Bisnis.com, JAKARTA – Sebagai seorang profesional, mungkin Anda pernah bergabung di sebuah tim khusus yang dibentuk manajemen perusahaan untuk sebuah maksud tertentu yang ambisius.
Bahkan bisa jadi tim tersebut juga melibatkan beberapa anggota lain yang berada di grup perusahaan yang sama di luar negeri. Tim ini sangat diandalkan oleh manajemen untuk menghasilkan sesuatu yang ‘wah’ dan bersifat ‘terobosan’ guna mengantisipasi persaingan bisnis yang makin ketat.
Ibarat tim impian atau the dream team yang sepak terjangnya dinantikan manajemen puncak, karena beranggotakan orang-orang yang jago di bidangnya. Persoalannya, bagaimana tim ini membuktikan kinerjanya? Bagaimana ‘seni’ mengemas tim semacam itu?
Di era new normal yang makin serba digital dan virtual serta penuh disrupsi seperti saat ini, konsep tim pun berubah drastis menjadi jauh lebih lentur dibandingkan dengan era sebelumnya yang masih sangat mengandalkan pertemuan secara fisik.
Kini bukan hal aneh bila seorang ketua tim sebuah perusahaan multinasional papan atas yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, misalnya, memiliki anggota yang tersebar di berbagai negara dan tetap mampu memimpin ‘pasukannya’ bekerja dengan baik.
Dalam kondisi demikian, istilah ‘kerja sama’ mulai kehilangan makna kecuali bila sebelumnya organisasi atau manajemen mengambil langkah-langkah untuk membangun apa yang disebut ‘budaya kolaborasi’ (collaborative culture). Apalagi, keberagaman dalam sebuah tim bisa memicu persoalan serius jika masing-masing anggota tidak saling menghargai dan menerima satu sama lain apa adanya.
Oleh sebab itu the dream team jangan sampai menjadi the dreaming team? Apa yang membedakan? Lynda Gratton dan Tamara J. Erikson, keduanya pakar manajemen, pernah melakukan penelitian mengenai ‘perilaku tim’ yang tersebar di 15 organisasi multinasional.
Mereka menemukan adanya ‘kelainan’ yang melingkupi tim. Di atas kertas tim tersebut bisa dibilang ‘impian’ (the dream team). Namun sungguh disayangkan pekerjaannya tidak kunjung beres.
Dari riset mereka diketahui bahwa masing-masing anggota tim ternyata tidak mau saling berbagi (sharing) pengalaman dan ilmu untuk mencari solusi suatu masalah. Artinya, ‘tim impian’ pun bisa saja mandul sehingga tak ubahnya pemimpi belaka (the dreaming team).
Resep membentuk tim yang andal sebenarnya tidak terlalu sulit. Satu hal yang patut diingat sebelum melangkah lebih jauh adalah manajemen jangan sampai terjebak pada ‘keragaman’ hanya karena ingin dianggap ‘populis’.
Ingat, tim yang produktif dan inovatif biasanya dikomandani oleh orang-orang yang berorientasi pada dua hal sekaligus, yaitu tugas (task) dan hubungan antar manusia (relationship).
Kuncinya memang terletak pada ada atau tidaknya budaya kolaborasi. Bukan saja ada tetapi juga solid. Tidak hanya di kantor pusat tetapi juga meluas hingga menjangkau seluruh komponen manajemen perusahaan multinasional itu berada.
Ada contoh klasik yang mendunia mengenai kesuksesan the dream team meski bukan di dunia korporasi. Itulah julukan bagi tim bola basket pria Amerika Serikat yang berlaga pada Olimpiade 1992.
Sebuah tim yang bertabur bintang karena beranggotakan para pemain profesional aktif dari National Basketball Association (NBA). Tim tersebut telah digambarkan oleh jurnalis di seluruh dunia sebagai tim olahraga terhebat yang pernah dibentuk.
Di dunia bisnis, Anda punya tim semacam itu?