Seorang perempuan eksekutif muda yang kebetulan memiliki anak di sekolah menengah yang menerapkan prinsip ‘the leader in me’ berbagi kisah. Sejak anaknya belajar tujuh kebiasaan yang efektif perilakunya sangat lain.
Anak ini membuat target sendiri atas nilai-nilai yang akan diraihnya di kelas, kemudian menemukan dan mengenali tindakan apa yang akan membawanya mencapai sasaran tersebut, memantau hasilnya, serta membuat laporan pertanggungjawaban secara berkala kepada kedua orang tuanya.Anak ini sangat fokus belajar dan hanya akan main gamesapabila tugas sekolahnya sudah selesai.
Hebatnya, lanjut sang ibu, seluruh murid di sekolah tersebut berperilaku sama. Anaknya bukan anomali atau outlier. Pada pertemuan orangtua dengan guru, sesama orangtua memberi kesaksian yang sama.
“Saya ingin semua karyawan di perusahaan sayajuga berperilaku sama, sesuai dengan nilai-nilai perusahaan, sesuai dengan panduan perilaku, selalu mengacu pada visi dan misi yang dicanangkan. Saya ingin dunia luar mengatakan budaya kita Wow! dalam arti hebat, bukan WOW singkatan dari words on the walls karena hanya berupa poster-poster nilai-nilai yang ditempel di tembok,” kata sang ibu.
Sudah lebih dari 10 tahun rupanya, perusahaan ini berupaya membangun budaya pelayanan prima. Konsisten dinilai hebat oleh pelanggan. Namun, dampak upaya-upaya ini baru setaraf kognitif.
Hampir semua karyawan hapal akronim dari nilai-nilai yang dibangun, semua memahami definisi dan arti dari setiap panduan perilaku. Namun, dalam keseharian, terutama apabila dihadapkan pada situasi yang dilematis, banyak karyawan yang berperilaku tidak sesuai dengan panduan. Atau tidak konsisten dari hari ke hari atau dari jam ke jam.
Sementara itu, standar yang ingin dicapai perusahaan ini ya seperti di sekolah anaknya atau seperti Ritz Carlton apabila hotel yang dijadikan benchmark atau pembanding.
Membentuk kebiasaan kolektif yang berulang dan konsisten, yang kita sebut budaya, memang tidak cukup hanya dengan sosialisasi dan internalisasi. Kita harus memiliki mekanisme untuk memadukannya dalam sistem, prosedur, struktur dan lingkungan organisasi.
Bahasa kerennya embedding mechanism. Baik di sekolah ataupun di perusahaan, ada enam aspek yang di-embedyaitu program keteladanan (modeling), lingkungan (environment), kurikulum, pengarahan, tradisi, dan sistem. Contoh dari keenam aspek tersebut dapat disederhanakan dalam bagan berikut:
“Saya paham betul pentingnya keteladanan dari pemimpin,” responden kami melanjutkan, “Kepala sekolah anak kami memang penuh semangat dan gairah mewujudkan budaya. Kami tahu pentingnya konsultan sebagai mitra kerja dan pendamping untuk memastikan bahwa ada yang melihat dan meluruskan hal-hal yang kami luput.”
Membentuk budaya di perusahaan seharusnya lebih mudah. Kita berhadapan dengan manusia dewasa yang memiliki motivasi dan kemampuan yang lebih seragam. Betulkan demikian? Atau sebaliknya?
Penulis:
Robby Susatyo
Partner Dunamis Organization Services