Bisnis.com, JAKARTA - Tata kehidupan kian hari kian bergantung kepada pengetahuan (knowledge). Stephen Covey pun dalam buku 8th Habit dengan lantang berkata, “Kita hidup di era pekerja pengetahuan.”
Kita telah melewati masa bercocok tanam, berburu, meramu, beternak, dan membangun industri. Itu sudah lewat. Saat ini waktunya bagi para pemikir. Dulu para pemodal begitu bangga dengan mesin-mesin pabrik. Kini, para pekerjalah yang memegang kunci pengetahuannya. Mesin-mesin itu dikembalikan ke kodrat awalnya: sekadar alat.
Sistem manajemen moderen menuntut organisasi-organisasi untuk lebih cerdas dalam mengelola ilmu pengetahuan. Selalu ada pertanyaan untuk meraih perkembangan. Karl-Erik Sveiby, profesor yang dikenal sebagai pionir dalam knowledge management (KM), optimistis mengatakan bahwa di masa depan pemimpin perusahaan akan melihat bisnisnya dari perspektif (ilmu) pengetahuan.
Ide itu beranjak ketika Sveiby masih menjadi manajer di Unilever pada 1970-an. Waktu itu, buku Marshal McLuhan Understanding Media dan Alvin Toffler Future Shock menerbitkan pertanyaan bagi Sveiby. Dia mempertanyakan pendidikan MBA-nya dan lingkungan kerja perusahaan. Buku-buku itu juga melontarkannya pada cara pandang dia terhadap sistem ekonomi secara global.
Sveiby sendiri baru melontarkan ide tentang ‘pendekatan pengetahuan’ (dia kurang setuju dengan istilah knowledge management) pada 1986. Konsep itu dianggap terlalu mengada-ada. Pada kenyataannya, konsep ini memang masih tetap terasa asing hingga kemunculan Internet.
Dunia antah berantah itu memberi peluang dan fakta nyata bahwa pengetahuan itu bertenaga. Selamat datang di era penuh informasi. Inilah masa di mana informasi itu berharga dan betapa murahnya menduplikasi informasi.
Saat ini, cara pandang seperti yang dilakukan Sveiby sudah banyak diterima. Benarkah diterima dengan sepenuh hati? Teleos, sebuah organisasi berbasis riset di Inggris, melakukan riset terhadap Knowledge Management secara global.
Organisasi Cerdas
Kegiatan yang dilakukan sejak 1998 itu mencari tahu, organisasi mana saja yang cerdas dalam mengelola pengetahuannya. Sejak saat itu, setiap tahun Teleos melansir Most Admired Knowledge Enterprises (MAKE) study.
Riset pungkasan pada 2012 lalu menunjukkan, perusahaan yang sukses dalam menata pengetahuan memiliki Total Return to Shareholders (TRS) lebih besar tiga kali lipat dari rata-rata perusahaan di daftar Fortune 500. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan yang cerdas dalam menata alur pengetahuannya menguntungkan secara finansial dalam jangka panjang.
Dalam sudut pandang sistem ekonomi tradisional, sepanjang perhitungan rugi-laba telah dipahami, keuntungan sudah di depan mata. Era kini menuntut lebih dari itu. Ada detail yang justru bisa dipahami lebih mendalam lagi.
Anda bisa membayangkan sebuah perusahaan yang memiliki turn over tinggi. Karyawan gonta-ganti melulu. Apa yang bisa Anda cerna dari kondisi ini? Yang jelas, kecil kemungkinan terjadi transfer ilmu pengetahuan antar-generasi. Karyawan lama, dan karyawan baru belum tentu telah berbagi tongkat estafet secara benar. Akhirnya, karyawan yang baru masuk mulai belajar dari awal lagi. Padahal, dia seharusnya bisa melanjutkan pengetahuan yang sudah ada pada karyawan sebelumnya.
Apakah knowledge management sudah diadopsi di Indonesia? Sejak 2005, MAKE study telah merambah Indonesia melalui tangan Dunamis, organisasi yang mendapatkan izin dari Teleos. Setidaknya, tahun ini sudah memasuki tahun ke-9. Hasil riset itu menunjukkan bahwa organisasi-organisasi profesional di Indonesia telah ‘terjangkiti’ demam menata ilmu pengetahuan ini. “Virus” yang bisa membawa perusahaan-perusahaan untuk berlari lebih kencang lagi.