Bisnis.com, TOKYO - Pengusaha Rachmat Gobel ternyata melalui masa-masa pembelajaran hidup yang keras sewaktu ditempa ayahnya, sehingga menjadi tangguh seperti sekarang.
"Saya kalau salah ngomong saja ditempeleng, plak...," kata Rachmat saat menyampaikan kesan menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Chuo University di Wisma Duta, Tokyo, Rabu (26/3) malam.
Presiden Komisaris PT Panasonic Gobel Indonesia itu, dengan penuh respek, mengisahkan betapa kerasnya pendidikan sang ayah, M. Thayeb Gobel, yang membentuknya memiliki karakter yang kuat seperti sekarang ini.
Dia berkisah, saat-saat genting ketika diminta melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan perusahaan National Gobel (sebelum berubah menjadi Panasonic Gobel) saat usianya masih belia.
Suatu ketika, kata Rachmat, saat sedangdi sekolah SMA, ia dijemput mobil ayahnya untuk diantar ke Rumah Sakit. "Orang tua saya ada apa?," dia bertanya-tanya, yang kemudian diketahui bahwa sang ayah terkena serangan jantung yang pertama.
Ternyata iadiminta menandatangani persetujuan dokter untuk mengoperasi jantung sang Ayah, sebagai anak lelaki tertua. Semua kakaknya adalah perempuan.
"Di rumah sakit, ayah menjabat keras tangan saya. Kata ayah saya, kamu sebagai anak laki-laki tertua, harus mengambil tanggungjawab," ujarnya menirukan pesan ayahnya.
Maka, setelah mendapatkan pesan ayahnya tersebut, Rachmat yang semula berniat kuliah di Amerika selepas SMA, memutuskan untuk sekolah ke Jepang.
Pada tahun kedua kuliah di Universitas Chuo, dia sudah mulai mondar-mandir Tokyo-Jakarta, karena diajak ikut rapat perusahaan oleh sang ayah.
CUMA PAS-PASAN
Profesor Suruta, guru yang dianggapnya sebagai orangtua sendiri, bercerita semula Rachmat Gobel tidak akan diterima karena bahasa Jepangnya kurang baik.
Tetapi karena universitas tersebut butuh mahasiswa dari luar Jepang sebanyak-banyaknya, Rachmat Gobel diterima sebagai mahasiswa.
Menurut Wakil Rektor Universitas Chuo Prof. Toshikazu Kato yang juga memberikan sambutan di Wisma Duta, Rachmat yang di sebut "pas-pasan" itu ternyata melejit ketika menangani bisnis keluarganya bersama Matsushita.
Prof Kato menambahkan, karena kepiawaian itu, dari 12 Fakultas dan sekitar 1000 dosen Universitas Chuo, semuanya setuju memberikan gelar Doktor HC untuk Rachmat. "Kalau satu saja keberatan tidak akan dikasih," katanya.
Soal kuliah yang "pas-pasan" itu dibenarkan oleh Rachmat Gobel. "Sebetulnya saya tidak masuk [Universitas] Chuo karena dari 70 orang yang dijatah sudah penuh. Semua jago. Bahasa Jepang saya juga tak terlalu bagus. Tetapi argumentasi sebagian dosen, harus banyak orang asing, maka saya akhirnya diterima," ujarnya.
Pada saat usianya menginjak 22 tahun, Rachmat berkisah, ayahnya kembali masuk Rumah Sakit, dan kembali menjabat tangannya erat-erat, bahkan keras.
"Kamu harus ambil estafet, jaga kehormatan keluarga, kelangsungan perusahaan. Saya minta maaf karena mendidik kamu dengan keras," ujarnya menirukan pesan ayahnya, yang tak lama kemudian meninggal dunia.
Rachmat sempat terbata-bata saat menceritakan kisah itu. Apalagi, dia menyebutkan, salah satu kakaknya, Emmy, yang sedang sakit di Singapura, mengirimkan sms: "Tenny [panggilan kecil Rachmat Gobel], ini [gelar Doktor HC] untuk ayah... Ayah pagi bekerja, malam kuliah," ujar Rachmat mengutip SMS kakaknya itu.
SMS tersebut ia terima sebelum berpidato di Universitas Chuo, Senin (24/3) pagi. Sang ayah memang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya, Jakarta, saat mengelola pabrik National di Cawang.
Itulah yang disebut prinsip okaishi atau "mengembalikan". Merasa belum sempat berbalas budi ayahnya, maka dia mengembalikan dengan berusaha mengelola perusahaan sebaik-baiknya, yang memberi manfaat kepada lebih banyak orang sebagai "amal jariyah".
"Perusahaan itu seperti amal jariyah, karena bisa mempekerjakan banyak orang," ujarnya.
Rachmat yang juga Ketua Umum Perhimpunan Persahabagan Indonesia-Jepang itu menambahkan, selain berupaya menjadi anak saleh dan bakti kepada orang tua, prinsip yang selalu dipegangnya adalah menjaga respek. "Saya mendapatkan kepercayaan harus bayar dengan kepercayaan. Respek harus dibayar dengan respek. Keras [dalam disiplin] dibayar dengan keras," tuturnya.
Itulah yang menggerakkan hatinya ketika kembali dari Jepang, bahwa dia "Harus berbuat sesuatu." Kepada anak lelakinya, Muhammad Arif Gpbel, ia mengajarkan hal yang sama. Dia selalu bilang, "Ini amanah. Dan juga ibadah."
Prinsip yang selalu dia ajarkan, dan akan dibawa sampai meninggal, ada tiga hal, yaitumutual trust, mutual respect, dan mutual benefit.