Bisnis.com, JAKARTA - Ketika pandemi mulai merajalela setahun yang lalu, industri biofarma merespons dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Perusahaan ilmu hayati berlomba untuk menemukan solusi bagi virus yang datang bagai mimpi buruk, dan upaya vaksin yang menjanjikan segera muncul.
Saham perusahaan dengan kandidat vaksin terbaik melonjak, dan banyak eksekutifnya bergegas menjual saham dengan tergesa-gesa hingga menimbulkan pengawasan.
Namun, menurut Forbes, ada satu pengecualian.
Ugur Sahin, CEO dan ilmuwan di balik vaksin Covid-19 pertama yang disahkan di AS, belum menjual satu pun saham perusahaannya yang sedang booming selama pandemi, demikian ditunjukkan dalam pengajuan Komisi Sekuritas dan Bursa AS.
Keputusan Yahin untuk tidak menjual satu pun saham BioNTechnya sangat kontras dengan penjualan saham besar dari beberapa ilmuwan dan wirausahawan terkemuka yang perusahaan bioteknologinya mengembangkan vaksin untuk melawan virus, terutama Moderna Therapeutics.
Keputusan ini mencerminkan pendekatan umum Yahin dalam kehidupan dan bisnis.
Dia adalah seorang CEO yang tinggal di sebuah apartemen sederhana di kota Mainz, Jerman, mengendarai sepedanya ke kantor dan tidak memiliki mobil.
Dia menggambarkan dirinya di halaman LinkedInsebagai profesor onkologi translasi di University Medical Center Mainz.
Yahin menerima kemajuan finansial yang mengelilingi inovasi bioteknologi — penggalangan dana ventura, IPO, dan kesepakatan merger.
Dia dilaporkan mempelajari aspek bisnis bioteknologi dari video online dan membaca buku Business Plans for Dummies. Tapi pada akhirnya, Yahin ada di industri ini untuk sains dan pasien.
Yahin belum menjual saham BioNTech dalam 18 bulan terakhir. Padahal penguncian saham BioNTech pasca-IPO berakhir sekitar awal pandemi, menurut laporan pengajuan sekuritas, dan dia bebas untuk menjual.
Sebagai hasil dari mempertahankan semua sahamnya, ironisnya, dia saat ini menjadi jauh lebih kaya — setidaknya di atas kertas — mengingat harga saham BioNTech yang terus melonjak.
Dia yakin teknologi mutakhir perusahaan akan mengarah pada pengembangan terapi dan vaksin untuk penyakit lain.
“Cara kami mengembangkan teknologi tidak didasarkan pada gagasan one-trick pony,” Yahin mengatakan kepada investor melalui telepon di Wall Street pada bulan Maret.
“Sebaliknya, tujuan kami sejak awal adalah membangun pendekatan industri baru untuk obat-obatan presisi yang dapat memenuhi kebutuhan medis di berbagai bidang penyakit.”
Pada awal Januari 2020, Yahin yakin Covid-19 akan menjadi pandemi mematikan dan dengan segera menggerakan BioNTech untuk membuat vaksin RNA untuk memeranginya.
Dia kemudian bermitra dengan raksasa farmasi AS Pfize untuk mengembangkan dan memasok 3 miliar dosis vaksin ke dunia pada akhir 2021.
Vaksin Pfizer-BioNTech telah secara radikal mengubah persepsi Wall Street tentang BioNTech.
Beberapa bulan sebelum pandemi, Yahin datang ke New York untuk menjual saham BioNTech saat perusahaan meluncurkan penawaran umum perdana dengan mendaftar di Nasdaq.
Pada saat itu, BioNTech adalah perusahaan berusia satu dekade yang belum mengembangkan satu produk pun yang disetujui dari teknologi mRNA dan imunoterapi.
Yahin menerima sambutan dingin di pasar saham, yang awalnya menilai BioNTech sebesar US$3,4 miliar.
Dengan pengembangan vaksin, bagaimanapun, saham BioNTech telah meningkat 900% sejak IPO 2019 dan saat ini perusahaan bernilai US$37 miliar.
BioNTech sekarang mengharapkan untuk menghasilkan US$11,5 miliar pendapatan dari kesepakatan untuk vaksin yang telah dibuat.
Di atas kertas, saham BioNTech Yahin sekarang bernilai US$6,1 miliar.