BISNIS.COM, YOGYAKARTA-‘’Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”. pasal 13 Undang-undang Nomor 4 tahun 1997.
Pagi itu Tarjono merasakan ada yang berbeda dengan kondisi badannya, lesu dan tanpa gairah. Serasa ia ingin melewati hari itu dengan segera, kalau perlu dengan satu kedipan mata. Hari itu bakal melelahkan baginya dan kedua orang temannya karena ada beberapa trafo yang bermasalah di beberapa wilayah di Klaten. Dia tak akan menyangka bahwa pagi itu akan mengawali hari yang akan mengubah hidupnya. Setidaknya membuat hidupnya berguna bagi para penyandang cacat kelak.
Siang harinya, ketika ia dan kedua temannya tadi memeriksa kerusakan salah satu instalasi di kawasan industri Ceper, Klaten. Ketika itu tiba-tiba, satu sisi anting-anting pada menara tersebut lepas dan mengenai mereka. Hanya dalam hitungan beberapa detik, Tarjono dan dua temannya terlempar akibat libasan tingginya tegangan listrik.
Meski ketiganya selamat, semuanya mengalami cacat seumur hidup. Tarjono harus kehilangan kaki kirinya yang terpaksa diamputasi, selain itu ia juga harus menerima kenyataan bahwa 10 jari tangannya tak bisa digerakkan lagi lantaran mengalami kerusakan syaraf. Namun saat ini, setelah memakai kaki palsu, orang-orang kebanyakan tidak tahu jika di balik celana kerjanya adalah kaki palsu.
“Setelah itu mental saya sempat hancur mas, bahkan saya sempat berpikir untuk mati saja”, ujarnya mengingat penderitaannya.
Namun dalam situasi tergelap bagi Tarjono pada waktu itu muncul seorang sosok yang membawa secercah terang pengharapan. Frannie Denmmest, seorang volunteer asal Belanda yang pada saat itu bertugas di bagian fisiotherapy RS Dr. Sardjito dengan sabar menyemangatinya. Ia telah membuat Tarjono sadar akan penghargaan atas kehidupan dan membuatnya bangkit kembali. Ketika itu butuh dua tahun dalam kurva hidupnya bagi Tarjono Slamet untuk bangkit.
Atas dorongan keluarga dan sejumlah teman dekat, ia lalu masuk ke Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) di Yogyakarta, dan mengikuti sejumlah pendidikan dan keterampilan khusus bagi orang cacat. Tahun 1991, Slamet bergabung dengan bagian usaha kerajinan, atau Yakkum Craft.
Atas bimbingan Mc Lennan Collin, seorang volunteer di sana, ia mulai membuat produk-produk kerajinan, seperti mainan anak-anak dari kayu, alat peraga, atau puzzle. Hasil karyanya kemudian dijual ke sejumlah tempat seperti sekolahan dan tempat-tempat edukasi lainnya.
Tidak sampai di situ, Slamet mulai berpikir menjadi wirausaha untuk memperbaiki ekonominya. Setelah dikirim Yakkum untuk mengikuti kursus singkat tentang fund rising di New Zealand tahun 1992 dan Australia tahun 1993, ia bahkan sempat kuliah di Oakland University, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari Yakkum Craft dan membangun usaha sendiri.
Kebersamaan dengan sesama penderita cacatlah yang akhirnya menggugah Slamet untuk kemudian bangkit dari keputusasaan. Ia mulai menyadari, cacat fisik bukanlah akhir dari segalanya. Kaum difabel pun dapat berbuat sesuatu dan menghasilkan karya-karya brilian, berkualitas, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Slamet menamai usahanya barunya Mandiri Craft, yang berproduksi di Desa Ngangkruk, Kretek; dan Desa Timbulharjo, Sewon, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Berbekal hasil warisan keluarga, sisa gaji, dan usaha sampingan penerjemahan bahasa, Slamet membeli 15 mesin sebagai alat produksi kerajinan kayu, mulai dari mesin gergaji, kompresor, mesin pembuat siku, hingga mesin ampelas.
Ia lalu menggandeng 25 kaum difabel yang sebagian besar adalah penyandang polio. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Solo, Semarang, Banyuwangi, Magetan, dan Gunung Kidul, yang sebelumnya adalah rekan-rekannya yang juga pernah bergabung di Yakkum Craft.
Kurun waktu tahun 2003 sampai 2006, Mandiri Craft telah memberi pengasilan yang layak melalui produk-produk berkualitas yang dibuat dan dipesan oleh konsumen di Indonesia, Australia, New Zealand dan Eropa. Dari hasil kursus fund rising dan jaringan di luar negeri, Slamet mampu mengekspor produk-produk Mandiri Craft ke Belanda, Australia, dan Jerman.
Pada waktu itu Tarjono mampu membayar semua karyawannya dengan upah yang layak. Bahkan semua karyawan Mandiri Craft digaji di atas Upah Minimum Provinsi atau UMP. Belum lagi, mereka masih akan menikmati insentif melalui bagi hasil atas setiap kelebihan keuntungan usaha.
PASANG SURUT
Gempa 27 Mei 2006 di Bantul kala itu berdampak hebat pada perusahaan tersebut, bahkan telah merenggut nyawa salah satu pengrajin. Sarana dan prasarana yang ada di workshop dan lingkungan tempat tinggal mengalami kerusakan total. Meskipun upaya perbaikan telah dilakukan, ternyata Mandiri Craft sangat butuh bantuan dari pihak luar untuk bisa bangkit kembali.
Bantuan-bantuan kemudian berdatangan dari berbagai belahan dunia. Teman-teman Tarjono dari Belanda mengumpulkan uang untuk mendirikan workshop sementara dengan materi bambu. Palang Merah Jepang, Malaysia, Indonesia dan Belanda mengirimkan bantuan dana untuk memulai workshop yang baru. Kemudian Handicap International menyumbang beberapa mesin dan alat produksi untuk memproduksi barang kerajinan, sehingga proses produksi bisa dimulai lagi pada Agustus 2006.
Untuk mengesahkan Mandiri Craft secara hukum, pada tahun 2008 dibuat akte yayasan dengan nama “Yayasan Penyandang Cacat Mandiri”. Yayasan memutuskan untuk menjalankan peranannya dengan nama komersil “Mandiri Craft”. Berkat kemurahan hati Palang Merah Jepang pada tahun 2008 didirikanlah suatu bangunan megah sebagai sumbangan bagi Mandiri Craft. Bangunan baru tersebut meliputi ruang workshop, kantor terpadu, bagian penjualan dan asrama bagi pekerja. Selain itu juga tersedia fasilitas training bagi para penyandang cacat, termasuk korban gempa Mei 2006.
Kemudian pemerintah daerah Bantul melalui Bupati memberikan ijin sewa sebidang tanah untuk periode waktu 20 tahun dengan biaya yang sangat murah. Maka, pada Januari 2009 Mandiri Craft mulai memproduksi kerajinannya di tempat yang baru tersebut, yaitu di Jl. Parangtritis km. 7,5, Cabean, Sewon, Bantul.
Satu mimpi yang belum terlaksana adalah menjadikan rumah produksi kerajinan Mandiri Craft berstandar internasional. Artinya, setiap pekerja di sana harus mendapatkan fasilitas antisipatif untuk keselamatan kerja.
“Saya ingin mereka aman dalam bekerja sehingga perlu ditekan dari kemungkinan mengalami kecelakaan, terutama saat mengoperasikan mesin-mesin. Dan agar mereka dapat merasa setara dengan orang-orang normal lainnya”, ujarnya.
Setelah peristiwa gempa Mei 2006, Tarjono juga memberi pelatihan bagi beberapa korban yang selamat dalam keahlian yang bisa memberi penghasilan bagi mereka. Banyak korban selamat gempa yang kehilangan harta benda dan butuh bantuan untuk memulai kembali hidup mereka.
“Di daerah Yogyakarta ini saja masih banyak penyandang cacat yang belum terakomodasi, apalagi setelah gempa 27 Mei. Saya ingin berbagi ilmu dan pengalaman saya dengan mereka karena saya ingin kami para penyandang cacat ini sejajar dengan orang-orang normal lainnya,” ujar Tarjono.
Saat ini, yayasan itu memiliki 55 karyawan yang hampir semuanya adalah penyandang cacat fisik, 2 orang diantaranya adalah tunarungu. Mulai dari produksi, administrasi hingga keuangan, semuanya ditangani oleh karyawan yang difabel secara fisik. Tarjono yang menjabat sebagai manager, mempunyai dua lokasi workshop, yaitu di Jalan Parangtritis KM 7,5 di Jalan Parangtritis KM 9.
Untuk pekerja baru diwajibkan untuk mengikuti pelatihan terlebih dahulu tentang cara bekerja orang difabel. Para pekerja baru ini wajib tinggal di asrama yang sudah disediakan dan berada satu bangunan bersama tempat workshop Mandiri Craft.
Produk yang paling diminati dan sudah menjadi semacam trademark bagi Mandiri Craft adalah produk mainan kayu edukatif. Selain itu mereka mulai memperbanyak variasi produk kerajinan mereka yang dulu hanya sebatas produk kerajinan untuk edukasi, kini juga beberapa produk rumahan seperti hiasan rumah dan peralatan rumah lainnya.
Saat ini omzet per bulan mereka berkisar sekitar Rp30 jutaan dari pasar luar negeri dan dalam negeri. Pasar luar negeri mereka saat ini terdapat dari Palang Merah Internasional, Jerman, Jepang dan Belanda. Sedangkan untuk pasar dalam negeri berasal dari Jakarta, Bandung, Yogya, Bali dan Sumatera.
“Kedepannya kami terus mengembangkan dan berinovasi terhadap produk kami. Selain mengembangkan produk baru selain mainan edukatif, kami juga berinovasi dalam hal desain dan bentuk produk-produk baru yang akan kami produksi. Kami akan mulai mengikuti kemauan dan permintaan pasar saat ini.”, ujar Tarjono mantap.