Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Begini Jadinya Bila Wajah BUMN Dipukul Palu Godam

Pengembangan BUMN di China dimulai dari titik yang sangat rendah dan dalam situasi yang amat sulit dibayangkan.
Joe Biden (kiri) saat masih menjabat Wapres AS bertemu Presiden China Xi Jinping dalam satu kesempatan di Balai Agung Rakyat China di Beijing pada 2011./Antara/HO-China Daily
Joe Biden (kiri) saat masih menjabat Wapres AS bertemu Presiden China Xi Jinping dalam satu kesempatan di Balai Agung Rakyat China di Beijing pada 2011./Antara/HO-China Daily

Bisnis.com, JAKARTA – Mengelola badan usaha milik negara (BUMN) atau yang biasa disebut perusahaan pelat merah tampaknya memiliki keunikan tersendiri. Sosoknya yang berada di dua kaki, yaitu berorientasi profit dan menjalankan fungsi universal service obligation menjadikan eksistensinya ‘istimewa’.

Ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari aspek mengelola BUMN ini. Belajar dari pengalaman China tak ada salahnya, karena ada satu periode di mana perusahaan pelat merah di negara itu bisa dikatakan ‘mati segan, hidup tak mau’.

Namun berkat semangat perubahan yang begitu kuat, disertai kepemimpinan yang tangguh pula, BUMN di Negeri Panda itu berangsur tampil menjadi pemain bisnis yang lincah dan berdaya saing tinggi. Apa rahasianya?

Pada awal 1980-an, pengembangan BUMN di China dimulai dari titik yang sangat rendah dan dalam situasi yang sulit dibayangkan. Pendeknya, menyehatkan perusahaan negara merupakan salah satu tantangan terbesar.

Kebanyakan arsitek setuju bahwa jauh lebih sulit merenovasi rumah tua dengan struktur tua daripada membangun unit baru.

Nah, BUMN-BUMN itu bukan hanya rumah tua. Dalam banyak kasus, mereka seperti rongsokan (Naisbitt, 2010). Kemudian pada 1984, seorang birokrat muda bernama Zhang Ruimin mendapat tugas khusus dari pemerintah untuk membereskan sebuah BUMN yang bergerak di industri manufaktur (produsen kulkas)

Kondisi benar-benar parah. Dengan jumlah karyawan sekitar 600 orang, perusahaan tersebut bahkan tidak mampu memproduksi 100 kulkas berkualitas buruk per bulan.

Kebangkrutan sudah di depan mata. Etos kerja karyawan berada di titik nadir. Para karyawan masuk kerja pukul 8 pagi tetapi tidak sampai tengah hari kantor yang berlokasi di Qingdao itu sudah kosong melompong ditinggal pulang pekerjanya.

Keluh kesah pelanggan sudah menjadi pemandangan biasa bagi manajemen. Sampai suatu ketika ledakan frustasi Zhang tidak bisa dikendalikan lagi akibat umpatan konsumen yang tak pernah henti.

Pada titik inilah reformasi manajemen dilakukan. Sang bos menggelar 76 model cacat yang dipilihnya dari pabrik dan memerintahkan para karyawan yang bertanggungjawab untuk menghancurkannya dengan palu godam.

Ya, 76 kulkas, masing-masing senilai gaji dua tahun, hancur berkeping-keping. Para karyawan tersentak, seolah terbangun dari tidur panjangnya. Pesan yang disampaikan Zhang sampai.

Dia tidak akan menoleransi peringkat seperti A, B, C atau D. Hanya ada dua pilihan: Diterima dan tidak dapat diterima.

Perlahan tapi pasti, Zhang mentranformasi pabrik kulkas milik negara yang loyo itu menjadi apa yang kita kenal saat ini sebagai Haier Group. Di laman resminya tertulis sebagai korporasi yang ingin mempersembahkan kepada dunia sebuah ekosistem internet of things terdepan.

“Kami ingin menjadi perusahaan global,” paparnya saat masih berjuang keras membenahi perusahaan.

Betapa kerasnya tantangan membenahi kinerja BUMN. Ketika mengetahui setiap hari kerja kondisi pabrik sepi sebelum tengah hari, Zhang nyaris tidak percaya.

“Anda bisa melemparkan granat ke pabrik tanpa melukai siapapun,” ujarnya mengenang.

Langkah perubahan dimulainya dengan ajakan membangun lingkungan kerja yang bersih, karena kondisi pabrik sangat kotor. Bila hujan deras mengguyur, lantai pabrik menjadi sangat licin dan membahayakan keselamatan pekerja.

Dia perintahkan manajemen memasang peringatan tertulis di dinding: Dilarang buang air kecil atau buang air besar di dalam pabrik. Namun perlu waktu lebih lama untuk memaksakan perubahan kepada pekerja yang memusuhi.

Itulah yang kemudian membuat palu godam Qingdao menjadi terkenal di dunia. Sebagai birokrat muda, Zhang menoleh ke Barat dan Jepang untuk belajar banyak hal.

Hari ini studi kasus bisnis Haier dimasukkan ke buku teks yang dipakai di Harvard University, University of Southern California, Lausanne Management College, European Business College, dan Kobe University.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper