Bisnis.com, JAKARTA -- Julie Smolyansky saat ini menjabat sebagai Presiden Direktur Lifeway Food Inc. (selanjutnya disebut Lifeway sebuah perusahaan keluarga produsen makanan kesehatan yang bermarkas di Morton Grove, Illinois, Amerika Serikat).
Dia adalah generasi baru pemimpin Lifeway, putri Michael and Ludmila Smolyansky, imigran asal Rusia dan sekaligus pendiri perusahaan. Ludmila saat ini menjadi Chairman, sedangkan Michael telah meninggal dunia pada 2002.
Adik Julie, Edward, saat ini menjabat Direktur Keuangan. Lifeway menjadi perusahaan pertama milik imigran asal Rusia yang mencatatkan sahamnya di bursa (go public).
Kisah awal berdirinya Lifeway dimulai dari usaha Michael dan Ludmila yang menjual kefir, sejenis minuman susu tradisional yang populer di Rusia dan Eropa Timur, di pasar AS. Bisnis dimulai pada 1986 di lantai bawah tanah di Skokie, Illinois.
Ludmila menjadi ‘otak’ yang mencetuskan dan menumbuhkan bisnis perusahaan. Pada saat berusia 26 tahun, Ludmila tiba di AS, tanpa kemampuan berbicara bahasa Inggris. Di samping menjual kefir, ia juga menjadi importir bahan makanan Eropa. Menurut Julie, ibunya memiliki intuisi yang tajam mengenai tren serta produk-produk berkualitas tinggi.
Julie sendiri bercita-cita membesarkan Lifeway, sehingga bisa berdiri sejajar dengan perusahaan-perusahaan sejenis yang lebih dulu mapan. Lifeway telah menghasilkan kategori produk baru berbasis kefir.
Kefir sejatinya adalah bahan yang umum dipakai di Rusia meski masih asing bagi banyak orang. Julie mengangkat warisan budaya tanah leluhurnya dengan cara membuat, menciptakan, serta memperkenalkan kategori baru dalam industri makanan.
Sementara itu, banyak perusahaan besar ternama yang berfokus pada aktivitas pemasaran dan periklanan agar mampu bersaing, Julie berfokus pada kisah keluarganya. Saat masih hidup, ayahnya, Michael, menyewa perusahaan hubungan masyarakat (humas) saat perusahaan belum lama berdiri, bertujuan mengisahkan perjuangan seorang imigran Rusia di AS.
Julie yakin cerita yang disampaikan berulang-ulang kepada sebanyak mungkin orang melalui berbagai cara dapat menjadi modal keunggulan bersaing. Saat Julie mengambilalih bisnis keluarga dalam usia 27 tahun, ia memanfaatkan jejaring sosial untuk menyampaikan kisah tentang keluarganya.
Bagi Julie, kesuksesan Lifeway tak bisa lepas dari kedekatan hubungan keluarga. Ia bekerja sama erat dengan Edward, adiknya. Ia senang bahwa dengan bekerja bersama keluarga memudahkan komunikasi yang terbuka dan transparansi.
Menurutnya, pada saat bekerja dengan rekan kerja nonkeluarga, Anda harus bersikap diplomatis. Namun, pada saat bersama keluarga, Anda bisa bicara apa adanya.
Apa yang terjadi di Lifeway tentu dapat menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi perusahaan-perusahaan keluarga lainnya, termasuk di Indonesia. Sesama saudara kandung, dengan dukungan orang tua, saling bahu membahu membesarkan perusahaan keluarga. Keluarga rukun, perusahaan makmur. Begitulah impian semua perusahaan keluarga.
Sayang kenyataan kerap tak seindah impian. Banyak anggota keluarga yang pada awalnya mampu bekerja bersama kemudian pecah dan terlibat dalam perselisihan yang berdarah-darah. Kabar baiknya, perpecahan ini dapat diantisipasi dan dihindari, atau paling tidak diminimalkan.
Tiga Ancaman
Untuk melakukannya, perusahaan keluarga paling tidak harus memperhatikan tiga rawan yang dapat menjerumuskan perusahaan ke dalam perpecahan.
Pertama, saat perusahaan semakin bertumbuh dan maju.
Pada saat perusahaan belum lama didirikan, anggota keluarga banyak yang masih hidup prihatin. Mereka berjuang bersama-sama, tak jarang demi mempertahankan kelangsungan hidup.
Rasa senasib sepenanggungan ini menjadikan mereka kompak dan bersedia bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan, yaitu memajukan perusahaan. Ego masing-masing pribadi dikesampingkan.
Namun saat perusahaan telah besar, ditandai dengan keuntungan dan kas berlimpah, tidak jarang masing-masing anggota keluarga mulai menunjukkan egonya dan menonjolkan kepentingan masing-masing. Jika tidak diantisipasi, konflik tentu akan pecah.
Kedua, pada saat generasi senior atau pendiri meninggalkan perusahaan. Selama ini, generasi senior menjadi figur sentral yang disegani berkat pengetahuan dan kualitas kepemimpinan yang luar biasa, sesuatu yang tidak, atau paling tidak belum, dimiliki oleh generasi muda.
Apapun permasalahannya, apabila generasi senior telah memutuskan, masalah dianggap selesai. Kondisi ini mengakibatkan generasi muda segan menonjolkan diri, meskipun sebenarnya ia tidak setuju dengan sikap dan tindakan pendiri yang juga merangkap sebagai orang tua.
Namun, tatkala generasi senior tidak ada, masing-masing anak mulai berani unjuk gigi dan menampakkan ketidaksukaan mereka. Apabila tak terkendali dan masing-masing tidak ada yang mau mengalah, perselisihan meletus.
Ketiga, pada saat anggota keluarga yang bergabung dengan perusahaan semakin banyak. Hal ini akan lebih berbahaya apabila diterimanya anggota keluarga hanya didasarkan pada hubungan keluarga, bukan kompetensi.
Hal ini tentu tidak adil bagi mereka yang memang benar-benar kompeten dan telah bekerja keras demi kemajuan perusahaan. Jika dibiarkan berlarut-larut akan memicu konflik. Akibat paling buruk adalah hengkangnya anggota keluarga bertalenta tinggi.
Jadi tumbuh-kembangnya perusahaan, perginya generasi senior, dan makin banyaknya anggota keluarga yang bekerja menjadi saat-saat kritis bagi hubungan antar anggota keluarga.
Penulis
Patricia Susanto
CEO of The Jakarta Consulting Group