Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KIAT MANAJEMEN: Setelah Salya Dihina

---- Sidang memutuskan saran prabu Salya untuk membatalkan Baratayuda tidak bisa diterima. Perang tetap akan terjadi.

---- Sidang memutuskan saran prabu Salya untuk membatalkan Baratayuda tidak bisa diterima. Perang tetap akan terjadi.

 

Muasalnya sepele. Presiden RI 1998-1999 BJ Habibie berkunjung ke Selangor, Malaysia, memenuhi undangan tokoh oposisi Anwar Ibrahim. Di tengah iklim politik yang sedang panas menjelang Pilihan Raya Umum (Pemilu), kunjungan Habibie itu dimaknai sebagai dukungan terhadap Anwar.

 

Serta merta terlontarlah hinaan tidak pantas dari mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainnudin Maidin, melalui artikel di koran resmi pemerintah Utusan Malaysia. Begitu kejinya penghinaan tak beradab itu, sehingga sangat tidak pantas untuk saya kutip di sini.

 

Tidak pelak penistaan itu meningkatkan sentimen anti Malaysia di Indonesia, yang memang sudah cukup meruncing akibat berbagai kasus sebelumnya. Apakah hubungan bilateral kedua negara berjiran akan memburuk? Mari belajar pada kearifan dunia wewayang.

 

Kocap kacarita.  Di sidang paripurna Kerajaan Hastina yang dihelat menjelang Baratayuda, Prabu Duryudana meminta saran dan pendapat Prabu Salyapati dari Mandaraka. Salya dihadirkan karena tak lain ia adalah ayah mertua Duryudana.

 

Salya berpendapat, Baratayuda bisa dicegah dengan syarat kerajaan Hastina dikembalikan kepada mereka yang berhak, yakni anak-anak Pandu alias Pandawa. Sebagai konsesi, Salya ikhlas mundur dari tahta Mandaraka dan menyerahkannya kepada Duryudana.

 

Sebuah saran yang bijak, dan bisa memecah kebuntuan politik yang tengah terjadi. Salya tidak ingin perang saudara itu terjadi. Andai toh terjadi, hatinya lebih berpihak ke Pandawa. Hanya karena tipu muslihat Duryudana sehingga dia berada di tengah bala Kurawa ketika perang siap meletus.

 

Namun saran bijak itu dimentahkan oleh Adipati Karna, yang tak lain juga menantu Salya. Dengan suara lantang Karna menentang usulan yang dinilainya tidak masuk akal tersebut. Malah Karna menuduh Prabu Salya telah mengkhianati bangsa Hastina, dan menyebut kesatria tua itu sebagai antek para Pandawa.

 

Hinaan Karna di depan umum itu membuat Salya naik darah dan tidak bisa mengontrol emosi. Di depan parepatan agung, Salya menantang sang menantu dan siap menyeretnya ke luar ruangan untuk berduel. Karna tak gentar, siap meladeni tantangan itu.

 

Kalau saja Duryudana tidak segera melerai keduanya, duel mertua-menantu itu ibarat merang tangan landesan dengkul, memotong tangan sendiri berlandaskan kaki. Pasti dua-duanya terluka.  Prabu Duryudana menenangkan dan mendamaikan keduanya, karena duel dua tokoh itu pasti merugikan Hastina.

 

Sidang memutuskan saran prabu Salya untuk membatalkan Baratayuda tidak bisa diterima. Perang tetap akan terjadi.

 

Ganjalan Hati

 

Kendati sempat bersitegang dan saling ancam, keduanya bersekutu di arena perang. Ketika Duryudana memerintahkan Karna maju ke medan laga, ia memerintahkan pula Salya sebagai kusir kereta Karna. Keduanya pun bahu membahu menghadapi bala Pandawa, termasuk pertarungan yang ditunggu-tunggu melawan Arjuna.

 

Di atas kerta Karna dan Arjuna adalah lawan sepadan. Sulit ditebak siapa yang akan memenangkan pertarungan. Kesaktian mereka, khususnya dalam hal memanah, setara dan berada di level yang sama. Keduanya pun memiliki wajah yang sangat mirip, bahkan nyaris identik, karena terlahir dari ibu yang sama, Ibu Kunti.

 

Dalam situasi seperti itu, peran sais kereta menjadi sangat menentukan. Sais kereta Arjuna adalah Prabu Kresna, sosok yang kesaktiannya sepadan dengan Prabu Salya. Sayangnya, ada ganjalan di hati Salya. Sebuah ganjalan kecil yang membawa dampak besar pada duel maut Karna-Arjuna, dan berpengaruh pula pada ending perang itu.

 

Salya masih berprinsip seharusnya perang bisa dihindari. Tapi sayang pendapatnya tak diindahkan. Ia bahkan dihina dan dipermalukan akibat pendapatnya itu. Lebih dari itu, sebegai sesepuh, ia lebih sayang Pandawa dibanding Kurawa.

 

Ganjalan hati itu membuat Salya tidak all out menjalankan peran sebagai kusir kereta perang. Dalam sebuah momen menentukan, ia tak sigap berbelok sehingga roda kereta terperosok ke lobang dan tak bisa bergerak. Peluang itu tak disia-siakan Arjuna. Ia melepaskan panah andalannya, Pasopati, yang melesat bak kilat menyambar leher Karna.

 

Indonesia dan Malaysia kerap bersitegang dan berselisih akibat berbagai hal. Namun semangat kebersamaan sebagai saudara serumpun serta sesama anggota Asean selalu bisa meredam ketegangan itu. Sayangnya Malaysia seolah tak mempedulikan dan menghargai Indonesia secara semestinya. Selalu saja ada hunjaman dan tikaman baru yang melukai hati dan rasa rakyat Indonesia.

 

Layaklah kita menduga, sebagaimana halnya Salya, sejatinya Malaysia tidak tulus dan ihlas bersaudara dengan Indonesia. Selalu ada dusta di antara ucapan dan seremoni  penuh basa-basi. Jika persekutuan tak tulus ini terus berlangsung, jangan heran jika tikaman demi tikaman akan menghunjam dada rakyat Indonesia. Seperti halnya Karna yang akhirnya tewas oleh ketidaktulusan Salya. Sumangga.

 

*Dalang dan CEO RMI Group

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Sumber : Rohmad Hadiwijoyo

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper