Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Apa Antara Peter Sondakh dan Najib Razak?

Peter Sondakh lahir di Manado, Sulawesi Utara pada 23 Juli 1953. Namun kedekatannya dengan Negeri Jiran Malaysia bukan isapan jempol. Pemilik Grup Rajawali ini bahkan dianugerahi gelar kebangsawanan Tan Sri oleh Yang Dipertuan Agung Malaysia pada 2009.
PM Malaysia Najib Razak/Wikipedia.org
PM Malaysia Najib Razak/Wikipedia.org

Peter Sondakh lahir di Manado, Sulawesi Utara pada 23 Juli 1953. Namun kedekatannya dengan Negeri Jiran Malaysia bukan isapan jempol. Pemilik Grup Rajawali ini bahkan dianugerahi gelar kebangsawanan Tan Sri oleh Yang Dipertuan Agung Malaysia pada 2009.

Ini bukan gelar sembarangan. Tan Sri merupakan gelar tertinggi kedua di Malaysia setelah Tun. Beberapa nama seperti mantan Kapolri Da’i Bachtiar, Ali Moertopo, dan Benny Moerdani juga menerima titel ini. Namun, Peter Sondakh merupakan pengusaha Indonesia pertama yang meraih gelar tersebut.

Peter dianggap membantu meningkatkan potensi pariwisata Malaysia. Di bawah bendera Integrated Resort Nautical Sdn Bhd—perusahaan patungan antara Grup Rajawali dengan Departemen Keuangan dan Otoritas Pengembangan Langkawi-Malaysia—, Peter Sondakh memiliki sejumlah proyek properti di negara tersebut.

Di Pulau Lankawi, salah satu tujuan wisata populer yang masuk wilayah Distrik Kedah Darul Anam, Peter membangun St. Regis Langkawi Hotels & Resorts dan Langkawi International Convention Centre. Di Kuala Lumpur, orang terkaya ke-9 di Indonesia versi Majalah Forbes ini juga membangun Hotel Sheraton Imperial.

Berbagai proyek bisnis Peter di Malaysia ini tidak terlepas dari kedekatannya dengan Najib Tun Razak, Perdana Menteri Malaysia saat ini. Keduanya dikabarkan mulai akrab saat Peter Sondakh menjual 27,3% sahamnya di PT Excelcomindo Pratama kepada Telkom Malaysia senilai US$314 juta.

Pekan lalu, kedekatan Peter Sondakh dengan Negeri Jiran kembali menjadi bola panas baik di Indonesia maupun Malaysia. Ini terjadi setelah Felda Global Venture (FGV), perusahaan kelapa sawit yang dimiliki oleh pemerintah Malaysia, menekan kesepakatan untuk membeli saham PT Eagle Hight Plantation Tbk. (BWPT) senilai US$680 juta.

Dalam perjanjian tersebut FGV akan membeli 30% saham Rajawali di BWPT dalam bentuk tunai dan menyerap 7% sisanya dari penerbitan saham baru. Tidak hanya itu, FGV juga berminat membeli 95% saham perusahaan gula milik Rajawali senilai US$67 juta.

Sebagai gambaran, sebanyak 39,46% saham FGV dimiliki oleh Federal Land Development Authority (FELDA) atau Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan Malaysia. Selain itu, pemerintah Malaysia juga memiliki FGV melalui Lembaga Tabung Haji, Kerajaan Negeri Pahang, Kumpulan Wang Simpanan Pekerja, dan Kumpulan Wang Persaraan. Hal ini membuat 63,15% saham FGV digenggam oleh otoritas setempat.

Dari Kuala Lumpur, respons keras dari berbagai kalangan ditunjukkan atas aksi korporasi ini. Seperti dikutip dari Reuters, anggota parlemen Malaysia Tony Pua mendesak FGV membatalkan rencana tersebut. Seorang kawan sesama wartawan yang bekerja untuk The Edge Malaysia menuturkan jajaran direksi FGV dicecar banyak pertanyaan soal aksi korporasi ini saat menggelar annual general meeting  pada Selasa (16/6).

“AGM [annual general meeting] sampai berlangsung hingga 5 jam karena ada begitu banyak pertanyan dari berbagai pihak,” ujarnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, empat riset yang ditulis CIMB Malaysia, Alliance DBS Reasearch, Public Investment Bank, dan BIMB Securities kompak memberikan penilaian negatif terhadap FGV atas rencana pembelian saham BWPT ini.

CIMB Malaysia memberikan kritik paling keras dalam hal ini. Analis CIMB Malaysia Ivy NG Lee Fang menyebutnya sebagai ‘an expensive deal’. Dia menilai harga saham sebesar Rp775 per lembar saham yang disepakati lebih mahal 72% dibandingkan dengan penutupan harga saham BWPT di Rp450. CIMB Malaysia bahkan memprediksi harga saham BWPT bisa melorot hingga Rp290 per lembar.

“Selain itu FGV juga tidak menjadi pemegang saham mayoritas di BWPT. Kami memprediksi aksi ini akan menggerus laba bersih FGV sebesar 10%,” ujarnya dalam riset yang diterbitkan Minggu (14/6).

Marvin Khor, Analis DBS Alliance Reasearch, mengatakan nilai pembelian saham ini merepresentasikan enterprise value per tanaman per hektar sebesar US$17.400. Padahal harga rata-rata di Indonesia sebesar US$9.100.

Dari dalam negeri, pihak BWPT membantah tudingan tersebut. Managing Director Rajawali Corpora Darjoto Setyawan mengatakan harga tersebut merupakan kesepakatan pembeli dan penjual karea pembelian hingga 37%. “Coba cek apakah ada yang mau jual sejumlah besar saham sampai di atas 30% dengan harga tersebut?,” ujarnya, Selasa (16/6).

Tan Sri Peter Sondakh memang terlanjur dikenal sebagai pengusaha yang gemar jual beli aset. Selain BWPT, Rajawali juga tengah bernegosiasi untuk melepaskan 100% kepemilikannya di PT Express Transindo Utama Tbk. kepada Grup Saratoga. Bermodalkan kedekatannya dengan otoritas Malaysia, berhasilkah Peter menjual aset perkebunan kelapa sawitnya? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Setyardi Widodo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper