Bisnis.com, JAKARTA—Film laris keluaran Hollywood telah lama dikenal dengan istilah blockbuster. Namun sejatinya ia tidak murni lahir dari urusan film. Di dunia pemaran, blockbuster pernah berjaya dan disegani sebagai salah satu strategi jitu dalam memenangkan kompetisi.
Namun harus diakui Hollywood pun tak terlalu paham dengan asal mula istilah tersebut. Yang jelas sampai hari ini pun stasiun televisi tertentu masih gencar mempromosikan program andalannya dengan memutar film-film blockbuster.
Strategi tersebut tampaknya cukup ampuh untuk menjaring pemirsa setia, yaitu mereka yang menggilai film-film berkategori demikian meski kerap mereka bukan menonton untuk pertama kalinya, karena sudah menyaksikan dalam format DVD.
Hal yang jarang diketahui, blockbuster ternyata amat akrab bagi mereka yang berkecimpung di dunia pemasaran. Ternyata ia memang sebuah kiat atau strategi pemasaran, yang kalau Anda piawai mengemasnya, angka penjualan pun bisa mencetak rekor.
Kiat ini pernah dilakoni Grand Central Publishing, penerbit di AS yang juga mengoperasikan toko buku, ketika pertama kali menggebrak pasar. Dari sekitar 300 judul buku yang digelar di tokonya, katalog hanya dibagi dua saja: koleksi musim gugur dan musim dingin.
Penerbit kemudian menentukan buku-buku yang dijagokan dalam setiap katalog tersebut. Setelah disortir lagi, ‘ruang’ selera pembeli dipersempit lagi menjadi ‘buku fiksi’ dan ‘nonfiksi.
Pada musim gugur 2007, salah satu buku yang bertengger di rak buku Grand Central dan laris manis adalah Stone Cold karya David Baldacci dan I am America (and So Can You!).
Penerbit bisa tersenyum puas karena ‘trik’ penjualannya mempan di pasar. Namun di sisi lain mereka juga harus menelan kekecewaan. Pasalnya, pasti ada sederet judul buku yang kurang dilirik pembeli. Itu terbukti dari sekitar 61 judul buku hardcover di toko Grand Central yang dianggap hanya membebani perusahaan.
Hasil Maksimal
Bayangkan, ‘biaya operasi’ untuk buku-buku bersampul tebal itu mencapai US$650.000, sedangkan keuntungan kotornya tidak sampai tembus US$100.000. Secara keseluruhan beban biaya pemasaran penerbit tersebut berkisar US$7 juta dengan keuntungan bersih hampir US$12 juta.
Itulah kisah penjualan berkonsep blockbuster yang banyak dianut industri media dan hiburan. Ini merupakan strategi yang kurang lebih berprinsip ‘modal mini’(minimal), ‘hasil maksi’ (maksimal).
Dalam kasus Grand Central, mereka harus pandai-pandai memanfaatkan toko yang tidak terlalu besar dengan berfokus hanya pada items yang jumlahnya terbatas tetapi laku keras (best seller).
Menurut Anita Elberse (Should You Invest in the Long Tail, 2008), strategi semacam itu mengundang risiko yang tidak kecil, karena selalu mengandalkan ‘subsidi silang’ untuk menutup kerugian item yang tidak laku. Namun, tidak sedikit pelaku bisnis yang enjoy saja menerapkan jurus blockbuster ini.
Pertanyaannya, masih mumpunikah kiat tersebut di tengah era digital saat ini? Sebagian kalangan mengatakan blockbuster masih tetap relevan.
Namun tampaknya perlu disadari bahwa dunia pemasaran tidak berada dalam ekstrim ‘hitam’ dan ‘putih’. Ia memiliki banyak ruang untuk inovasi dan eksplorasi.