--- Percakapan membutuhkan kesetaraan. Jika ada satu pihak yang merasa inferior atas pihak lain dan sebaliknya, solusi bersama tidak mungkin bisa dicapai--
Orang bisa gelap mata dan sempit akal ketika kebuntuan hidup menyergapnya. Dalam film Kuldesak, empat tokohnya punya cara sendiri-sendiri menghadapi kebuntuan itu. Ada yang memilih berhati ringan, tapi ada juga yang mengakhirinya dengan senapan.
Dalam keseharian, aktivitas yang rutin, kebuntuan kerap menyergap: mentok menghadapi teman kerja yang koppeg, pekerjaan yang memburu, sementara tenggat tak bersahabat. Debat yang tak berkesudahan, sementara solusi harus segera diputuskan. Semua keadaan ini mendorong orang untuk mengambil dua sikap ekstrim: diam atau bersikap keras. Ini dua pilihan yang kerap kali tak terelakkan.
Di saat genting inilah menetapkan pilihan menjadi krusial. Anda bisa pendek akal jika pilihan itu keliru, tapi solusi akan diperoleh jika pilihan itu tepat. Teori “Percakapan Krusial”—atau terjemahan dari “Crucial Conversations” yang dikembangkan oleh empat penulis ahli manajemen: Kerry Patterson, Joseph Grenny, Ron McMillan, dan Al Switzler—mencoba mengurai apa yang mesti dilakukan jika menghadapi kebuntuan dalam pelbagai soal.
Buku yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Dunamis, memaparkan hal ihwal kebuntuan dari persoalan “sepele” di meja makan hingga yang serius dan menyebabkan seseorang mengakhiri hidupnya. Sebab, yang serius maupun sepele, bisa berakibat fatal jika pilihan kita menghadapi kebuntuan keliru. Kebuntuan kerap kali tak bisa dihindari, kendati kita telah berupaya untuk menghindari.
Kebuntuan bisa disebabkan oleh pola. Setiap kali membahas tema tertentu, Anda dan tim Anda selalu mentok, tidak pernah mendapat solusi. Barangkali karena cara diskusi yang salah. Cobalah, memulainya dari sisi yang berbeda, bahkan berlawanan. Misalnya, jika memulai dari masalah itu selalu ruwet, bisa dimulai dengan pilihan-pilihan solusi.
Teknik ini sebenarnya mengunci peserta diskusi dengan pilihan yang Anda sodorkan dan memancing solusi lain yang mungkin dan perlu. Setiap solusi dibedah dengan kemungkinan-kemungkinan hambatannya dan outputnya dengan pelbagai cara yang didiskusikan.
KESETARAN
Kebuntuan juga bisa disebabkan hal lain: hubungan yang searah dan inferior. Percakapan membutuhkan kesetaraan. Jika ada satu pihak yang merasa inferior atas pihak lain dan sebaliknya, solusi bersama tidak mungkin bisa dicapai. Sebab ruang kesetaraan itu yang memungkinkan dialog, bukan pada akhir sikap diam atau sikap keras. Sikap imparsial menghindarkan pada prasangka yang tak perlu.
Penyebabnya karena orang sering keliru membedakan mana fakta mana asumsi. Penilaian-penilaian kita terhadap masalah atau terhadap seseorang sebenarnya didorong oleh fakta.
Namun, prasangka seringkali mengaburkannya sehingga yang muncul adalah asumsi. Harga barang A Rp2 juta adalah fakta. Prasangka mengaburkannya dengan asumsi bahwa harga itu kemahalan. Padahal, mahal atau murah harus dibandingkan dengan barang lain yang sejenis dan disesuaikan dengan kebutuhan dan konteksnya.
Jika membangun sebuah rumah tipe 60 seharga Rp1 miliar, tentu saja akan dikategorikan mahal jika dibangun di pinggir Jakarta, padahal rumah tipe yang sama di lokasi yang sama hanya menghabiskan Rp300 juta.
Namun, harga itu jadi wajar jika lokasinya ternyata di Menteng. Maka lihat faktanya dulu, karena fakta tak berpihak. Fakta menggambarkan kondisi apa adanya. Perspektif dan asumsi kitalah yang membuat fakta itu bernilai.
Karena itu asumsi bukannya tak perlu. Ia diperlukan justru untuk mengukur fakta sesuai kebutuhan kita, sesuai dengan masalah yang sedang kita bahas. Asumsi akan jadi bumerang jika dikedepankan mendahului fakta. Maka sebuah proyek akan dinilai terlalu mahal, sehingga ada potensi korupsi, jika asumsi mendahului fakta. Sebaliknya, juga akan terlalu murah sehingga merugikan anda yang mendapatkan proyek itu.
Keberhasilan anggota tim kita membedakan fakta dan asumsi dari masalah yang sedang dibahas sangat tergantung pada Konten-pola-relasi (K-P-R) yang sudah dikenali lebih dulu itu, dari percakapan krusial itu. Logika akan lebih banyak berperan, dan itu yang kita butuhkan dalam diskusi, ketimbang prasangka yang lahir dari asumsi-asumsi.
Setelah K-P-R bisa dikenali, dan Anda serta lawan bicara sudah bisa membedakan mana fakta dan asumsi, anda berdua atau tim anda sudah masuk tahap berikutnya, yakni dialog. Pada kondisi ini masing-masing orang sesungguhnya sudah terbekali dengan solusi menghadapi percakapan krusial.
Percakapan demikian, pada kondisi seperti itu, biasanya akan efektif karena hanya tertuju pada solusi. Walhasil, Anda dan lawan bicara tak menemui kebuntuan, kuldesak yang berakibat pada gelap mata dan pendek pikiran.
Hal yang sama juga juga dialami oleh peserta pelatihan Crucial Conversations. Program pelatihan yang bersumber dari buku tersebut telah diberikan ke berbagai organisasi sejak tahun lalu yang dikonteksualkan dengan situasi unik di masing-masing organisasi. Peserta melaporkan bahwa dialog dalam organisasi mereka tumbuh sehat yang berakibat pada meningkatnya kerja sama dan sinergi di organisasi secara drastis.(msb)
*Partner Dunamis Organization Services