BISNIS.COM, JAKARTA--Pada tahun ketiga kuliahnya di ITB, Ciputra mulai merintis langkah menjadi entrepreneur. Motifnya sangat biasa, sebagaimana motif yang juga pernah kita dengar dari entrepreneur lain: ingin menutupi biaya kuliah yang tidak lagi mampu disediakan oleh ibunya.
Bagi dia, pilihan bisnis tidak banyak yang tersedia kala itu. Satu-satunya yang dapat ia andalkan adalah pengetahuan, pengalaman, dan kawan-kawannya.
Pada awalnya, ia bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan konsultan, tetapi semangat entrepreneurnya berkobar terus sehingga kemudian bersama Budi Brasali dan Ismael Sofyan ia bersepakat membuka perusahaan konsultan Biro Arsitek Daya Cipta yang masih ada sampai sekarang dengan nama PT Perentjana Djaja.
Pengalaman berbisnis sebenarnya tidak banyak, tetapi ia sudah mengenal dunia dagang ketika ikut membantu ibunya di tempat kelahirannya.
Hingga kini, PT Perentjana Djaja masih beroperasi dan dapat dikatakan perusahaan ini pembuka jalan bagi langkah-langkah entrepreneurship Ciputra selanjutnya.
Jika kita bertanya dari mana seharusnya memulai bisnis, maka pengalaman Ciputra memberikan jawaban yang sederhana: mulailah dari apa yang ada pada diri kita; mulailah dari apa yang bisa kita lakukan. Coba sadari pengetahuan apa yang kita miliki, atau keahlian apa yang sesungguhnya bisa dijadikan pijakan awal, dan adakah kawan-kawan yang bisa diajak ikut berbisnis?
Kelihatannya mengatakan hal ini memang sangat mudah. Namun sesungguhnya dibutuhkan keberanian untuk mengambil keputusan. Ketika pertama kali memutuskan untuk menjadi entrepreneur, Ciputra pun pernah mengaku kalau ia sempat ragu-ragu. Bahwa Ciputra dapat mengatasi keraguan itu, menurut dia sendiri, adalah karena kepercayaan dirinya yang besar.
Dari mana asal mula rasa percaya diri yang besar itu? Jika kita meminjam teori Roymond W.Y. Kao, rasa percaya diri tumbuh bersama pengalaman-pengalaman sukses dalam berbagai skala. Misalnya, orang menjadi lebih percaya diri ketika ia berhasil naik kelas, berhasil masuk kelompok lima besar, berhasil masuk ke sekolah atau perguruan tinggi terkemuka, berhasil menjadi juara tertentu dalam bidang kesenian, olahraga, atau lomba-lomba lainya, dan sebagainya.
Semakin banyak pengalaman berhasilnya, maka semakin mudah membentuk kepercayaan diri seseorang. Pengalaman berhasil membuat orang terdorong untuk mencari tantangan yang lebih besar, mencoba untuk menguji diri sendiri, mencari tahu batas-batas kemampuannya sendiri.
Kendati motif awal usaha Ciputra adalah untuk membiayai diri sendiri, menunjukkan suatu bisnis bisa dimulai dengan alasan-alasan yang sangat pragmatis dan sederhana. Dalam hal ini Ciputra tidak sendirian.
Bill Hewlett dan Dave Packard, pendiri Hewlett PackardHPperusahaan yang usianya kini sudah menginjak tahun ke-67, menunjukkan hal yang mirip. HP yang dalam buku laris karya James C. Collins dan Kerry I Porras berjudul Built to Last, Successful Habits of Visionary Companies [1994] dianggap sebagai salah satu perusahaan visioner di dunia, ternyata didirikan oleh orang-orang yang memulai bisnis dengan alasan yang sangat sederhana. Beginilah Hewlett dan Packard menceritakannya.
“Ketika pada suatu saat saya berbicara dengan orang-orang di sekolah bisnis, professor manajemen merasa terkejut ketika saya mengatakan bahwa saya tidak mempunyai rencana ketika usaha kami dimulai-kami hanyalah orang-orang yang oportunistik. Kami melakukan apa saja yang akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.”
“Kami pernah membuat sebuah penanda pelanggaran pada permainan bowling, memodifikasi sebuah jam untuk menggerakkan teleskop, suatu alat tempat kencing yang dapat memancarkan air secara otomatis, dan sebuah mesin penggetar yang mampu menurunkan berat badan. Itulah keadaan kami pada saat itu, dengan modal US$500, mencoba memproduksi apa saja yang dibuat orang yang mungkin bisa kami buat.”
Adakalanya calon entrepreneur dikacaukan oleh dua hal yang seolah-olah bertentangan. Di satu sisi seorang entrepreneur seperti Ciputra sering digambarkan sebagai entrepreneur yang mengawali langkahnya dengan mimpi, cita-cita, atau visi yang besar. Di sisi lain, langkah-langkah awal yang diambilnya justru terkesan sangat biasa, tidak sebanding dengan visi yang luar biasa itu.
Sebagian besar mimpi Ciputra yang kemudian mewujud dalam karya-karyanya, adalah tentang membangun proyek-proyek berskala raksasa, mulai dari taman rekreasi terbesar hingga kota-kota baru yang fenomenal. Namun, jika kita amati langkah awalnya memulai bisnis, ternyata ia tak berbeda dengan entrepreneur lain yang memulainya dari alasan-alasan yang sangat sederhana, semisal untuk menutup biaya kuliah.
Lalu, apa sebenarnya yang membedakan seorang entrepreneur sejati dan entrepreneur biasa-biasa saja? Apa yang dapat jadi pelajaran bagi para calon entrepreneur dalam hal ini? Barangkali di sini lah kembali visi besar itu berbicara. Seorang entrepreneur sejati mengambil langkah-langkah kecil di awal perjalanannya, tetapi dengan selalu dalam kerangka mewujudkan mimpi yang menjelma menjadi visi.
Ini pula yang menurut Rhenald Khasali, penulis buku Change [2005] membedakan mimpi seorang entrepreneur sejati dengan mimpi seorang seniman amatiran. Seorang entrepreneur sejati, dalam hemat Rhenald, segera bangkit dari mimpi-mimpi dan bertindak tanpa berharap akan datangnya mukjizat begitu saja. Sedangkan seniman amatir hanya akan bermimpi tanpa bertindak. Mimpi seorang entrepreneur berorientasi pada tindakan, sekecil apa pun itu. Sedangkan mimpi seorang mediocre tinggal sebagai mimpi belaka.
Ciputra mempunyai cara sendiri menggambarkan Dream Big, Start Small. Katanya, “Membangun sebuah perusahaan adalah bagaikan membangun sebuah air terjun artifisial. Satu per satu bungkah batu-batu besar kita letakkan. Dengan cermat kita atur dan kita seimbangkan peletakannya, sehingga kekuatan alam kemudian menciptakan alur air yang estetis menuju ke satu titik pelimbahan,” [Bondan Winarno, 1996].
Keputusan Ciputra untuk mendirikan konsultan perencanaan Biro Daja Cipta—kemudian menjadi PT Perentjana Daja Cipta -- ketika masih kuliah, hanyalah salah satu bungkah batu yang kemudian menopang visi besarnya membangun pencapaian-pencapaian besar lainnya dalam perjalanannya sebagai entrepreneur. Visinya terus memandunya sehingga ketika di tengah perjalanan bersama Biro Daja Cipta, ia memutuskan bungkah batu lainnya.
Dan itulah keputusan penting berikutnya, yakni menyerahkan pengelolaan perusahaan itu kepada kawannya dan ia memutuskan menjadi pengembang [developer]. Visi dan keberaniannya memasuki dunia bisnis lewat Biro Daja Cipta telah memberi pelajaran baginya, bahwa jika ia tetap bertahan dengan perusahaan konsultannya, gerak langkahnya kurang leluasa karena seorang konsultan biasanya menunggu pekerjaan sedangkan dengan menjadi seorang pengembang ia bisa aktif menciptakan pekerjaan. Maka Pak Ci memutuskan menerjuni bisnis properti.
PRINSIP #1:
MULAILAH DARI APA YANG ADA PADA DIRI KITA; MULAILAH DARI APA YANG BISA KITA LAKUKAN. COBA SADARI PENGETAHUAN APA YANG KITA MILIKI, ATAU KEAHLIAN APA YANG SESUNGGUHNYA BISA DIJADIKAN PIJAKAN AWAL, DAN ADAKAH KAWAN-KAWAN YANG BISA DIAJIAK IKUT BERBISNIS ? MULAILAH DARI LANGKAH-LANGKAH KECIL, SAMBIL MERAJUT VISI DAN MIMPI BESAR BERIKUTNYA.