Bisnis.com, JAKARTA - Yogyakartamemang terkenal di kalangan turuis mancanegara. Bukan saja karena destinasi pariwisata, dan surga kulinernya,sektor pendidikan juga menjadi incaran perhatian mereka.
Hal ini berimbas pada roda perekonomian warga setempat. Salah satu orang yang turut kecipratan berkah adalah Tri Handoko, pemilik Atap, warung Fusion Food, di Jalan Sosrowijayan GTI/113 Yogyakarta.
“Saya sadar Yogyakarta punya daya tarik bagi turis asing, salah satunya dari warga Amerika. Entah dengan alasan pelesir, belajar, atau menyerap kebudayaan lokal, yang jelas kota ini mulai panen turis sejak serangan teroris di AS 11 September 2001,” tutur Handoko belum lama ini.
Berangkat dari sini, lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM tersebut membuka Atap pada medio Oktober 2001.Dengan modal Rp3 juta, pria berusia 37 tahun ini merintis bisnis kuliner Nusantara tanpa ada konsep khusus dan hanya berpikir bagaimana caranya memanfaatkan kans usaha.
“Nah, kebetulan ada tempat kosong di lantai dua kediaman saya.
Walhasil dengan modal dan kemampuan pas-pasan, saya membuka warung makan ini,” ujarnya.
Nama Atap sendiri dipilih lantaran warung makannya dibangun di atas lahan terbuka rumahnya. “Tak ada dinding. Hanya ada atap seng yang dijadikan naungan kala panas maupun hujan,” tambahnya.
Mulanya, Atap hanya dilengkapi dengan kursi dan meja dari ban bekas. Semua alat dapur pun kepunyaan sendiri. Dengan hanya digawangi dua orang yakni dia dan sang adik, para pengunjung terpaksa mengambil makanannya sendiri. Bahkan ada yang ikut membantu memasak.
Rupanya hal itu justru menjadi keunikan tersendiri. “Saya ingat, ada seorang pengunjung yang mengulas Atap di Lonely Planet, semacam world travel guide web. Di sana ia menulis, Atap sangat direkomendasikan karena tempatnya sangat unik, apa adanya, murah, dan menyajikan menu yang cocok dengan lidah orang Barat,” ceritanya.
Setelah masuk Lonely Planet, banyak sekali turis yang tertarik menyambangi Atap. Sadar bahwa pengunjung kian membeludak, Handoko pun lantas berinovasi. Kini ia juga menyajikan menu makanan yang dikemas secara modern, tetapi tetap mengusung cita rasa Nusantara.
“Yang membedakan Atap dengan tempat kuliner lain adalah jenis makanannya. Saya berani memastikan, belum ada restoran yang menyajikan steak daging dengan bumbu rendang, rawon, atau sate,” ungkapnya tertawa. Di samping itu, porsi yang ditawarkan cukup membuat mata penduduk lokal terbelalak.
“Mereka para bule ekspatriat punya nafsu makan besar, makanya tiap menu di sini saya sajikan dengan porsi jumbo, hampir tiga kali lipat porsi orang lokal,” katanya.
Untuk teknik memasak, pria yang belajar memasak otodidak ini mengklaim semua menu disajikan dengan metode grilling.Teknik ini memanfaatkan panas api yang tinggi, biasanya sumber panas berada di bawah makanan yang tengah dimasak. Di Eropa dan Amerika, proses memasak seperti ini memang cukup terkenal.
Aneka makanan yang dimasak dengan teknik itu antara lain lada hitam chicken, chilly cheese chicken, lemon tarragon chicken, minted chicken, barbeque chicken, Padang chicken, Padang steak, Makassar steak, spicy Balinese chicken, dan aneka cajun.
Khusus menu cajun, Handoko punya cerita menarik yang diperoleh dari pelanggan asal Louisiana, Amerika. Cajun, makanan khas imigran Prancis di Amerika ini, katanya, rupanya sangat menarik bagi turis itu. “Waktu itu ia heran bagaimana bisa saya memasak makanan yang bahkan di negara asalnya sudah sangat langka. Saya terhenyak, dengan polos saya jawab tahu dari Internet,” urainya.
Bakat mengeksplorasi resep makanan ini juga tampak dari aneka makanan, baik hidangan utama berupa steak maupun ribs.“Kalau Anda lihat daftar menu, akan ada banyak sekali rempah-rempah Indonesia yang saya manfaatkan dalam membuat masakan Barat. Semua saya elaborasikan begitu saja, dan ternyata tanggapan pelanggan cukup baik,” tuturnya.
MASA SURUT
Kendati terbilang sukses, Bisnis yang digeluti Handoko ini pernah mengalami masa surut. Lantaran peristiwa bom Bali I dan II, jumlah turis menyusut drastis. Merasa terancam, Handoko sempat menutup Atap selama kurang lebih 1 tahun dari 2007 hingga 2008.
Dia dulu bahkan sempat berpikir untuk menamatkan Atap dan ganti haluan, tapi urung dilakukan. Pasalnya ada seorang pengunjung yang meyakinkannya untuk tidak menutup Atap.
“Semangat saya pun bangkit. Akhirnya saya buka kembali Atap dengan segala risiko,” ungkapnya. Demi alasan efektivitas, Atap hanya buka saat makan malam yakni pukul 18.00-22.00. Meski demikian, pengunjung tetap membludak, terutama saat high season tengah tahun.
“Mungkin karena harga makanan dianggap murah. Menu utama saja dipatok mulai harga Rp45.000, sementara itu untuk dessert dan appetizer, pengunjung hanya perlu merogoh kocek Rp20.000-an,” jelasnya.
Meski diklaim murah, kelesuan ekonomi Amerika tak ayal membawa konsekuensi buruk bagi Bisnis Handoko. “Gara-gara krisis, pengunjung saya yang memang rata-rata adalah orang asing, menganggap harga makanan di sini sangat mahal. Padahal bagi orang lokal, harga segini sudah sangat murah,” katanya.
Untuk itulah pria itu mengambil inisiatif untuk menyesuaikan porsi menu dan harga. “Agar pelanggan tak lari, saya mendesain menu yang setimpal dengan harga yang sanggup mereka keluarkan,” ujarnya. Upaya Handoko rupanya berhasil.
Buktinya pelan ggan masih memadati Atap saban harinya. Saat sedang ramai, ia bisa mengantongi omzet Rp3 juta-4 juta per malam. Sementara saat low season, ia bias memperoleh Rp1 juta. “Hasil yang lumayan untuk rumah makan yang bahkan hanya buka 3 jam saja,” tutupnya. (Purnama Ayu Rizky/JIBI).