Bisnis.com, JAKARTA - Bergelut dengan desain interior dan sukses mendirikan De Stijl Interior Design Consultan pada 2002, tidak langsung membuat Rina Renville berpuas diri. Desiner interior lulusan Institut Teknologi Bandung ini masih berupaya mewujudkan mimpi besar yakni mengangkat produk dari desainer lokal. Salah satunya dengan mengkurasi karya unggulan untuk kemudian ditampilkan dalam pameran.
Upayanya membantu desainer lokal tidak lepas dari pengalaman pribadinya. Dia merasa miris ketika merancang ruangan, lebih banyak klien yang menggunakan furnitur dari luar negeri seperti Cina. Padahal, produk furnitur dari dalam negeri tidak kalah bagus. Rendahnya minat khalayak terhadap furnitur hasil anak bangsa membuat banyak pabrikan yang mati. “Saya tergelitik untuk menyeleksi desain unggulan. Aku yakin bahwa Indonesia punya konten lokal yang semua negara tidak punya,” ujarnya.
Dari ini pula, dia belajar bahwa desain memberi nilai tambah pada suatu produk. Ini yang menjadi bekal bagi produk tersebut untuk dapat bersaing dengan serbuan produk asing.
Berpijak dari keprihatinan tersebut, pada 2012, dia dan beberapa kawan mengumpulkan desiner nasional yang memiliki karya yang bagus untuk di pamerkan. Tidak disangka antusiasme para desainer begitu besar, sehingga perlu dilakukan proses seleksi untuk mendapatkan karya unggulan. Sejak saat itu, beberapa pameran gelaran produk desain begitu sukses digelarnya. Mulai dari Indonesia Desainer dan LocaDeco yang berlangsung pada September 2015.
“Dari evaluasi yang kami lakukan dua bulan setelah pameran LocaDeco, justru banyak dari bule-bule yang tertarik dengan desainnya dan material yang dipilih. Sebab, berbeda dan tidak ada di toko,” jelasnya. Menurutnya, pameran ini sebagai suatu gerakan mengangkat kembali produk furnitur lokal. Namun, juga menjadi panggung bagi desainer lokal dalam mengenalkan karyanya. Selain itu, penyelenggaraan pada bangunan publik rupanya menjadi salah satu cara untuk mendekatkan desainer dengan konsumen. Menurutnya, jika fesyen saja dapat naik daun, maka terbuka juga untuk produk furnitur.
Terobosan yang dilakukan Rina membuatnya dikenal sebagai kurator produk desain. Meskipun demikian, Rina enggan justru enggan disebut kurator. Menurutnya, tugasnya hanya ‘meng inkubasi’ desainer lokal untuk dapat tampil sehingga dapat sejajar dengan desainer ternama lainnya. Dengan demikian, publik akan mengenal produk karya desainer lokal. ”Saya meneriakkan kepada teman-teman untuk menghargai profesi sendiri dan profesi desainer yang lain. Guna mengangkat hasil karya produk dari lokal. Itu hal yang penting,” katanya.
Antusiasme para desainer untuk tergerak membantu Rina dalam mengumpulkan produk unggulan, ternyata tidak lepas dari perempuan berbakat ini dalam berkomunikasi. Rupanya, selain menekuni profesi sebagai desainer, dia tidak melepaskan hobinya sebagai penyiar radio.
JALAN HIDUP
Perjuangan mencapai kesuksesan di bidang desain interior, rupanya bukan hal mudah. Rina percaya bahwa kesuksesan yang diraihnya membutuhkan komitmen dan konsistensi untuk menjalankannya.
Dia menceritakan orang tua sempat menentang keinginannya memilih jurusan interior desain di Institut Teknologi Bandung (ITB). Penolakan tersebut dapat dipahami karena Rina lahir di keluarga yang berlatar belakang pendidikan kedokteran. Penolakan dari keluarga tidak lantas membuatnya mundur teratur.
Rina masih menyimpan mimpi itu dalam lubuk hatinya. Hingga suatu kali saat dirinya mengikuti pertukaran pelajar ke Australia. Di situlah dia semakin yakni bahwa interior desain adalah jurusan yang cocok untuknya. Hobinya sejak kecil yang suka corat-coret, seperti akan menemukan wadahnya. “Dari pertukaran pelajar itu, saya mendapat materi seputar leadership , budaya, dan diskusi berbagai hal. Hal ini membuka pemikiran saya,” katanya.
Usai mengikuti pertukaran pelajar, Rina belajar keras agar berhasil masuk ke ITB, yang dikenal sangat ketat seleksi mahasiswa baru. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Dia berhasil masuk ke jurusan yang diidamkannya. Namun, persoalan bukan begitu saja selesai. Perempuan yang lekat dengan gaya potongan rambut pendek ini, baru memperoleh apreasiasi dari orang tua setelah setahun kuliah. “Lingkungan orang tua banyak yang menanyakan bagaimana dapat masuk ke ITB, yang ternyata susah. Dari situ, orang tua mulai mengapresiasi,” ceritanya.
Seperti orang tua pada umumnya, Rina pun menyimpan harapan agar dua putranya dapat mengikuti jejaknya di bidang desain. Setiap waktu luang, dia seringkali mengajak dua anaknya berkunjung ke galeri dan berdiskusi seputar proses desain. Cara ini dipilihnya untuk mengenalkan dunia seni dan desain pada mereka. “Kalau saya percaya, bakat diturunkan oleh orang tua. Saya melihat ada [bakat] pada mereka. Tugas saya hanya memfasilitasi dan memberi pengetahuan. Ke depan seperti apa, kami tidak memaksa,” katanya.
Di sela-sela waktu senggang-nya, perempuan kelahiran Bandung ini gemar mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik adalah cara ampuh untuk mengembalikan kesegaran pikiran dari rutinitas kerja. Musik memang tidak akan pernah lepas dari profesinya sebagai penyiar radio. Sayangnya, kesibukan yang bertumpuk, membuatnya harus memilih prioritas pekerjaan. “Kalau sekarang, saya lebih membatasi kegiatan hanya seputar dunia desain interior. Sebab, saya punya dua anak, dan suami yang selalu mendukung langkah profesi dan organisasi,” tuturnya.