Bisnis.com, JAKARTA - Perum Perumnas tengah menguji kemampuan melakukan akselerasi di pasar hunian komersial, sebagai bagian dari kerangka transformasi perusahaan. Dengan segmen baru itu, apa saja strategi yang digagas, kendala yang dihadapi, dan bagaimana perusahaan pelat merah itu menjaga keberpihakannya terhadap penyediaan rumah murah. Bisnis mewawancarai Direktur Utama Perumnas Himawan Arief Sugoto. Berikut petikannya:
Bagaimana gagasan transformasi bermula?
Dulu, pemerintah sangat mendukung pengadaan tanah dan infrastruktur sehingga harga jual properti yang kami tawarkan sangat terjangkau oleh masyarakat. Karena saat itu, Perumnas memang didirikan untuk menjadi penyedia rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, era berubah sejak pemerintah mempertimbangkan pendekatan melalui demand side. Perumnas praktis menjadi pengembang murni. Kami harus beli tanah sendiri, bangun sendiri, dengan dana komersial sendiri.
Dengan ritme seperti itu, Perumnas kesulitan. Karena itu, kami harus realistis dan menjalani masa recovery sejak 2007. Skema transformasi merupakan fase setelah pemulihan karena situasi sudah lebih baik.
Kami harus merencanakan korporasi ini tumbuh dan berkembang. Perumnas melihat tantangan ke depan, kebutuhan dan tren permintaan pasar, juga ancaman yang ada. Setelah itu, kami menyusun strategi, mendefinisikan kembali visi ke depan, memetakan program, dan lain sebagainya.
Apakah proyek-proyek misi pemerintah berkurang ?
Kami sejak dulu tidak berubah, komitmen tetap sama. Perumnas mengembangkan 80%—90% permukiman untuk menengah ke bawah. Dari 15.000 unit rumah yang dibangun setiap tahun, sekitar 10.000—12.000 unit merupakan rumah sederhana. (Simak wawancara Bisnis TV di sini)
Kami memang mulai memproduksi rumah dengan harga lebih mahal. Rumah termahal sekitar Rp400 juta, itu juga baru beberapa unit, masih jauh komposisinya dengan properti misi. Perumnas seolah-olah memproduksi properti komersial sepenuhnya, padahal tidak. Persepsi itu muncul karena Perumnas terlalu lekat dengan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Bagaimana membagi konsentrasi dan porsinya ?
Strategi yang siapkan yakni induk perusahaan akan lebih fokus pada pembangunan perumahan dan permukiman untuk masyarakat menengah ke bawah. Jadi, Perumnas tetap akan lebih banyak menjalankan misi pemerintah, namun bukan untuk merugi atau kerja sosial, yang penting tidak rugi, kami kerjakan.
Sementara itu, beberapa proyek komersial kelas menengah akan dikerjakan oleh anak usaha. Perumnas juga turut mengambil bagian, tetapi relatif untuk segmen pasar yang lebih bawah. Hasilnya cukup baik dengan sistem itu, seperti beberapa proyek kami di Sentra Land. Animonya bagus. Nah, ke depan strategi itu akan diperkuat. Kami akan mengatur dua portofolio itu. Portofolio misi dan properti komersial. Tapi sebetulnya tidak komersial sekali lah.
Maksudnya tidak komersial sekali ?
Kalau komersial sekali, kita ambil contohnya seperti Plaza Senayan. Pasar segmentasi atas sedang jenuh. Itu berbeda dengan proyek-proyek yang kami kembangkan. Sentra Timur Pulogebang, misalnya, kami bangun ruko saja, tidak flamboyan dan menjangkau segmen menengah, karena kita juga tahu pasar di situ besar.
Proyek-proyek yang sudah jadi lainnya juga sama, seperti Sentra Land Semarang dan Kota Mandiri Baru di Medan yang dibangun di lahan seluas 850 hektare, hasil kerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara II.
Kalau proyek yang sedang dikerjakan ?
Sebentar lagi, kami akan meluncurkan Sentra Land Cengkareng. Kami juga terus mengerjakan proyek di Cianjur, Cilegon, Palembang, Makassar, dan kota-kota lain, sejauh ini berjalan dengan baik. Selain itu, kami juga berencana membangun dua lagi Sentra Land di Bandung yakni di Antapani dan Jalan Suci. Itu merupakan proyek strategis kita dengan kategori mix use.
Kami terus mengupayakan perbaikan dari sisi perencanaan proyek. Bagaimanapun, produk murah itu bukan berarti murahan. Produk murah itu artinya affordable. Itu program transformasi kami, transformasi produk, transformasi budaya, transformasi manajemen yang baik.
Upaya dalam menjaga produktivitas ?
Kami sedang mendorong pembentukan anak-anak perusahaan. Nantinya, ada yang bertugas menjadi city development, ada pula pengelola retail, dan sektor pendukung lainnya. Saat ini, baru ada dua entitas yakni PT Propernas Griya Utama dan PT Propernas Nusa Dua.
Ke depan, Propernas siap membangun mix use, hotel, kondotel, sehingga menjadi sumber reccuring income di masa mendatang. Kami sudah masuk ke Semarang, kemudian Bandung, kembangkan juga di Surabaya, Jakarta dan sebagainya.
Semakin banyak properti yang dibangun, Kami akan dirikan entitas yang khusus mengelola property management. Lama-lama, karena produksi semakin besar, kami kembangkan lagi dalam industri material yang mengerucut pada penyediaan bahan bangunan.
Entitas strategis lainnya adalah perusahaan yang mengelola land banking. Kami akan mulai bertahap, tetapi gambaran strategic planning seperti itu. Dengan tambahan anak usaha, kami berharap rencana proyek-proyek lainnya dapat digarap secara berkelanjutan, dan tidak hanya berhenti di situ, kami juga akan mengupayakan sinergi lagi dengan instansi lain.
Langkah itu tentunya akan memberikan peluang bagi Perumnas untuk tumbuh sesuai dengan visi kami yakni menjadi pengembang permukiman perumahan rakyat terpercaya di Indonesia. Tetapi sekali lagi, segmen pasar yang dikejar bukan menengah ke atas, tetapi kami lebih berkonsentrasi kepada kalangan masyarakat menengah dan menengah ke bawah.
Bagaimana dengan pemetaan pasar ?
Kami mendata sendiri segmentasi pasar berdasarkan tingkat pendapatan. Ada ribuan pengembang di Indonesia dan masih dalam skala kecil. Pengembang yang mempunyai pendapatan sekitar Rp1 triliun setahun, sustain, dan stabil, jumlahnya tidak lebih dari 20 perusahaan, bahkan mungkin hanya 15 pengembang.
Pengembang itu tidak seperti pabrik yang terus menerus berproduksi. Mereka merencanakan, tetapi belum ada pendapatan. Omzet datang setelah berjualan. Setelah proyek selesai, mereka membeli tanah lagi, kemudian turun lagi pendapatannya.
Itu yang kami amati. Dari sekian banyak pengembang, Perumnas masih masuk dalam 10 besar dari segi pendapatan. Dari sisi harga pun, saya yakin 10 rumah yang kami produksi tidak lebih mahal dari harga jual satu unit rumah yang dibangun oleh salah satu kompetitor yang sudah punya nama.
Artinya, dari sisi pasokan jumlah hunian, kami cukup yakin dapat menyumbang jumlah pembangunan rumah terbesar. Katakanlah, saat ini total 150.000 unit, pangsa pasar kami setidaknya sudah mencapai 10%. Dari konteks suplai itu saja, reputasi kami sudah sangat baik.
Sepertinya sangat percaya diri, tidak ada kendala di segmen ini ?
Sampai sejauh ini, semua proyek berjalan baik, mungkin ada yang bermasalah karena sengketa lahan. Banyak oknum yang menjadi mafia tanah, mengganggu tanah-tanah milik BUMN sehingga proyek-proyek menjadi terhenti. Kalau lahan lain yang tidak memiliki masalah, semua berjalan dengan baik.
Ada kendala sinergi dengan beberapa Kementerian ?
Mengenai kementerian, Perumnas memang dibawah Kementerian BUMN, namun akan lebih fokus ke sejumlah kementerian pembina sesuai sektor. Untuk perumahan, kementerian teknisnya lebih dari satu yakni Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum
Hubungan sebetulnya sangat baik, belakangan saja nih sedikit kurang. Unsur pembinaannya tidak lagi menonjol, saat ini cenderung saling menyalahkan.
Lebih spesifik, apa kendalanya?
Fungsi Kemenpera sebagai regulator, mereka membuat regulasi dan melakukan pembinaan secara maksimal sehingga peran Perumnas juga dapat maksimal membangun perumahan di semua kabupaten/kota. Di sisi lain, konsekuensi dari politik anggarannya juga perlu konsisten. Misal, kalau dulu tidak ada lobi DPR, kami langsung dapat dukungan dana.
Situasinya makin membingungkan karena saat ini kementerian teknis juga mengambil langkah sebagai operator, sehingga terkadang mereka kerap sibuk terhadap urusan mereka sendiri sehingga urusan pembinaan agak menurun.
Hal ini yang kami harapkan dapat diperbaiki oleh pemerintah yang akan datang. Peran Perumnas perlu diperkuat. Saat ini, industri perumahan dilepas penuh ke private sector, harga rumah menjadi mahal, tanah mahal, bangunan mahal. Skema KPR seperti apapun, masyarakat tidak mampu beli, karena mahal. Seharusnya, pemerintah melakukan intervensi dari sisi suplai agar harganya terjangkau seperti halnya praktik di negara lain.
Harapan untuk mendukung prospek jangka panjang perusahaan ?
Semua tergantung kebijakan pemerintah. Kalau pemerintah berwacana tidak lagi memberdayakan Perumnas, maka kami harus antisipasi. Katakanlah, pemerintah berinisiatif membentuk badan baru. Artinya kami harus realistis, Perumnas akan memacu aksi korporasi untuk pertumbuhan perusahaan.
Sementara, kalau pemberdayaan dipertahankan, tentunya perumnas akan memperkuat posisi, dengan harapan kebijakan keuangannya juga berpihak, sehingga peran kami lebih maksimal dan pasokan hunian yang dibangun akan lebih banyak.
Kami berharap ada semacam land banking nasional yang bisa Perumnas kelola. Kalau tidak, Perumnas otomatis ditempatkan sebagai developer.
Pembinaan dari pemerintah sangat diperlukan mengingat Perumnas merupakan Perusahaan Umum yang diharapkan menjalankan misi dan tugas dari pemerintah dalam menyediakan perumahan rakyat. Kenyataannya, Perum tetapi kurang dimaksimalkan. Saya menyebutnya ‘perum banci’.
Sebagai Perum, Perumnas bersedia mengerjakan proyek rugi karena orientasinya memenuhi tugas negara, tetapi harus ada biaya kompensasinya. Ada anggaran untuk menutupi modal kerja. Contohnya, Perum Bulog dalam mendistribusikan beras, mereka dapat subsidi. PT KAI menjalankan kereta ekonomi juga memperoleh subsidi.
Pada kenyataannya, Perumnas tidak dapat subsidi. Perum tetapi ‘banci’, lebih baik jadi Persero. Perubahan identitas itu justru akan memudahkan Perumnas dalam mengembangkan portofolio bisnis.
Tanpa PSO, apa strategi pendanaan yang ditempuh ?
Salah satunya dari pasar modal seperti obligasi. Saat ini, kami fokus memperbaiki rasio keuangan agar rating perusahaan naik kelas dari BB menjadi BBB sehingga meningkatkan investment grade. Dengan begitu, Perumnas bisa menerbitkan skema pendanaan yang lebih murah dan berjangka panjang.
Di samping obligasi, sumber pendanaan murah lainnya juga dapat ditempuh termasuk insentif penjaminan yang difasilitasi Kementerian Keuangan. Sejauh ini, banyak BUMN yang memanfaatkan fasilitas itu.