­namika perekonomian Indonesia.

Ha yang juga merupakan  mantan ek­­­sekutif Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Indonesia pada masa kri­­­sis 1998—kini adalah pengamat ekonomi China—ditemui Bisnis di se­­­la-sela kunjungannya ke Jakarta akhir Maret lalu. Berikut petikannya.  

Bagaimana Anda melihat ke­­­majuan ekonomi Indonesia sejak krisis pada 1998 hingga menjadi salah satu negara dengan ting­­kat pertumbuhan ekonomi terpesat saat ini?

Ada perbedaan yang besar. Pada 1998, ekonomi Indonesia ada di puncak krisis finansial Asia.

Inflasi sangat tinggi, pertumbuhan negatif. Eko­­­nomi turun lebih dari 15%, se­­­dangkan inflasi melonjak hingga dua digit.

Kita tidak membicarakan 13%, 14% atau 15%, tapi 60% dan 70%.  Kementerian keuangan saat itu menerbitkan surat utang negara un­­­tuk merekapitalisasi banyak bank.

Se­­­­­­jumlah bank harus ditutup. In­­­do­­­ne­­­sian Bank Restructuring Agency (IBRA) perlu menangani aset berma­­sa­­­lah.

Periode itu adalah masa yang su­­lit. Pemerintah dan korporasi memi­­li­­ki banyak utang luar negeri dan jum­­lahnya meningkat drastis karena de­­­presiasi nilai tukar.

Saat Pak Soe­­­har­­to masih presiden, nilai tukar rupiah adalah Rp2.500 per US$, lalu men­­jadi Rp7000-Rp8.000 per US$.

Saat itu orang merasa mustahil un­­­tuk banyak belanja karena harga-har­­­ga naik begitu pesat, lima hingga se­­­puluh kali.

Tetapi sekarang di tengah masalah eko­­nomi dunia, Indonesia tumbuh sekitar 6% dalam beberapa tahun ter­­­akhir dan inflasi hanya satu digit se­­­kitar 5%-6%.

Selain itu, nilai tu­­­kar rupiah stabil. Kinerja bursa sa­­­ham juga sangat bagus.

Saat pertama kali saya ke sini, indeks bursa sa­­ham gabungan (IHSG) masih 300, tapi sekarang 4.500.

Industri per­­bank­­an yang dulu dipenuhi kredit macet, sehingga bank-bank hanya pu­­­nya pilihan; untuk ditutup atau di­­­rekapitalisasi.

Sekarang kinerjanya sa­­­ngat bagus dan masalah itu sudah ti­­­dak ada.

Apa yang membuat ekonomi In­­­donesia berhasil bangkit dari kri­­­sis, tumbuh, dan bertahan me­­­lalui krisis di AS dan Eropa, serta perlambatan ekonomi di Chi­­­na dan Jepang?

Ada beberapa hal alami yang dapat menopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Populasi Indo­­­ne­­sia masih muda. Puncak rasio populasi usia kerja di China adalah 2012, se­­­dangkan di Indonesia puncaknya baru pada 2025 atau antara tahun 2020 dan 2030.

Anda masih punya banyak waktu un­­­tuk menikmati bonus demografi, yang juga membuat Anda dapat me­­­nikmati konsumsi domestik yang kuat.

Namun itu saja tidak cukup. Anda harus punya kebijakan yang te­­­pat untuk mempertahankan keber­­lan­­­jutan pertumbuhan ini.

Salah satu yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah mendukung in­­­vestasi infrastruktur.

Saat menikmati bonus demografi ini, China da­­­pat tumbuh 10%. Namun kenapa Indonesia, yang mengalami faktor yang sama dengan China pada 10 ta­­­hun yang lalu, hanya tumbuh 6%?

Pertumbuhan ekonomi sebesar 6% adalah sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang lain, ta­­­pi tidak jika dibandingkan dengan Chi­­­na.

Saya rasa masalahnya ada pada infrastruktur. Bahkan China ma­­­sih memperkuat infrastrukturnya sampai hari ini.

Saat tiba di bandara, saya masih ha­­­pal jalan. Jika si sopir membiarkan saya pegang stir, maka saya bisa mengendarai sendiri mobil ke hotel ini.

Di China, Anda tidak bisa begitu. Jika Anda tidak datang ke China be­­­­berapa tahun saja, Anda akan me­­­ne­­mukan banyak perubahan.

Jadi itulah contoh sederhana. Ba­­­nyak kota di China punya subway. Di kota-kota besar sistem subway sudah semakin canggih.

In­­­do­­ne­­sia perlu mempertimbangkan fa­­­silitas transportasi massal yang efi­­si­­en ini.

Apakah Indonesia bisa berhasil se­­perti China dalam memaksi­­mal­kan bonus demografi dan kon­­­sumsi domestik yang kuat de­­­ngan membangun infrastruktur untuk memperkuat pertum­­buh­an ekonomi?

Saya sangat yakin dengan Indo­­ne­­sia. Indonesia dan China bahkan se­­­be­­narnya juga bisa bekerja sama un­­­tuk saling menikmati pertum­­buh­an.

In­­­donesia tengah gencar membangun infrastruktur dan Chi­­na sudah ber­­­pengalaman dalam in­­fras­­truktur.

China sudah berinvestasi sangat ba­­­nyak untuk proyek infrastruktur. Per­­­usahaan-perusahaan China sa­­­ngat berpengalaman dalam bidang ini.

China dapat membantu penger­­ja­an proyek-proyek infrastruktur di In­­­donesia, sedangkan Indonesia bisa memenuhi permintaan konsumsi do­­­mestik yang tengah diperkuat oleh China.

Anda mengatakan bonus de­­mo­­grafi Indonesia baru akan ha­­­bis antara tahun 2020 dan 2030. Kita sudah menyaksikan per­­­lambatan ekonomi saat China men­­­capai puncak tersebut. Apa­­kah Indonesia akan mengalami hal yang sama?

Bonus demografi adalah faktor ala­­mi, yang berdampak kepada per­­tum­­buhan, tetapi ini bukanlah satu-satunya faktor pendorong pertum­­buh­an.

Pada 1990, Indonesia juga me­­­nikmati bonus demografi, tapi sa­­­yang­­nya ada krisis finansial.

Bahkan meskipun te­­­ngah menikmati bonus de­­mografi, Indonesia perlu memperhatikan se­­jumlah ri­­­siko potensial, se­­perti inflasi. Kon­­­sumsi de­­mografi yang kuat bia­sanya di­­­iringi dengan inflasi.

Tingkat inflasi di Indonesia se­­­benarnya relatif tinggi dibandingkan de­­­ngan negara-ne­­ga­ra di Asia timur laut, se­­perti China, Jepang, dan Tai­­­wan. Kita perlu ber­­hati-hati atas se­­­jum­­lah risiko saat memba­­ngun eko­­no­­mi.

Indonesia juga mungkin perlu men­­di­­versifikasi ekspor. Jika eks­­por hanya bergantung kepada sumber daya alam, Indonesia akan mu­­dah meng­­­alami guncang­an yang tidak diinginkan.

Jika bisa terdiversifikasi, ri­­­siko itu bisa diminimalisasi. In­­­donesia perlu mereformasi infras­­truk­­­­­tur untuk mengurangi risiko itu.

Lalu apa yang menjadi penghambat terbesar?

Masalahnya, masih ada subsidi ba­­han bakar minyak dalam anggar­an pemerintah.

Saya rasa efisiensi energi juga perlu diperbaiki untuk mengurangi beban fiskal agar bisa dia­­lihkan ke belanja infrastruktur.

Subsidi ini sebenarnya lebih meng­­­untungkan banyak orang kaya yang bisa beli mobil.

Pada 1999 saat sa­­ya ke sini, kami merekomendasikan pemerintah untuk mengurangi subsidi energi, tetapi saat itu sangat su­­lit karena banyak orang miskin di In­­­donesia.

Jika harga energi naik, ini bisa ja­­di beban bagi mereka, tapi sekarang kabar baiknya ada lebih ba­­­nyak penduduk berpenghasilan me­­­nengah. Kemampuan mereka untuk menghadapi kenaikan harga energi jauh lebih bagus.

Saya rasa pemerintah harus bisa melihat kesempatan ini untuk merasionalisasi harga BBM, sehingga belanja fiskal bisa le­­bih efisien.

Di satu sisi Indonesia harus me­­­ngurangi anggaran subsidi BBM. Di sisi lain, Indonesia ha­­­rus menjaga inflasi.

Beberapa eko­­­nom mengatakan inflasi akan men­­­capai 7%, jika ada penaikan har­­­ga BBM. Bagaimana kita ha­­­rus menghadapi dilema ini?

Sebenarnya itu tidak benar, karena sub­­sidi energi akan menstimulasi per­­mintaan.

Harga bensin yang mu­­­rah akan membuat orang membeli ba­­­nyak mobil. Ini adalah stimulan per­­­mintaan yang tidak diinginkan dan tidak efisien dan inilah yang men­­­donkrak inflasi.

Jika anda menaikkan harga BBM, me­­­mang akan ada dampak sementara terhadap inflasi untuk penyesuai­an, tetapi seiring dengan waktu per­­min­­taan akan berkurang, sehingga orang semakin sensitif dan responsif da­­lam melihat harga. Ini akan me­ngurangi inflasi.

Selain di sektor fiskal, apakah An­­­da melihat ada tantangan atau risiko dari kondisi moneter di Indonesia saat ini?

Di sektor moneter, Bank Indonesia su­­dah melakukan pekerjaannya de­­­ngan baik dengan menurun­kan ting­­kat inflasi dari level saat krisis, mes­­ki masih tetap le­­bih tinggi diban­­ding­­kan dengan negara-negara Asia lain­­nya.

Indonesia perlu terus menjaga ke­­­bijakan moneter untuk mencegah lon­­­jakan inflasi. Selain itu, kita per­­lu sadar saat kondisi moneter inter­­na­­­sional longgar akan banyak aliran mo­­­dal ke ne­­ga­ra kita, beberapa dari me­­­reka sifatnya spekulatif jangka pen­­­dek.

Jika kondisi moneter eks­­ternal mu­­lai berubah, mungkin akan ada aliran ke­­luar. Jika institusi finansial do­­­mestik lemah, mam­­pu­­kan kita meng­­­hadapi alir­an keluar tiba-tiba ini? Coba ki­­ta lihat dari sejarah.

Sebelum 1997, ada banyak aliran mo­­­dal masuk ke In­­do­­nesia.

Bank-bank di In­­­do­­ne­­sia meminjam terlalu ba­­­nyak dari asing. Suku bunga In­­­do­­­ne­­sia terlalu tinggi, sehingga mereka cari utang keluar dan mereka pikir itu deal yang bagus.

Sayangnya, saat pertengahan 1990-an aliran modal keluar. Ini bu­­­kan fenomena yang hanya terjadi di In­­­donesia, tetapi terjadi di banyak ne­­­gara lain di Asia.

Sekarang, saat kita ma­­­sih menimati aliran masuk ini, ki­­­ta harus bersiap menghadapi ke­­­mung­­kinan aliran keluar.

Apa dampak dari penguatan eko­­­nomi China kepada perekono­­mi­an Indonesia dan hubungan per­­­dagangan kedua negara?

China pada masa lalu adalah kon­­su­­men terbesar komoditas. China juga mengimpor dari Indonesia, Brasil, dan Australia, sehingga meng­untungkan nengara-negara itu. Ke­­­depannya, China akan tetap menjadi konsumen komoditas terbesar.

Namun, menurut saya, pertum­­buh­an konsumsi China mungkin akan melambat dibandingkan de­­­ngan masa lalu, seiring dengan per­­tum­­buhan ekonomi yang mungkin ha­­nya berkisar 7% per tahun, turun da­­­ri 10% di masa lalu.

Apa yang diimpor China dari In­­­do­­nesia sebagian besar berupa ba­­­rang modal, seperti batu bara.

Na­­­mun, kedepannya China akan ber­­alih dari ekonomi yang ditopang in­­­­­vestasi menjadi konsumsi, se­­­hingga akan terus mengimpor ba­­rang, tapi kali ini termasuk produk kon­­sumsi.

Impor barang konsumsi akan ber­­tam­bah secara dramatis. Saat ini, im­­­por China dari Brasil dan Australia ti­­­dak hanya bijih besi tapi juga pro­­­duk pertanian. Jika ekonomi China ber­alih ke konsmsi, maka China ju­­­ga akan mengimpor manakan dari Asia Tenggara.

Populasi China sangat besar. Me­­­reka tidak hanya ingin membeli le­­­bih banyak makanan tapi juga membeli makanan yang lebih bergizi.

Me­­­reka banyak makan daging, tetapi un­­­tuk berternak mereka harus membeli banyak pakan, sehingga meng­­­impor kedelai dan jagung.

Saya rasa Indonesia belum mencapai level swadaya pangan untuk me­­­me­­­nuhi seluruh permintaan China akan produk makanan dan pakan. Na­­­mun, Indonesia bisa memanfaatkan kebutuhan konsumsi China akan furnitur.

Banyak orang Chi­­­na kini tinggal di apartemen mo­­dern dan banyak dari mereka meng­­gan­ti furniturnya dengan barang yang lebih baik.

Mereka sudah mengimpor furnitur dari Indonesia, seperti keramik dan kayu. Ini peluang bagi eks­­portir furnitur Indonesia.  (ra)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper