“Mengenali diri sendiri adalah awal dari segenap kearif-bijaksanaan.” Aristoteles
Satu orang ini memang luar biasa. Sementara rekan-rekannya sesama pemain lain pulang duluan dari latihan, ia sendiri terus berlatih tanpa kenal lelah. Cristiano Ronaldo, pemain bola asal Portugal, dalam usia ‘cukup tua’, 34 tahun, yang terkenal dengan julukan CR7 ini, masih menjadi pencetak gol terhebat. Kini ia bermain untuk klub Juventus, Italia.
Terakhir kali dalam perebutan babak perempat final Liga Champion Eropa, ia menghempaskan Atletico Madrid dengan skor agregat 3 - 2. Dalam laga tandang, Juve takluk 0 - 2. Namun CR7 membuat hattrick, 3 - 0 di Turin, Italia. Ia membalikkan kekalahan awal Juve menjadi kemenangan tuntas atas Atletico.
Suatu kala, tatkala banyak orang yang berkata sinis, mencela dan meledeknya, ia menghadapinya dengan dingin dan kepala tegak. Ia katakan, “Mereka tidak menyukai saya karena saya pemain bola hebat, tampan dan kaya.” Sulit untuk menyangkal ucapannya. Lima kali ia terpilih menjadi pemain terbaik dunia (peraih Ballon d’Or lima kali). Ia juga memang tampan dan jelas kaya-raya. Tampak sombong. Namun ia mengenali dirinya sendiri.
“Saya sebenarnya orang yang gampang saja. Saya tak suka mempersulit orang-orang lain,” seorang kawan menuturkan soal dirinya. Namun dalam kenyataannya, sebagai seorang eksekutif perusahaan, ia adalah orang yang ‘rumit’. Orang yang sering membuat hal yang simpel menjadi hal yang ruwet, complicated. Ia tampak sulit atau takut membuat keputusan.
Secara otomatis, dengan pola pikir demikian, banyak hal yang dipersulit oleh dia. Ini adalah contoh orang yang tak mengenali dirinya.
“Hal tersulit dalam kehidupan adalah mengenali diri sendiri,” kata Thales, filsuf dan astronom Yunani Kuno abad 6 SM. Mengenali diri sendiri adalah hal terpenting sebelum mengenali orang lain. Dan dalam praktik sehari-hari, tak banyak orang yang mampu melakukannya dengan baik.
Baca Juga
Seorang ibu memarahi sang anak gara-gara sang anak terlambat pulang dari pesta ulang tahun kawannya. “Wah, gua bakal habis ‘dicuci’ oleh Mama, nih,” pikir sang anak. Pemikiran sang anak itu tumbuh berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, sang ibu adalah seorang yang mudah ‘meledak’, seorang yang bersumbu pendek dan tipis kuping.
Dalam perjumpaan malam itu, benarlah terjadi apa yang dipikirkan sang anak. Sang ibu ‘mengaum’, berceloteh marah panjang lebar. “Kamu keterlaluan. Kamu tahu, Mama ini nggak seneng, nggak mudah marah. Mama ini orang yang sangat toleran dan nggak suka ribut!”
Sang anak diam saja. Dia hanya membatin, “Ah, yang bener saja. Bukan pemarah? Kok, kemarin supir yang baru kerja, keluar lagi begitu di-gas sama Mama?” Ibu ini juga orang yang tak mengenali dirinya.
BEDA DENGAN GE-ER
Seorang kawan, sekantor, terkenal sebagai orang yang senang menyombongkan dirinya. Ia suka tampil di pelbagai panggung. Ia sangat suka diliput media massa. Ia suka ‘bicara besar,’ bahwa bisnis yang dikelolanya menjadi sukses dan besar adalah karena dirinya. Padahal, semua orang yang tahu soal ini, paham benar, bahwa yang membuat ia dikenal, bahwa yang membuat bisnis itu besar dan sukses adalah, terutama, nama besar grup konglomerasinya. Grup dengan sistem dan kultur yang terbangun baik.
Dan terbukti, manakala ia pensiun, bisnis perusahaan berjalan baik-baik saja. Dalam kasus ini, mohon maaf, kawan saya ini ‘ge-er’. Ia tak tahu atau pura-pura tak tahu, bahwa ia hanyalah bagian dari suatu sistem yang besar. Sistem yang tak mengandalkan orang per orang. Ia tak mengenali dirinya.
Mengenali diri sendiri adalah hal penting bagi kita dalam mengarungi kehidupan yang penuh gejolak ini. Mengenali diri adalah senjata utama kita dalam menghadapi ‘lawan-lawan’ kita.
“Kenalilah musuh Anda dan kenalilah diri sendiri dan Anda dan kita tak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran kita,” kata Sun Tzu, jendral tentara, ahli strategi militer dan filsuf China abad 5 SM.
Karena sejatinya, kita ketahui, musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Bila kita mampu mengalahkan dan mengendalikan diri, kita akan mampu menyesuaikan diri, dengan yakin dan efektif terhadap segala tantangan kehidupan kita.
Mengenali diri sendiri, dalam arti, mengenali sepenuhnya kekuatan dan kelemahan diri, dan kita taat azas terhadap pengenalan diri sendiri ini, akan membuat kita adaptif terhadap segala perubahan ‘cuaca’. Ia akan membuat kita memiliki ‘agility’, suatu perilaku yang tanggap dan gesit dalam bereaksi terhadap segenap aksi yang mengenai kita. Karena kita kenal ‘senjata’ yang kita miliki dan yang tidak kita miliki.
Mengenali diri sendiri juga akan mencegah kita dari penyakit kejiwaan, delusi. Ini adalah suatu kondisi kejiwaan di mana kita tak mampu membedakan antara kenyataan dan harapan. Kondisi ‘sakit’ ini akan menjerumuskan kita ke dalam lembah kesalahan-kesalahan dan kekecewaan.
Membangun kebiasaan mengenali diri sendiri memerlukan kesungguhan kita untuk konsisten ‘bercermin’. Untuk selalu mengevaluasi diri secara periodik, juga secara rutin. Juga memerlukan kepandaian kita untuk mendengarkan orang-orang lain mengenai diri kita. Umpan balik atau masukan dari kawan-kawan kita, adalah hal yang kita perlukan. Dan kita perlu ‘open mind’ terhadap masukan-masukan itu. Masukan-masukan yang kadang bagai pil pahit yang layak kita anggap sebagai suatu obat yang menyehatkan diri.
Dan dalam soal kawan-kawan ini, seyogyanya adalah kawan-kawan yang layak kita percayai. Kawan-kawan yang tulus. Kawan-kawan yang obyektif. “Seorang kawan adalah orang yang memberikan kebebasan penuh kepada Anda untuk menjadi diri Anda sendiri,” kata Jim Morrison, penyanyi dan penulis lagu grup band The Doors.
Sementara itu, “Cara terbaik untuk mengenali diri sendiri adalah melepaskan diri Anda dalam pelayanan kepada orang lain,” kata Mahatma Gandhi, pahlawan kemerdekaan India, sekaligus aktivis hak-hak sipil dan kebebasan dunia.
Nasihat Gandhi itu layak kita renungkan dalam-dalam. Karena bukankah memang seharusnya demikian, bahwa kita dilahirkan oleh-Nya adalah untuk melayani sesama? Untuk selalu siap memberikan manfaat bagi sesama?