-- Berbeda dengan social entrepreneur yang dapat melakukan apa saja yang mereka kehendaki dengan perusahaannya, social intrapreneur tidak. Ini disebabkan social intrapreneur bekerja untuk orang lain di dalam perusahaan--
Beberapa tahun yang lalu, mingguan The Economist mencatat sebuah fakta yang hingga hari ini masih menjadi ganjalan bagi para pengusung social enterprise. Dari 200.000 social enterprise di Amerika Serikat, hanya 144 yang berhasil menembus angka pendapatan tahunan (annual revenue) sebesar $50 juta.
Sebanyak 75% organisasi for profit social enterprise hanya memiliki pegawai tetap tidak lebih dari 25 orang. Penyebabnya satu: ketidakmampuan dari organisasi ini untuk berkembang.
Selain itu, meskipun jumlahnya banyak, social enterprise dianggap tidak secara efektif dapat memberikan dampak sosial yang diharapkan. Bahkan, tidak sedikit yang mencoba membandingkan dampak yang dihasilkan para social entrepreneur independent dengan CSR perusahaan besar.
Dampak positif sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh sebuah perusahaan besar ternyata signifikan bila dibandingkan dengan upaya sporadis yang dilakukan oleh para social entrepreneur tersebut.
Tak mengherankan, jika kini banyak yang mendorong munculnya social intrapreneur di dalam perusahaan-perusahaan besar. Social intrapreneur adalah karyawanperusahaan besar yang memiliki determinasi untuk ikut menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terabaikan dengan menggunakan perusahaan di tempatnya bekerja sebagai instrumen.
Mereka adalah agen perubahan yang ada di dalam perusahaan dan bergerak untuk membantu perusahaan untuk mengembangkan strategi triple bottom line. Namun, hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Berbeda dengan social entrepreneur yang dapat melakukan apa saja yang mereka kehendaki dengan perusahaannya, social intrapreneur tidak. Ini disebabkan social intrapreneur bekerja untuk orang lain di dalam perusahaan.
Ada banyak pihak yang harus diyakinkan, dan yang terutama, hal ini harus sejalan dengan kepentingan para pemilik modal (shareholder). Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Berikut ini merupakan tip untuk menjadi social intrapreneur di dalam tempat Anda bekerja.
Pertama, miliki mindset untuk menyelaraskan tujuan bisnis dengan tujuan sosial. Derajat penyelarasan ini bergantung pada tingkat (level) Anda di perusahaan. Semakin tinggi posisi Anda, semakin strategis peran Anda sebagai social intrapreneur. Jika Anda CEO atau manajer senior dari perusahaan, berarti Anda memiliki peran yang penting untuk integrasi ini.
STRATEGI PERUSAHAAN
Anda bisa mengembangkan strategi perusahaan yang berorientasi bisnis dan sosial. Anda memiliki keleluasaan untuk bergerak di tataran abstrak dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi karyawan untuk bergerak (enabling environment).
Oleh karena itu, kembangkanlah sistem yang secara konsisten mengakomodasi aspek-aspek sosial dan lingkungan di dalam strategi implementasi dan KPI karyawan. Coba untuk implementasikan social and environmental balance score card.
Jika Anda manajer madya, maka Anda bisa memastikan bahwa hal-hal esensial, seperti misalnya hak-hak karyawan, atau penanganan limbah di unit anda, diperhatikan dengan baik. Jadilah quick win dan prototype dari sebuah unit/area kerja yang sukses menerapkan triple bottom line. Segera umumkan kesuksesan ini, dan ajak unit atau departemen lain untuk mereplikasi kesuksesan ini.
Kedua, kuasai disruptive dan frugal innovation. Salah satu hal yang dikemukakan oleh beberapa pakar manajemen (misalnya, Porter dan Kramer, C.K. Prahalad) adalah fakta bahwa perusahaan besar dapat berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan dengan keterlibatannya melalui inovasi produk dan jasa yang ditujukan kepada mereka yang berada di bagian bawah piramida pendapatan (bottom of pyramid).
Inovasi yang dilakukan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin untuk juga menikmati produk-produk esensial yang selama ini hanya dinikmati kalangan menengah-keatas. Misalnya, berkat inovasi portable USG machine yang dilakukan oleh GE, masyarakat miskin tetap bisa memperoleh layanan pemeriksaan kesehatan melalui klinik kesehatan lokal.
Walaupun demikian, etika harus diperhatikan di sini. Para social intrapreneur harus betul-betul memperhatikan bahwa produk dan jasa yang mereka kembangkan memang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jejak negatif (externalities) yang timbul sebagai akibat dari aktivitas ini harus di tangani dengan baik. Sebagai contoh, penjualan susu formula dalam kemasan sachet akan memberikan dampak positif, tetapi di sisi lain, tanpa pemahaman masyarakat yang memadai, penjualan susu formula dalam sachet dapat memberikan dampak negatif bagi adopsi ASI eksklusif.
Adalah kewajiban para social intrapreneur untuk memperhatikan hal ini dan mengembangkan skema pemasaran unik penjualan susu formula dalam kemasan sachet yang edukatif.
Ketiga, jadilah champion dalam perusahaan. Social intrapreneurship bukan lagi monopoli departemen atau pun unit CSR dalam perusahaan. Setiap karyawan di dalam perusahaan dapat menjadi pengusung aspek sosial dan lingkungan dan mengembangkan suasana positif di dalam perusahaan.
Dalam beberapa penelitian, peran efektif unit CSR akan sangat terasa justru ketika mereka dapat memfasilitasi departemen atau unit lain di dalam perusahaan untuk juga terlibat di dalam aktivitas sosial dan lingkungan perusahaan.
Selain itu, ada beberapa perusahaan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki kelompok “ekstrakurikuler”. Bentuklah kelompok ekstrakurikuler yang bertujuan untuk memperbaiki proses sosial dan lingkungan perusahaan dan ajukan proposal kepada manajemen untuk mengubah proses bisnis agar dapat mencakup aspek sosial dan lingkungan hidup.
Keempat, tingkatkan empati dan kembangkan jejaring. Pemahaman seorang social intrapreneurship atas permasalahan sosial dan lingkungan yang ada perlu berkembang seiring dengan berkembangnya kompleksitas kehidupan di masyarakat.
Oleh karena itu, meningkatkan kemampuan empati atas masalah-masalah yang terabaikan di masyarakat menjadi mutlak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan jejaring yang dimiliki oleh karyawan perusahaan. Misalnya, menjadi anggota komunitas yang relevan. Selain itu, aktif di lingkungan warga perumahan juga bisa menjadi alternatifnya.
Intinya, karyawan tidak boleh menjadi katak di dalam tempurung. Ia harus paham dan mengerti dengan baik apa saja masalah-masalah lingkungan dan sosial yang ada. Dengan demikian, menjadi ignorant bukan lagi pilihan!
*Faculty Member Binus Business School