Bisnis.com, JAKARTA- Berada pada lingkungan keluarga yang berprofesi sebagai petani padi membuat Maftukin familiar dengan bisnis budidaya padi. Sejak mengelola lahan sawah keluarga seluas 2,5 hektare milik keluarganya pada 1990-an, bisnis budidaya padi tidak lagi menjadi sebuah kebiasaan tetapi juga memaksa dia belajar lebih detail mengenai siklus hidup tanaman padi.
Secara kebetulan, areal persawahannya di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, tepat berada di samping jalan raya sehingga sering sekali menjadi proyek percontohan beberapa perusahaan pupuk.
“Dari interaksi sehari-sehari, saya mendapatkan banyak pengetahuan bagaimana memaksimalkan hasil dari budidaya padi. Banyak petani yang salah kaprah mengenai pemberian pupuk dan pestisida yang banyak akan membuat hasil panen menjadi maksimal,” ujarnya.
Berangkat dari minimnya informasi yang didapat para petani di kawasan tempat dia tinggal, Maftukin memberanikan diri untuk membuka satu kios penjualan pupuk yang juga membuka mitra binaan untuk mengaplikasikan cara budidaya padi yang tepat sasaran.
Hingga saat ini, dia mengatakan mitra petani binaannya sudah mencapai 200-an orang yang sudah mengetahui dasar-dasar pengaplikasian pupuk dan pestisida secara tepat guna. Bahkan, pada musim tanam kali ini, para mitra petani binaannya dapat menghasilkan 9 ton-10 ton per hektarenya.
Menurutnya, pemberian pupuk dan pestisida tidak bisa sembarangan. Misalnya, dia mencontohkan maksimal pemberian pupuk sebanyak 4 kuintal-4,5 kuintal per hektare. Pengunaan pupuk lebih dari 5 kuintal, tambahnya, juga harus didasari atas pertimbangan ketika areal sawah tengah dilanda penyakit cukup parah atau kondisi tanah sudah rusak.
Namun, dia sering menemukan banyak petani yang menggunakan pupuk lebih dari kuota yang seharusnya yakni bisa mencapai 7 kuintal-8 kuintal. Penggunaan pupuk yang banyak tidak menjamin produktifitas tanaman menjadi tinggi, bahkan dapat menggerus margin karena biaya produksi menjadi membengkak akibat pembelian pupuk yang banyak.
“Penggunaan pestisida juga sering tidak tepat sasaran karena setiap penyakit memiliki perlakuan sendiri sehingga tidak bisa disamakan. Soal air juga menjadi masalah karena mereka [petani] maunya ada air setiap hari padahal padi membutuhkan satu masa tidak ada air alias kering,” tukasnya.
Dirinya menyebutkan pengamatan menjadi kunci dalam mengelola budidaya tanaman padi. Ketika petani rajin mengamati kondisi tanaman padinya, maka dia dipastikan bisa memprediksi jumlah yang tepat dalam pemberian pupuk, air, dan pestisida.
Itikad baiknya untuk membina para petani di desanya juga didasarkan atas keinginannya untuk meningkatkan produktivitas areal sawah di kawasannya. “Jika saya bisa sukses, kenapa teman-teman lain tidak bisa,” tuturnya.
Jika dirinci, Maftukin menyebutkan dia bisa membawa pulang keuntungan bersih hingga 54 juta per hektare dengan produksi sekitar 10 ton per hektar setiap kali panen, dan biaya produksi maksimal Rp15 juta tiap hektarenya.
“Merawat tanaman padi itu seperti merawat anak, ada kalanya membutuhkan susu ibunya, lalu makan pisang, dan bubur. Begitupula dengan padi yang memiliki fase bertahap sehingga perlakuan pun juga harus dibedakan,” jelasnya.
Ke depan, dia masih meyakini bisnis budidaya padi masih memiliki prospek positif ke depannya selama nasi masih menjadi bahan pokok bagi masyarakat Indonesia. (Amanda K. Wardhani)