Bisnis.com, JAKARTA – “Kami tidak berpikir, ayo munculkan hal-hal yang inovatif! Ayo kursus! Ini adalah lima peraturan tentang inovasi. Ayo kita tawarkan di seluruh perusahaan!”
Anda ingat omongan siapa itu?
Indonesia menempati urutan ke-85 dari 131 negara dalam Global Innovation Index (GII) 2020 yang dikeluarkan oleh kolaborasi antara Universitas Cornell, Sekolah Bisnis Eropa INSEAD, dan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).
Indonesia berada di peringkat 85 dengan nilai 26,49, di bawah Oman dengan skor 26,50 dan di atas Kenya dengan nilai 26,13. Posisi ini tidak berubah dibandingkan tahun lalu yang juga berada di urutan ke-85 tetapi dengan skor lebih tinggi, 29,72.
GII memperhitungkan 80 indikator yang dianggap mengeksplorasi visi inovasi yang luas, termasuk lingkungan politik, pendidikan, infrastruktur, serta perkembangan pasar dan kecanggihan bisnis.
Tahun 2020 bisa jadi punya arti khusus karena dunia diterjang badai Covid-19. Alhasil, disoroti pula keadaan pembiayaan inovasi dengan menyelidiki evolusi mekanisme pembiayaan bagi wirausahawan dan inovator lainnya, dan dengan menunjukkan kemajuan dan tantangan lainnya, termasuk dalam konteks perlambatan ekonomi yang dipicu oleh pandemi.
Mungkin sampai hari ini masih saja ada pendekatan bahwa untuk pencarian sebuah sistem, para profesional perlu dikirim ke ‘bengkel-bengkel inovasi’ di mana mereka bermain denga lego untuk mendorong kreativitas.
Bahkan manajemen sampai merasa perlu menggaji seorang chief innovation officer atau membuka pusat-pusat inovasi di mana para profesional berpikir dan berimajinasi dengan dikelilingi kotak-kotak lego.
Dan orang pun mulai bertanya mengenai semangat berkreativitas dan kemunculan inovasi. Leander Kahney mengulasnya secara tajam mengenai hal ini dalam bukunya berjudul Inside Steve’s Brain (2008). Soal inovasi gaya Steve Jobs.
Rasanya layak bila manajemen puncak korporasi juga belajar dan sekaligus mengintip makna inovasi yang diusung pendiri Apple tersebut. Baik dari sisi sosok maupun kiprah korporasi yang dibangunnya, ‘duet’ Jobs dan Apple adalah salah satu contoh terbaik untuk mempelajari inovasi.
Lalu, apakah berkreativitas dengan kotak-kota lego memang senafas dengan pemikiran Jobs?
Menurut Kahney, Jobs menunjukan sikap penghinaan untuk ide-ide seperti bermain dengan lego tersebut. Pasalnya di Apple, tidak ada sistem untuk mengendalikan inovasi.
Ketika Rob Walker, jurnalis New York Times, bertanya apakah dia secara sadar pernah berpikir tentang inovasi, Jobs menjawab, “Tidak. Kami secara sadar berpikir tentang membuat produk-produk hebat. Selanjutnya Jobs mengatakan seperti yang saya kutip di alinea pembuka tulisan ini.
Menurutnya, membuat sistem inovasi seperti ‘seseorang yang tidak trendy berusaha menjadi trendy’ adalah benar-benar memalukan. “Seperti melihat Michael Dell berusaha berdansa. Sungguh memalukan.”
“Inovasi tidak berkaitan dengan banyaknya uang yang Anda miliki untuk riset dan pengembangan. Ketika Apple menghasilkan Mac, IBM menghabiskan uang setidaknya 100 kali lebih banyak untuk riset dan pengembangan.”
“Ini bukan masalah uang, melainkan tentang orang-orang yang Anda miliki, bagaimana Anda diarahkan, dan seberapa banyak yang Anda dapatkan,” ujar Jobs seperti dikutip Fortune edisi 9 November 1998.
Dalam sejarah bisnis, korporasi yang paling berhasil bukanlah inovator-inovator produk, melainkan perusahaan yang mengembangkan model bisnis inovatif. Inovator bisnis bisa saja mengambil inovasi-inovasi orang lain dan mengembangkannya dengan menemukan cara-cara baru dalam membuat, mendistribusikan atau memasarkannya.
Lihat saja, Henry Ford tidak menemukan mobil tetapi dia melakukan produksi massal dengan sempurna.
“Dell tidak mengembangkan jenis komputer baru tetapi perusahaan itu benar-benar menciptakan sistem distribusi secara langsung ke pelanggan dengan sangat efisien,” kata Kahney.
Jadi, bagaimana inovasi berjalan di korporasi Anda? Masih bermain dengan kotak-kotak lego atau sudah siap mencetak cuan dari sang jagoan baru di era new normal?