Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HENDRA B. SJARIFUDIN: Jangan Mudah Emosi

Bisnis.com, JAKARTA - Sebagian orang menjulukinya sebagai ‘raja kunci’. Hendra B. Sjarifudin mengaku bisnis keluarganya berawal dari kisah ‘banting setir’ sang kakak. Siapa sangka, usaha yang dimotori Sjarifudin bersaudara itu

Bisnis.com, JAKARTA - Sebagian orang menjulukinya sebagai ‘raja kunci’. Hendra B. Sjarifudin mengaku bisnis keluarganya berawal dari kisah ‘banting setir’ sang kakak. Siapa sangka, usaha yang dimotori Sjarifudin bersaudara itu dalam perkembangannya mempelopori perubahan di pasar produk kunci di Indonesia.

Berikut petikan wawancara Bisnis dengannya, baru-baru ini:

Sudah berapa lama Anda me­­nge­­lola bisnis perkuncian?

Kami sudah berdiri 48 tahun. Kunci ber­­­kualitas produknya mahal. Mereka [customer bisa] mengerti kunci mahal itu berkualitas. Jadi jangan harap kun­­ci murah di Kenari Djaja, ha-ha-ha.

Kenari Djaja identik dengan ka­­­wasan di Salemba?

Bisnis kami memang berawal dari Sa­­­lemba. Kalau sejarahnya, bermula dari opelet. Awalnya, kakak saya me­­na­rik opelet [cuma yang bentuknya Jeep ya, bukan yang Moris], zaman du­­­lu opelet ini body-nya masih kayu. Tra­­­yeknya Pancoran-Mester. Zaman itu se­­­kitar 1963.

Saat itu berkah juga ya ka­­­rena ada pe­­­numpang opelet yang sa­­­ma sekali tidak ada hubungan apapun dengan keluarga/kakak saya, cuma se­­­lalu saja berjodoh. Berangkat selalu ke­­­temu, pulang selalu ketemu.

Karena sering ngobrol, jadi akrab. Satu kali kakak mengingatkan pelanggan itu untuk berhati-hati karena mencurigai ada gelagat yang kurang baik dari pe­­num­pang lain, dengan menggunakan bahasa Mandarin. Dari situ pelanggan dan ka­­kak itu makin akrab.

Bagaimana ceritanya?

Singkat cerita, pelanggan ini [suatu ha­­­ri] menawarkan kakak saya untuk be­­kerja menjadi penjaga toko. Dia dilematis karena ditawari penghasilan [setara Rp200.000] tapi ini pasti, padahal kalau opelet penuh bisa dapat [se­­­tara Rp300.000] kalau penumpang sepi da­­patnya [setara Rp100.000].

Di sisi lain, kalau terima tawaran, opelet nggak jalan. Akhirnya kakak saya diskusi dengan kakak yang lain dan akhir­nya mencoba menerima tawaran be­­­kerja sebagai penjaga sekaligus berjualan dan merawat toko. Kalau sekarang mungkin diistilahkan sebagai te­­­naga outsourcing

Bagaimana cerita berlanjut?

Bersamaan dengan itu ada penjualan ki­­os di pasar Kenari, Salemba, tempatnya strategis. Kakak saya lalu mempertimbangkan menjual opelet, akhirnya minta izin pemilik toko tadi untuk membeli kios untuk berjualan bahan ba­­ngunan material. Kios ini dibuka 27 Februari 1965.

Sikap orang tua saat itu?

Ayah saya termasuk orang yang ke­­ras. Sepanjang bisa berusaha sendiri tanpa bantuan orang tua silahkan. Be­­­lajar mandiri. Tahun itu ayah saya te­­ga. Jadi kakak lalu jual opelet, tapi beli lemari bekas di pasar loak di Pasar Rumput [Manggarai].

Mengharapkan mu­­rah karena kami nggak ada uang. Ka­­­kak saya waktu itu belum menjual kunci, tapi menjual paku beberapa kilo, cat beberapa kaleng, tripleks dan material lain dalam jumlah yang nggak banyak, karena kios kecil hanya berukuran 2,5x2,5 meter. Ya dari situlah kakak saya mulai berdagang. Ini di zaman Gestapu, lalu terjadilah gejolak, dan setelah itu banyak demo-demo. Kakak saya ini [Husin Sjarifudin] ada­­lah kakak sulung, saya putra ke de­­­la­­pan di keluarga.

Apakah Anda langsung bergabung?

Satu saat, setelah Gestapu, saya berpikir untuk apa sekolah. Setelah 3 tahun usaha material di Kenari ini berjalan. Kakak lain [Arkim dan Handi] dan saya juga bergabung. Tanpa diatur, kakak saya Husin fokus di purchasing dan dia yang sering ke Singapura, AS, Italia, Spanyol, kakak saya yang lain menanggani keuangan memakai buku kas. Ada juga yang bekerja di bidang administrasi. Karakter saya senang berteman dari kalangan siapa saja, maka saya urus pemasaran.

Lalu bagaimana kisahnya, Anda dan saudara berjualan kunci?

Satu saat ada seorang salesman, waktu itu kami nggak [belum jual] jual kunci. Saat itu di pasaran harga kunci paling mahal Rp3.500, dia me­­­nawarkan merek baru [buatan Italia] yang paling murah seharga Rp8.500 itu sekitar 1968.

Salesman menawarkan kunci semula kakak saya bilang nggak bisa jual, silakan tawarkan ke toko-toko sebelah kami.

Ada sekitar 6 kios lah di pasar Kenari yang menjual kunci. Cuma, sepertinya si salesman tidak mendapat perlakuan yang baik, diusir dan kembali mendatangi kios kami. Kami menerima salesman itu layaknya customer. Mungkin dari situlah, akhirnya satu saat dia datang dengan penawaran konsinyasi.

Saat itu sebagai pemuda culun saya belum mengerti arti konsinyasi. Salesman menjelaskan. Mungkin kalau ini terjadi, sekarang banyak yang tertawa, ha-ha-ha, tapi ini sejarah ya. Saya orang yang mau banyak bertanya [belajar] saya mau ngerti. Lalu dia jelaskan konsinyasi itu dia hanya titip barang kalau laku, baru [kami bisa] setor. Kami pikir daripada lemari kosong, akhirnya kami setuju. Lemari diisi kunci sampai penuh!.

Bagaimana bisnis kunci saat itu?

Untungnya saya, ketika itu Gu­­ber­­nur Ali Sadikin sedang gencar membangun Jakarta, bangunan empat lantai nggak usah pakai izin [IMB] tapi sebagai kompensasinya, pelebaran jalan tidak dapat ganti. Akhirnya ba­nyak pembagunan hotel di Jakarta, untungnya saya setiap ke resepsionis bilang kalau mau beli kunci dapat potongan datang saja ke Kenari Djaja. Dulu dengan beda harga 10% orang masih mau muter, sekarang belum tentu. Jadi ada promosi. Saya dari situ dapat diskon, misalnya dapat diskon 15% saya kasih diskon 10%, lumayan ada pemasukan dibandingkan jualan material. Akhirnya ini jalan.

Saat muda sudah ada bakat dagang?

Saat-saat itu mungkin muncul talenta lain dari saya. Ada kontradiksi dalam diri saya sebagai pemuda yang belajar di sekolah swasta yang diambil pemerintah, SMP Pancoran, Jakarta. Kehidupan pemuda pada zaman itu [suasananya] bersatu, tidak mengenal perbedaan etnis. Di sekolah saya pernah diskors, dipanggil kepala sekolah. Tapi saya jago di ilmu hitung dan Bahasa Indonesia, ilmu lainnya seperti sejarah saya kurang.

Akhirnya minta izin ke kakak saya yang nomor tiga, dinasehatinya kalau mau keluar sekolah ya sudah, kalau mau sekolah ya terusin. Tahun 1970-an saya fokus belajar dengan mengambil lokakarya di PPM, di bilangan Tugu Tani. Saat itu semua mata lokakarya saya pelajari baik bisnis, marketing management saya pelajari, lalu juga terkait skala prioritas, HRD management, dan lainnya. Target [loka karya]-nya memang pimpinan atau manajemen puncak dari suatu perusahaan.

Siapa yang berjasa bagi Anda?

Ya banyak ya, di antaranya orang yang menjual nasi campur dekat kios ka­­­mi sehingga kami bisa makan. Saya juga tak melupakan ‘Pak Haji’, rumahnya di Kramat Sentiong. Saya lupa namanya, Sering belanja sama saya, sekarang hilang kontak. Saya suka antar kunci pesanannya dengan becak, dan dia memberi saya motor vespa untuk diperbaiki dan saya pakai kerja, membeli dan meng­antar pesanan.

Setelah diperbaiki saya ingin membalas dengan membeli vespa itu seharga Rp25.000, tapi sempat menolak, karena ketulusannya. Lain­­nya, adalah resepsionis dan lainnya, karena saya merasa berkat jasa me­­reka, maka satu-satu produk saya laku.

Ada cerita, rupanya ketika saya bekerja saya diawasi sama owner usa­­ha kunci, karena rajinnya saya pagi sore ada di kantor owner kunci ini, ha-ha-ha. Dari sini akhirnya dia kenal ka­­kak sa­­­ya, dan kakak di ajak ke Si­­nga­­pura. Mirip inang-inang belanja di Singapura lalu jual barang antik di sini termasuk kunci. 1 lusin kunci bisa dipasang 3-4 pasang dilipat ditaruh di koper baju, saat sampai di rumah dikembalikan ke di-packing sesuai aslinya.

Jadi kalau pemain kunci yang seumuran saya, mereka ngerti mereka sangat berterima kasih kepada kami karena ikut memelopori perubahan kunci di Indonesia ha-ha-ha. Banyak model kunci ketika itu dari yang standar, alumunium hingga yang berbahan kuningan.

Di Singapura, nama Kenari Djaja akhirnya dikenal. Kami membangun kepercayaan. Kalau ada toko yang nakal, meski tidak tahu dimana toko itu berada, mereka bisa black list. Sebaliknya mereka percaya kami, malah mengajari kakak saya untuk aktif mengunjungi pameran building and material kunci pintu dan lainnya ke Jerman.

Adakah filosofi bisnis khusus yang Anda pegang? 

Saya bilang ke anak muda jangan mudah emosi. Modal kerja sebenarnya kunci sukses perusahaan itu networking kerja keras. Saya susun tujuh poin yang harus dilakukan. Kemudian saya mengembangkan prinsip dasar usaha sukses a.l. jalinan pertemanan [networking], kejujuran, kerja keras, inovatif dan kreatif, dan komitmen.

Dengan ini maka uang akan datang, setelah itu uang harus diatur. Uang ini kan untuk perputaran perdagangan kita dari gali lubang tutup lubang jadi jangan dipakai untuk beli rumah atau apa­­pun lah. Jadi tujuh poin ini tidak ada di sekolah.

Banyak orang yang tanya mengapa bisa berkembang dari kunci?

Awalnya konsinyasi, setelahnya spe­­siali­­sasi kunci dan kami akhirnya im­­por kun­­ci, inilah yang akhirnya ber­­kem­­bang.

Bapak mencermati perubahan mencolok dari kunci, masa ke masa?

Model, kualitas mencolok dan ma­­­kin bervariasi. Sekarang banyak yang kualitasnya kurang baik, maka­nya harga sesuai dengan kualitas. Secara sosial, bila ada penjual kunci yang ‘nakal’ akan berguguran dan tidak bertahan. Se­­­bab yang namanya kebenaran akan ter­­kuak juga.

Konsumen kini sudah kritis. Kunci kualitas orisinal, sekarang ada yang kelas 2, 3, 4. Produk Italia masih mainstream, China punya produk dalam beberapa grade. Pabrikan kunci memungkinkan pemesan membuat produk untuk negara lain. Produk China ini tak kalah kualitasnya.

Apa nilai yang Anda tanamkan?

Saya sekolah SMP tidak tamat, tapi kita ini satu tim. Kita harus hargai orang-orang di bawah kita dalam kon­­­disi apa pun dan siapa pun mereka, ka­­rena tanpa mereka kita tidak ada apa-apanya. Saya paling marah kalau ada pegawai yang mentang-mentang bertitel S1, S2, meremehkan orang lain di bawahnya, saya akan pecat orang itu.

Saya tanamkan jangan perlakukan bawahan kita seperti sepatu yang bisa diinjak terus semau kita mau dipakai ke mana. Saya me­­­­­­rasakan tumbuhnya Kenari Djaja berkat mereka.

So far, berapa jumlah karyawan yang Bapak pimpin?

Total grup sudah 1.300 karyawan

Siapa yang akan meneruskan Kenari Djaja?

Keponakan. Saya dan anak saya (generasi kedua). Mereka bilang sekarang giliran kitalah biar paman-paman beristirahat. Saya sebagai advisor. Saya juga nggak mau lepas begitu saja, artinya tetap memberi kebebasan dan kepercayaan penuh. Umur saya 62, kakak saya 72.

Apa resep Bapak untuk menjaga kebugaran?

Saya suka senam, jalan [kaki] saja.

Apa rencana Anda untuk penguat­an bisnis ke depan?

Service, penjualan, pemasaran semua ada. Kami akan tetap fokus di kunci, tapi dikembangkan juga bisnis kunci elektronik untuk hotel dan lainnya yang lebih tinggi dan yang lainnya. Kami tidak mau jual barang sembarangan, kami pelajari dan kunjungan ke pabriknya dulu.

Bagaimana posisi di market?

Dari satu survei produk kunci yang kami jual menguasai pasar.

Ada rencana go public?

Mengenai go public kami sedang merapihkan internal dulu sambil konsultasi dengan pihak konsultan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Roni Yunianto
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (11/9/2013)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper