Bisnis.com, JAKARTA – Masa lima tahun Marissa Ann Mayer di Yahoo adalah periode yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi CEO manapun. Jauh sebelum dia tampil sebagai komandan pada 2012, Yahoo sebenarnya sudah terseok.
Namun bisa jadi masa lima tahun di pucuk pimpinan perusahaan internet yang sempat lama bertengger di papan atas tersebut terasa bagai 10 tahun atau lebih. Pasalnya, Mayer masuk ketika Yahoo sedang limbung karena persoalan internal yang tak kunjung beres.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kepemimpinannya di Yahoo sejak 2012 dan berakhir lima tahun kemudian itu.
Bagi para pimpinan puncak perusahaan, apalagi yang berskala global, menyelamatkan korporasi yang sedang ‘sesak napas’ merupakan tantangan yang membutuhkan kepiawaian tersendiri.
Salah diagnosa atau ‘obat’ bisa membuat sakit perusahaan makin parah. Sembuh total, bangkit kembali, dan selanjutnya mendulang untung adalah jawaban yang ditunggu pemegang saham dan investor.
Saat lulusan terbaik Stanford University itu didapuk sebagai CEO Yahoo, banyak pihak berharap perempuan semampai tersebut mampu mengangkat pamor raksasa internet yang sedang terkapar lemas.
Mayer langsung menemukan 'lawan tangguh' di Yahoo. Tak lain adalah persoalan internal di tubuh perusahaan itu, dan bagaimana ia merespon dinamika pasar industri internet dan teknologi informasi yang sangat cepat.
Kemundurannya terjadi selama masa dotcom bust pada tahun 2000. Ia semakin tidak bertenaga, bahkan ketinggalan zaman. Sahamnya jatuh 9% dalam sehari. Kala Yahoo hampir kehilangan segalanya.
Pada saat bersamaan para pemegang saham sepakat untuk merekrut salah satu petinggi Google saat itu: Marissa Mayer. Proses rekrutmen berjalan sangat cepat dan membuat semua orang tampak optimistis.
Mayer membuktikan kemampuan perdananya. Belum genap setahun sebagai komandan, Yahoo meluncurkan produk dengan kecepatan yang tak pernah dimiliknya selama lebih dari satu dekade.
Pujian dan penghargaan mengalir. Sayang, tak berlangsung lama. Manajemen kembali dihadapkan dengan tantangan positioning yang tak kunjung terjawab. Mahluk apa Yahoo di tengah perubahan cepat model bisnis, dunia internet, startup, dan teknologi informasi.
Mau berposisi sebagai perusahaan media yang hidup dari iklan atau perusahaan piranti lunak? Dan jawabannya adalah iklan. Tangan dingin Mayer kembali diuji. Ujian yang tampaknya semakin berat untuk dilalui.
Pengalamannya di Google seperti tak banyak membantu dirinya menemukan model bisnis dan solusi besar yang pas untuk sang raksasa yang sedang tertatih-tatih.
Seperti diulas Nicholas Carlson dalam bukunya Marissa Mayer and the Fight to Save Yahoo!, perempuan itu terlihat seperti tak mampu berkutik ketika pada November 2013 harus berhadapan dengan sekitar 2.000 karyawan yang memadati URLs, nama kafetaria Yahoo.
Dia gugup dan penuh emosi. Rambutnya basah tanpa riasan. Sangat berbeda ketika dia tampil di majalah Vogue beberapa bulan sebelumnya dengan kesan cemerlang dan penuh gairah.
Mayer paham betul bahwa dirinya dihadapkan pada masalah pelik. Pengeluaran harus dipangkas dan, di sisi lain, fokus pada perbaikan kualitas produk.
Padahal dewan direksi mendesak Sang CEO untuk memangkas karyawan sebanyak 35%—50%. Awalnya dia dapat meyakinkan para ‘dewa’ bahwa pemecatan besar-besaran bukan langkah yang bijaksana.
Seperti kata Carlson, Mayer tiba di Yahoo bak pahlawan super. Percaya diri dan penuh ide. Seluruh dunia memandang dia adalah orang paling tepat melakukannya.
Siapa mereka? Seorang manajer hedge fund pemanas suasana dari New York. Seorang agitator internet dari Kanada. Seorang negosiator ulung di Hong Kong dan seorang miliarder di Tokyo.
"Namun berkat serangkaian kesalahannya sendiri dan masalah yang melekat di Yahoo, dia segera menyadari bahwa dirinya sedang berada di tengah pertarungan sengit."
Benar kata orang bijak, kursi CEO kadang penuh ranjau maut dan siap melumat tuannya yang tak kuasa memenuhi asa.