Bisnis.com, JAKARTA – Penggunaan minyak goreng di Tanah Air terbilang cukup besar yakni mencapai 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta kiloliter per tahun.
Minyak goreng yang tidak terpakai atau limbah dari minyak goreng tersebut kemudian akan menjadi minyak jelantah yang setiap tahunnya bisa mencapai 3 juta kiloliter.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan bahwa minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) ini sebetulnya dapat dimanfaatkan kembali untuk emenuhi sebagian kebutuhan biodiesel nasional jika dikelola dengan dengan baik.
“Pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah juga memiliki peluang untuk dipasarkan, baik di dalam negeri maupun untuk di luar negeri,” tuturnya, dalam webinar Katadata, Kamis (7/1/2020).
Dengan memanfaatkan minyak jelantah, biaya produksi bisa lebih hemat 35 persen dibandingkan dengan biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan dari tanaman buah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).
“Namun ini harus dilihat lagi karena kita liat dari beberapa industri yang ada tidak bisa sustain. Ada hal-hal yang memengaruhi biaya operasionalnya,” ungkapnya.
Baca Juga
Sementara itu, VP Strategic Planing Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional Prayitno mengatakan masih ada yang harus difikirkan jika ingin memanfaatkan minyak jelantah sebagai feedstock biorefinery.
“Hal yang menjadi salah satu PRn UCO adalah bagaimana kita mengumpulkan minyak jelantah untuk skala industri, termasuk logistik dan handling. Kita bisa benchmark dari perusahaan di luar (negeri), bagaimana mereka mengumpulkan minyak jelantah,” jelas Prayitno.
Begitupula untuk CPO, menurutnya perlu adanya jaminan feedstock serta semacam kebijakan atau support dari stakeholder untuk memastikan secara bisnis juga, baik bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan tersebut.
Tenny Kristiana, Researcher ICCT untuk Program Bahan Bakar menjelaskan jika sekitar 1,2 juta kilo biodiesel dari kelapa sawit diganti dengan minyak jelantah yang dikumpulkan dari sektor rumah tangga, maka bisa menghemat sekitar Rp 4,2 triliun.
Angka itu sesuai dengan angka data produksi biodiesel dari 2020. Namun, ada tantangan yang harus dilewati untuk mewujudkan hal tersebut.
“Kita enggak menutup mata pengumpulan use cooking oil dari sektor rumah tangga akan sangat susah dilakukan, bukan berarti susah itu enggak bisa dilakukan,” pungkasnya.
Pada 2018, studi The International Council on Clean Transportation (ICCT) menyebutkan produksi minyak jelantah dari restoran, hotel, hingga sekolah mencapai 157 juta liter untuk wilayah perkotaan saja. Adapun produksi dari sektor rumah tangga bahkan mencapai 1.638 juta liter.
Meski demikian, minyak jelantah merupakan salah satu limbah minyak kelapa sawit yang keberadaannya membahayakan lingkungan dan kesehatan.
Mengutip kajian ICCT, berdasarkan survei yang dilakukan pada 2017 ditemukan bahwa 51 persem minyak jelantah rumah tangga di Tangerang menjadi limbah yang mencemari lingkungan. Sebesar 39 pesen terbuang di selokan dan 4 persen mencemari tanah.
Hal tersebut juga terjadi di Bogor (2015) di mana 51 perse of UCO rumah tangga di Bogor menjadi limbah selokan sedangkan 17 persen mencemari tanah.
Di sisi kesehatan, minyak jelantah juga menjadi ancaman bagi tinggginya jumlah penyakit kronis layaknya jantung, kolesterol, stroke, hingga kanker.
Minyak goreng sawit berbahaya bagi kesehatan jika digunakan kembali untuk memasak dalam bentuk jelantah karena proses pemanasan yang lama ataupun berulang akan menyebabkan oksidasi dan polimerisasi asam lemak yang menghasilkan radikal bebas senyawa peroksida yang bersifat toksis bagi sel tubuh.
Berdasarkan data ICCT dari total produksi minyak jelantah 2018, mampu berkontribusi terhadap 35 persen produksi biodiesel nasional. Tentu fakta tersebut merupakan potensi yang cukup besar. Selain itu, penggunaan minyak jelantah lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.