Bisnis.com, JAKARTA—Ini soal perbedaan kondisi bangsa jelang pemilu. Antara Pemilu 2009 dan Pilpres 2019. Namun bukan menyorot dari sisi kontestasi politisi, tapi lebih dari sisi sepak terjang sebuah produk yang menjadi topik hangat saat itu.
Pada 2009, selain topik pemilu dan perbincangan soal capres, ada satu ‘agenda nasional’ nonpolitik yang juga cukup mengemuka di Tanah Air.
Ia bahkan menjadi tren. Apalagi kalau bukan BlackBerry atau populer disebut BB. Pusat-pusat penjualan telepon genggam di ibukota dihebohkan dengan kehadiran gerai diler BB yang tampil beda.
Kursi yang disediakan untuk calon pembeli pun tidak pernah kosong. Staf penjualan terlihat selalu sibuk memperlihatkan contoh-contoh tipe produk telepon seluler yang juga disukai Presiden AS Barack Obama ketika berkuasa.
Kata orang, setelah ‘FB’ (facebook), lahirlah BB. Klop! Dengan BB, pemakainnya bisa main FB pula. Itulah masa-masa kejayaan BB sebelum akhirnya surut dan saat ini mencoba menyentak lagi dengan senjata baru, yaitu solusi untuk korporasi (enterprise).
Namun tidak banyak yang mengetahui siapa pembuatnya. Tidak seperti Nokia, Ericssson, Motorola, LG, Samsung dan lainnya, BB tidak sekaligus mewakili nama pabrikannya.
Bila kondisinya dibalik, akan terdengar aneh sekali bila ada telepon selular bernama Research in Motion (RIM). Namun, itulah perusahaan awal pembuat BB yang berbasis di Kanada. Kini namanya berganti menjadi BlackBerry Limited. Setelah rapornya biru kembali, raksasa korporasi global kabarnya gencar mendekati perusahaan ini, macam Microsoft, Lenovo, Xiomi, Samsung, Huawei, dan bahkan Apple.
Nah, beberapa bulan jelang Pilpres 2019, tampaknya ‘fenomena BB’ dalam bentuk, format, gaya atau atmosfer lain belum terlihat. Kompetisi antar merek gawai jenis smartphone saat ini cenderung lebih merata.
Tidak ada satu merek tertentu dengan jenis atau tipe tertentu pula yang bisa dengan sombong melesat sendirian tanpa ada kompetitornya. Hal ini berbeda dengan ‘fenomena BB’ di Tanah Air pada 2009.
Yang jelas kemilau BB tak dapat dipisahkan dari kepemimpinan sang komandan sekaligus pendiri, Mike Lazaridis yang menamatkan pendidikan tingkat atas di Toronto.
Semasa remaja, Sang CEO ini memang dikenal gemar mengutak-atik apa saja yang dianggapnya bermasalah. Lantaran itu pula oleh teman-temannya, Lazaridis dijuluki ‘tukang’(Mr. Fix-It) karena hobinya memperbaiki segala sesuatu.
Dari kebiasaan dan talenta yang luar biasa itu, BB bisa mendunia (lagi) seperti sekarang. Ada sebuah prinsip yang mendorong Lazaridis untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri agar bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Itu tampaknya belum cukup. Tepatnya, dia membangun sebuah reputasi atau pengakuan, yaitu sebagai ‘tukang’ atau orang yang bisa mengatasi masalah.
Suatu ketika di high school-nya, Lazaridis mengikuti sebuah kontes untuk memenangkan beasiswa. Dia bersama timnya membuat bel listrik berbentuk kotak. Saat teman-temannya mulai stres menghadapi kerumitan membuat bel, bos BB tersebut justru tenang-tenang saja.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi, bel listrik itupun selesai ditangannya. Bosan dengan model perdana, Lazaridis, yang masih remaja, penasaran untuk membuat produk anyar.
Ternyata produk berikutnya jauh lebih memuaskan. Tidak dinyana, sejumlah sekolah memesan bel listrik buatan Lazaridis. Uang dari hasil penjualannya digunakan untuk membiayai perkuliahan tahun pertama di Universitas Waterloo.
Jiwa wirausaha pria yang tidak terlalu suka tampail formal ini terus terasah. Dua bulan sebelum lulus kuliah, dia menjawab tantangan raksasa otomotif saat itu, General Motors (GM) untuk mengembangkan sistem jaringan pengawas komputer.
“Mereka menawarkan kontrak senilai US$500.000,” ujarnya seperti dikutip Fortune edisi 17 April 2009.
Merasa bisa memberikan sebuah solusi kepada GM, Lazaridis meminta izin rektor agar diberi kelonggaran waktu kuliah.
“Awalnya dia tetap meminta saya menyelesaikan dulu kuliah. Namun ketika saya menjelaskan soal kontrak tersebut, dia berharap saya bisa sukses. Bertahun-tahun kemudian, dia [rektor] duduk di beberapa dewan direksi bersama saya, termasuk di RIM.”
Tidak disebutkan siapa rektor tersebut tetapi yang jelas jejak langkah bisnis Lazaridis terlihat semakin mantap sejak menyelesaikan high school-nya.
Tak dipungkiri bahwa kontrak dengan GM merupakan tonggak sejarah yang mengubah perjalanan hidupnya. “Apa yang kami jalani untuk memulai RIM bermodal dari kontrak GM,” ujarnya.
Bila ada orang yang bertanya apa rahasia sukses Lazaridis bersama RIM, hal itu terletak pada lima prinsip dasar. Pertama, jangan takut melakukan hal-hal yang tidak biasa. Kedua, berpikirlah jauh kedepan dan wujudkan impian itu. Ketiga, perhitungkan risiko yang smart, bukan yang lain. Keempat, lakukan satu hal dengan hasil prima. Kelima, ukur lapangan permainan bisnis Anda.
Lazaridis tentu tidak sendiri. Masih banyak eksekutif puncak yang mengendalikan kapal usahanya ditengah krisis dengan keteguhan prinsip, sehingga layak dijadikan contoh.