Termacet dan Terendam. Begitu guyonan di media sosial. Ya, dalam tempo tidak lebih dua pekan, Jakarta mendapat dua tamparan telak.
Pertama, mendapat gelar kota termacet di dunia versi Castrol Magnatec Index. Kedua, banjir besar kembali merendam, hingga halaman Istana Negara.
Tamparan ini terasa begitu telak karena terjadi pada tahun ketiga pemerintahan baru DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, dilanjutkan Basuki-Djarot Saiful Hidayat.
Hingga tahun ketiga, tidak ada tanda-tanda macet dan banjir berkurang. Warga Jakarta justru merasakan kondisi lalu lintas yang makin sesak dan banjir yang kian mengkhawatirkan.
Kocap kacarita. Prabu Kresna dari Dwarawati punya dua anak laki-laki, dari dua istri berbeda. Pertama, Boma Narakasura, yang memimpin kerajaan Tajutresna di utara. Kendati hanya kerajaan kecil, Boma merasa nyaman dan tenteram menjalankan kepemimpinan didampingi permaisuri yang elok rupa Hagnyawati.
Kedua, Raden Samba. Ia digadang-gadang melanjutkan kepemimpinan Kresna. Namun,Tapi tidak kunjung menampakkan karakter calon raja sebuah kerajaan besar dan disegani.
Kerap mempertontonkan sikap emosional, menerabas tata krama, sok kuasa, gemar pamer kekuasaan, dan mudah melempar ancaman kepada siapa saja yang tidak dia suka. Samba juga gemar dugem dan menggoda perempuan cantik, termasuk yang sudah bersuami.
Kresna bukannya tidak menyadari kelakuan miring anaknya itu. Meski demikian, rasa sayangnya mengalahkan akal sehatnya. Maka jadilah Samba anak manja yang kerap berulah.
Suatu hari Samba menghadap Kresna dengan sebuah usul membangun jalan bebas macet dari ibukota Dwarawati ke ibukota Tajutresna. Tujuannya agar transportasi dua wilayah itu bisa lancar tanpa hambatan. Infrastruktur yang memadai akan melancarkan perdagangan kedua negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mendongkrak kesejahteraan rakyat.
Kresna menilai ide Samba itu cemerlang dan brilian. Tanpa pikir panjang usul itu disetujui, dan Samba ditunjuk sebagai pimpro.
Samba mengomunikasikan rencana megaproyek itu kepada Boma. Raja muda tidak segera mengamini. Dia curiga ada maksud lain di balik usulan itu. Instingya mengatakan ada yang tidak beres di balik rencana itu. Apalagi dia menangkap berulang kali Samba dan istrinya saling curi tatapan.
Namun, karena ide itu sudah disetujui dan menjadi program unggulan Dwarawati, Boma hanya bisa setuju dan mendukung pelaksanaannya.
Samba lalu mensosialisasikan rencana itu ke berbagai kalangan. Semua menyambut antusias. Catatan kecil disampaikan oleh sejumlah sesepuh dan pandita yaitu hendaknya proyek itu tidak menerabas dan menggusur komplek Gadamadana, makam sesepuh dan orang-orang yang dihormati di Dwarawati.
Mereka menyarankan agar jalan yang dibangun menghindari pemakaman, dengan cara berbelok ke kanan dan ke kiri.
Sebuah saran yang masuk akal. Anggaran memang jadi membengkak, tapi menghormati makam para sesepuh adalah nilai dan norma yang harus dijunjung tinggi. Jangan sampai pembangunan fisik merusak tatanan budaya dan sosial masyarakat.
Soal Asmara
Di luar dugaan, Samba menolak usulan itu. Sesuai dengan masterplan, jalan yang akan dibangun harus benar-benar bebas hambatan, bebas macet, dan bebas kendala apa pun. Didesain lurus tanpa belokan dan kelolakan.
Argumen para pandita dan pinisepuh tidak digubris. Alasannya, selain tidak sesuai dengan masterplan, juga akan memperlambat waktu pembangunan.
Kecewa nasihatnya tidak digubris, para pinisepuh mengingatkan Samba agar benar-benar memiliki niat yang tulus dan lurus dalam melaksanakan proyek itu yaitu untuk masa depan Dwarawati dan Tajutresna yang lebih baik. Jika ada motivasi dan tendensi lain, arwah para pinisepuh yang makamnya dilanggar tidak akan tinggal diam.
Wanti-wanti para pinisepuh itu ada benarnya. Sejatinya motivasi utama Samba membangun jalan bebas hambatan itu tidak lain adalah dorongan asmara yang menggelora. Diam-diam Samba dan Hagnyawati saling jatuh cinta.
Dengan adanya jalan bebas hambatan, maka Samba akan gampang bolak-balik Dwarawati-Tajutresna untuk memadu kasih dengan wanita pujaannya.
Karena tidak bisa menahan diri, belum lagi jalan selesai dibangun, Samba sudah berulang kali menyusup ke Kaputren Tajutresna. Sampai akhirnya affair itu dipergoki oleh mata kepala Boma Narakasura sendiri. Tanpa ampun Boma menghunus pedang dan membunuh Samba.
Kresna kecewa dengan cara Boma menyelesaikan masalah. Emosinya tersulut. Dia hendak memberi pelajaran kepada anaknya, tetapi yang terjadi adalah Boma terbunuh karenanya.
Maka megaproyek jalan anti macet itu berakhir tragis dan ironis. Jalan tidak jadi terbangun, persoalan transportasi dua ibukota tidak terpecahkan yang terjadi justru kehancuran sebuah keluarga dan tatanan sebuah bangsa.
Pesan dari kisah tragedi itu cukup relevan. Hendaknya megaproyek memecahkan masalah macet dan banjir di DKI Jakarta dijalankan dengan niat dan tekad yang bersih dan lurus. Jangan ada motivasi untuk benefit diri sendiri. Jangan ada tendensi lain, seperti citra dan reputasi untuk karir politik di masa depan.
Cukup sudah macet dan banjir luar biasa ini sebagai pelajaran bagi para pemimpin dan penguasa. Sumangga.
Penulis:
Rohmad Hadiwijoyo
Dalang dan CEO RMI Group