--- Ketidakmampuan pemimpin mengendalikan ucapan dan tindakan akan menular pada bawahan yang dipimpin, serta masyarakat luas--
Bisnis.com, JAKARTA - Sudah menjadi risiko seorang pemimpin untuk tidak berbicara atau bertindak semau sendiri. Sebab setiap kata dan tingkah lakunya akan didengar dan ditiru oleh khalayak.
Maka seorang pemimpin tidak bisa begitu saja melepaskan kata dan melakukan tindakan, tanpa menyadari dampak yang bakal ditimbulkan. Ketika hendak berbicara dan bertindak, seorang pemimpin harus bisa mengontrol diri untuk memastikan ucapan dan tindakannya tepat atau tidak, berdampak buruk atau tidak. Itulah beda pemimpin dengan orang kebanyakan.
Kesadaran itulah yang ada pada raja raksasa Prabu Rahwana dari kerajaan Alengka, dan guru sakti Resi Subali dari pertapaan Sonyapringga.
Kocap kacaria., Rahwana masih sakit hati kepada kakak tirinya Prabu Danapati yang memiliki aji Rawarontek. Ajian ini sangat sakti, penggaduh-nya tidak bisa mati selama masih merasakan ada hembusan angin. Yang mampu mengalahkan atau menandingi Rawarontek hanya Pancasonya. Sosok yang pertama kali mengamalkan Pancasonya adalah Resi Subali.
Subali, anak Resi Gotama, memang sakti mandra guna. Sebelum berubah wujud menjadi seekor kera merah, dia satria tampan rupawan bernama Raden Guwarsi. Akan tetapi setelah kena kutukan berubah wujud menjadi kera dan bergelar Resi Subali.
Mengetahui nama besar Subali dan kesaktian Pancasonya, Rahwana berniat untuk berguru. Jauh dari Alengka terbang ke hutan Dandaka untuk mencari tempat Resi Subali bertapa.
Ketika tepat terbang di atas pertapaan Subali, Rahwana seperti ditarik daya gravitasi yang amat besar sehingga langsung jatuh terpuruk di hadapan sang resi. Begitu berulang sampai tiga kali. Menyadari akan kekuatan sakti Subali, Rahwana langsung sujud sungkem minta maaf dan minta diangkat menjadi murid.
Rahwana terus terang mengutarakan keinginannya untuk mempelajari ajian Pancasonya. Subali tidak serta merta menerima rahwana sebagai murid. Ia menanyakan maksud dan niat Rahwana memiliki ajian sakti tersebut.
RAJA di ALENGKA
Rahwana tidak berterus terang bahwa niat sejatinya adalah untuk mengalahkan ajian Rawarontek milik Danapati. Ia berkilah Pancasonya diperlukan untuk melengkapi kekuatan saat menjabat sebagai raja di Alengka.
Mendengar jawaban polos itu, Subali pun mengizinkan dan mengangkat Rahwana sebagai murid. Pancasonya dibangun dari keteguhan lima panembah. Dengan penuh kesungguhan Rahwana menempuh tahap demi tahap yang diajarkan Subali. Dalam waktu tiga bulan lengkap sudah wedaring ajian Pancasonya dari Subali ke Rahwana.
Untuk memastikan Rahwana tidak akan menyalahgunakan ajian sakti itu, Subali mengatakan semua ajian ada kelemahan, termasuk Pancasonya. Kelemahan ajian ini adalah perilaku yang tidak bawa laksana. Artinya antara ucapan dan tindakan berbeda. Barang siapa memiliki ajian Pancasonya tapi ucapan dan tindakannya menyimpang, lambat atau cepat ajian sakti itu akan luntur.
Rahwana tidak bisa menerima peringatan Subali tersebut. Ia berpendapat, kekuatan sebuah ajian harus digunakan untuk menambah kewibawaan seorang pemimpin. Tidak peduli seperti apa perilaku pemilik ajian tersebut.
Kendati berbeda pendapat, keduanya tidak larut dalam perang kata-kata kasar, apalagi sampai perang fisik. Lontaran pendapat dikemukakan secara santun, dalam batas-batas kewajaran.
Perbedaan pendapat antara seorang raja dan seorang resi kerap tidak bisa dihindarkan. Sebab keduanya berada dalam standing position yang berbeda, sehingga perspektif yang digunakan dalam memandang persoalan pun akan berbeda.
Dalam posisi seperti itu, tidak bisa serta merta dipastikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Waktu yang akan membenarkan atau menyalahkan pendapat masing-masing. Yang langsung bisa dicatat dan dinilai adalah cara menyampaikan pendapat itu.
Publik dibuat kaget ketika Presiden SBY dan Presiden FPI Habib Rizieq Shihab saling perang pernyataan. SBY menyebut Habib Rizieq dan FPI dalang kerusuhan dan menciderai Islam. Habib Rizieq balik menuding SBY sebagai pecundang yang bungkam terhadap maraknya kemaksiatan di bulan Ramadhan.
Di tengah umat Islam menjalankan ibadah puasa, perang kata-kata yang cukup keras dan tajam tentu tidak pada tempatnya. Sebab pengendalian diri terhadap ucapan dan tindakan merupakan esensi penting ibadah puasa. Ketidakmampuan pemimpin mengendalikan ucapan dan tindakan akan menular pada bawahan yang dipimpin, serta masyarakat luas.
Pemimpin, apakah dia pemimpin pemerintahan alias umara, atau pemimpin keagamaan alias ulama, harus menjadi contoh sosok yang bawa laksana alon dennyo ngandiko. Satu kata dan perbuatan, santun dalam perkataan, santun pula dalam tindakan. Jangan sampai kakehan gluduk ora udan, terlalu banyak petir tetapi tidak ada hujan. Pemimpin yang omdo seperti itu, akan ditinggalkan rakyat dan umat. Sumonggo.