Bisnis.com, JAKARTA— Penjualan ‘berbasis provokasi’ bukanlah sekadar trik diskon dan bonus maupun iming-iming yang mudah ditebak.
Provokasi bisa berjalan baik ketika Anda mampu menggambarkan persoalan lebih cepat dari yang diantisipasi pelanggan.
Sederhananya, saat pelanggan masih bingung dengan situasi yang dihadapi, Anda sudah mampu ‘menelisiknya’ dan sekaligus mengidentifikasi opsi jalan keluarnya.
Tidak mudah melakukan provokasi yang mengena di hati pelanggan. Salah menerapkan strategi, Anda akan dengan mudah disemprot dengan kata-kata: “Lu untung, gue buntung.”
Provokasi penjualan ini bisa dibilang merupakan antitesis dari pendahulunya, solution selling.
Namun bukan berarti solution selling sudah mati. Ia masih tetap bisa diterapkan tetapi bukan untuk saat ini ketika anggaran belanja perusahaan dipatok makin ketat.
Itulah kiat yang diajarkan Philip Lay, Todd Hewlin, dan Geoffrey Moore. Ketiganya adalah konsultan strategi bisnis dari Amerika Serikat.
Mereka langsung masuk ke inti masalah: In Downturn, Provoke Your Customers. Melalui tulisan di Harvard Business Review, kita dapat menyimak betapa cara-cara berjualan zaman lampau sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan pasar.
Persoalannya, jualan tidak boleh berhenti meski anggaran pelanggan dipotong nyaris nol atau nihil sama sekali.
Tenang dulu. Menurut para konsultan tadi, masih ada peluang yang terbentang di depan mata, yaitu dengan ‘memprovokasi’ pelanggan.
Artinya, di tengah situasi sulit seperti sekarang, strategi penjualan yang diharapkan mampu menggairahkan pasar adalah yang bertumpu bada ‘provokasi’ (provocation-based selling).
Lay, Hewlin, dan Moore optimistis jurus ini akan membuahkan hasil, seperti yang pernah dialami Sybase.
Perusahaan teknologi informasi yang berbasis di AS berhasil menjual produk baru andalannya berupa Risk Analytics Platform. Padahal sebelum menerapkan ilmu ‘provokasi’, pelanggan seolah tidak mau tahu urusan piranti lunak buatan Sybase.
Konsultan
Provokasi apa yang dilakukan Sybase? Tidak ada pilihan lain bagi perusahaan ini kecuali juga memposisikan diri sebagai ‘konsultan’ bagi pelanggan.
Sejauh mana dampak krisis dirasakan klien, sehingga memaksa mereka berhemat total. Dengan demikian, situasi saat ini membutuhkan pendekatan baru yang harus dikuasai orang-orang pemasaran dan penjualan.
Dalam In Downturn, para praktisi penjualan juga bisa mencermati tahapan untuk menguasai ‘provokasi’.
Karena ‘misi’ yang harus digolkan sama sekali berbeda dibandingkan dengan era pemasaran sebelumnya, Anda tampaknya tidak bisa mengecilkan jurus yang satu ini.
Ada tiga hal penting yang perlu diketahui. Pertama, identifikasi masalah besar yang sedang dihadapi.
Kedua, mengembangkan sebuah pandangan provokatif mengenai masalah tadi. Ketiga, bahas provokasi Anda tersebut dengan para pengambil keputusan.
Sudah tentu pendapat ketiga konsultan strategi bisnis dari AS tersebut masih bisa diperdebatkan. Anda juga bisa mengklaim memiliki jurus sederhana yang lebih ampuh dalam menyiasati kelesuan pasar.
Sebuah jalan tengah bisa pula diambil yaitu dengan memodifikasinya. Siapa tahu hasilnya malah lebih menakjubkan.
Bermodal provokasi tadi berharap deal bisnis tidak sampai menguras waktu, daya, dan biaya.
Hal ini bisa dimungkinkan karena sebagai vendor, Anda sudah menempatkan the right man in right place di saat-saat awal berhubungan dengan klien.
Pada bulan kedua, seorang eksekutif penjualan diharapkan sudah bisa mengubah cara berpikir kliennya. Pada bulan ketiga, klien mengatakan: “Dia bisa bantu kita mengatasi persoalan.”
Dan pada bulan berikutnya deal bisnis tercapai. “Ayo kita mulai proyek ini.”