---- Yeo Hiap Seng menjadi contoh bagaimana sebuah keluarga harus kehilangan kendali atas perusahaan akibat konflik yang berlarut-larut
Yeo Hiap Seng (YHS) adalah sebuah perusahaan produsen makanan dan minuman yang bermarkas di Singapura. Perusahaan ini didirikan pada 1901 di Fujian, China, oleh Yeo Keng Lian. Awalnya, YHS hanya memproduksi saus.
Pada 1935, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-60, Yeo Keng Lian menyerahkan kepemimpinan perusahaan kepada putra tertuanya, Thian In. Karena situasi politik di China yang tidak menentu, Thian In dan keluarganya, termasuk saudara-saudaranya, hijrah ke Singapura. Di negeri singa itu, YHS mendirikan pabrik saus.
Di bawah kepemimpinan Thian In, perusahaan tumbuh pesat. YHS mendiversifikasi usahanya dan berekspansi ke luar negeri. Seiring dengan tumbuh kembangnya perusahaan, semakin banyak anggota keluarga yang bergabung. Pada 1956, keluarga sepakat membagi kepemilikan YHS menjadi tujuh bagian. Agar kepemilikan tidak jatuh ke tangan orang lain, anggota keluarga memutuskan membuat holding company yang dikendalikan oleh keluarga. Pada 1969, YHS mencatatkan sahamnya di bursa.
Pada 1980, YHS memperbarui strategi bisnisnya; menggalakan inovasi, riset, dan pengembangan; dan menyempurnakan struktur organisasi. Berkat usaha-usaha ini, YHS mampu menjadi pemimpin pasar dalam industri makanan dan minuman.
YHS menginvestasikan banyak dana untuk kepentingan penelitian dan pengembangan. Perusahaan ini mengembangkan banyak produk yang sesuai dengan selera orang Asia. Di samping itu, YHS juga memperoleh lisensi untuk memproduksi dan mendistribusikan merek-merek ternama. Salah satunya adalah Pepsi.
Keretakan hubungan antar anggota keluarga mulai terjadi saat generasi ketiga mengambilalih kepemimpinan pada 1990-an. Anggota keluarga kerap berbeda pandangan dalam masalah investasi dan manajemen. Konsensus semakin sulit tercapai.
Saat Alan Yeo, anak Thian In, menjadi Presiden YHS, dia meminta sejumlah anggota keluarga mengundurkan diri dari posisi manajemen. Perpecahan semakin dalam, rasa saling percaya semakin hilang. Merasa kecewa, sebagian anggota keluarga memutuskan menjual kepemilikan sahamnya. Mereka tidak senang dengan gaya kepemimpinan Alan Yeo yang mereka anggap otoriter dan hanya mementingkan diri sendiri.
Perseteruan lantas merembet kepada perebutan kepemilikan saham antara Alan Yeo sebagai pemegang saham terbesar dengan pemegang saham lainnya. Mengingat situasi yang semakin kisruh, pembubaran holding company menjadi satu-satunya jalan agar setiap keluarga dapat memiliki saham YHS secara langsung. Inilah yang kemudian terjadi.
Pascapembubaran, kepemilikan keluarga terhadap saham YHS menyusut drastis. Puncaknya adalah saat YHS diambil alih Far East Organization, pengembang properti terbesar di Singapura, hingga sekarang.
KEHILANGAN KENDALI
YHS menjadi contoh bagaimana sebuah keluarga harus kehilangan kendali atas perusahaan akibat konflik yang berlarut-larut. Fenomena ini rupanya juga menimpa banyak perusahaan keluarga. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan. Tindakan segera harus diambil tatkala muncul gejala-gejala (warning signs) yang menandakan konflik dapat pecah sewaktu-waktu. Berikut ini adalah gejala-gejala yang dimaksud.
Pertama, keluhan baik dari anggota keluarga maupun non keluarga lantaran tidak adanya keadilan dalam perusahaan, baik dalam hal kompensasi, beban kerja, tuntutan, maupun suksesi. Bila keluhan ini tidak diselesaikan, rasa frustasi bakal timbul, yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi konflik.
Kedua, anggota keluarga membuat instruksi, keputusan, dan pernyataan yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini tentu membuat karyawan merasa bingung dan tidak nyaman. Bila berlangsung dalam waktu lama, moral karyawan bakal runtuh.
Ketiga, kegagalan untuk membangun konsensus bahkan untuk hal-hal yang sepele. Bila hal-hal yang sepele saja tidak dapat diselesaikan, lantas bagaimana dengan hal-hal yang lebih penting?
Keempat, tiadanya visi dari pemimpin perusahaan. Padahal visi sangat penting lantaran menjadi pedoman bagi langkah-langkah dan strategi perusahaan. Tanpa visi, tidak jelas apa yang ingin dicapai perusahaan.
Kelima, anggota keluarga tidak memahami peran dan tanggung jawab masing-masing. Akibatnya, akan banyak pekerjaan yang terbengkalai, Pemberian kompensasi tidak didasarkan pada kriteria-kriteria yang objektif, adil, dan transparan.
Keenam, anggota keluarga mulai meninggalkan perusahaan keluarga lantaran tidak lagi merasa terikat secara emosional dengan perusahaan. Hal ini akibat yang bersangkutan tidak pernah merasa menjadi bagian dari perusahaan keluarga.
Ketujuh, tumbuh suburnya nepotisme. Artinya dalam merekrut seseorang, perusahaan keluarga memprioritaskan anggota keluarga tanpa mempedulikan kompetensi. Hal ini tentu akan menimbulkan kekecewaan bagi karyawan.
Kedelapan, generasi senior masih sering melakukan intervensi terhadap kegiatan operasional sehari-hari perusahaan meski telah mengumumkan pengunduran dirinya dari perusahaan. Hal ini tentu membuat generasi penerus merasa tidak nyaman. Kondisi ini terjadi akibat buruknya perencanaan suksesi.
Kesembilan, tiadanya pihak independen yang duduk dalam jajaran dewan direksi perusahaan. Di samping itu, diskusi terbuka antara manajemen dengan pemilik perusahaan juga tidak ada.
Dan kesepuluh, perusahaan sulit merekrut talenta-talenta terbaik dari luar perusahaan. Padahal sumber daya manusia (SDM) yang unggul adalah aset paling berharga yang dimiliki perusahaan. Tanpa mereka, perusahaan tidak akan maju. Perusahaan keluarga perlu mengenal gejala-gejala ini serta mengambil tindakan sebelum konflik menjadi tidak terkendali.