Bisnis.com, JAKARTA - Keberadaan startup Frank kini menjadi sorotan, usai ketahuan menipu bank raksasa Amerika Serikat JP Morgan sekitar US$175 juta atau setara dengan Rp2,6 triliun.
JP Morgan kini menggugat Frank dengan tuduhan pemalsuan data. Frank telah membuat 4,25 juta data pengguna palsu di platform-nya, padahal pengguna aslinya kurang dari 300.000 akun pelanggan.
Kebohongan pun terdeteksi setelah pihak JP Morgan mengirimkan email pemasaran ke 400.000 pelanggan Frank. Namun ternyata, 70 persen email tersebut tidak terkirim karena email yang dimasukkan tidak benar.
Adapun, kasus penipuan startup ini bukan pertama kali terjadi, di 2022 lalu, Elizabeth Holmes yang merupakan founder startup Theranos juga menipu para investor dan didakwa dengan hukuman 11 tahun penjara.
Lantas, seperti apa startup Frank yang berhasil menipu lembaga kenamaan sekelas JP Morgan sampai mau mengakuisisi perusahaan tersebut senilai US$175 juta atau setara dengan Rp2,6 triliun tersebut? Berikut ulasan Bisnis selengkapnya.
Profil Bisnis Startup Frank
Baca Juga
Frank, yang didirikan oleh Charlie Javice pada tahun 2016, adalah platform online yang membantu siswa di Amerika Serikat mendapatkan akses dan mengajukan permohonan bantuan keuangan dengan mudah.
Dilansir dari techstory, Charlie Javice adalah pengusaha muda yang tinggal di New York. Javice sempat masuk dalam daftar Forbes 30 under 30 di kategori Finance di tahun 2019, di mana daftar itu berisi 30 tokoh muda di bawah 30 tahun.
Startup Frank mendapat dukungan dari miliarder Marc Rowan, investor utama Frank menurut Crunchbase , dan pendukung ventura terkemuka lainnya termasuk Aleph, Chegg, Reach Capital, Gingerbread Capital, dan SWAT Equity Partners.
Sebagai informasi, startup yang berfokus pada pendanaan pendidikan terakhir ini berhasil mengumpulkan pendanaan seri A senilai US$10 juta pada bulan Desember 2017. Lalu, Frank kembali mengumpulkan putaran yang sama senilai US$5,5 juta.
Setelah Frank diakuisisi oleh JPMorgan Chase, Charlie Javice juga bekerja sebagai Head of Student Solutions di perusahaan perbankan Amerika.
Javice dipecat dari JPMorgan Chase pada November 2022 karena membodohi bank untuk mengakuisisi startup fintechnya seharga 175 juta dolar.
Dalam akun LinkedIn-nya Javice menyatakan bahwa dia belajar sarjana bisnis dan keuangan di Wharton School of the University of Pennsylvania.
Menurut bank, Olivier Amar, seorang eksekutif senior di Frank, mempekerjakan seorang ilmuwan komputer dan membayarnya 18.000 dolar untuk membuat database pengguna palsu dengan nama dan alamat palsu. Dengan sepengetahuan Ms. Javice, ilmuwan komputer ini membuat nama, tanggal lahir, dan perguruan tinggi pengguna palsu yang mereka hadiri.
Charlie Javice diduga memutuskan untuk menanam pengguna palsu setelah JPMorgan bersikeras bahwa dia harus membuktikan klaimnya atas 4 juta pengguna.
Gugatan tersebut juga menyatakan bahwa setelah akuisisi Frank oleh JPMorgan, Charlie Javice dan Olivier Amar menerima 26 juta dolar sebagai bagian dari kesepakatan.
Melansir dari Tech Crunch, ide yang mendasari terbentuknya startup ini, karena Javice, ingin menghilangkan permasalahan, di mana ada banyak siswa yang gagal menyelesaikan pendaftaran untuk program bantuan federal, alhasil membuat sang siswa harus keluar dari program sebelum menyelesaikannya, sehingga membuat mereka dibebani hutang dengan tidak memiliki gelar.
Lakukan Pelanggaran Merek Dagang di 2017
Mengutip dari Business Insider, bertahun-tahun sebelum JP Morgan Chase menuduh Charlie Javice secara curang menemukan pelanggan untuk platform bantuan keuangan siswanya.
Ternyata pada 2017, Departemen Pendidikan juga pernah menuduh Frank sebelumnya melakukan pelanggaran atas merek dagangnya di FAFSA. Sebab, Frank terkadang menyebut formulir itu sebagai "Frank's FAFSA".
Sebagai informasi, Free Application for Federal Student Aid (FAFSA) merupakan sebuah formulir yang memang terkenal punya proses yang panjang dan rumit. Ini dibuat untuk perguruan tinggi bisa melakukan screening guna mengabulkan pemberian bantuan keuangan pada calon mahasiswa dan keluarga. Karenanya, sangat penting bagi sebagian calon mahasiswa untuk mengisi formulir FAFSA.
Bahkan, nama domain khusus yang dibuat FRANK "sangat mirip" dengan situs web milik Departemen Pendidikan, yaitu fafsa.gov, oleh karena itu, bagi pihak departemen ini cenderung akan membuat bingung konsumen karena seolah menunjukkan bahwa perusahaan mereka berafiliasi dengan FAFSA.
Tak hanya itu, Departemen Pendidikan pun menyoroti, bagaimana Frank yang sempat menawarkan layanan gratis, nyatanya juga mencoba menjual paket yang lebih mahal kepada pelanggan. Misal, dengan biaya US$500 atau setara dengan Rp7,5 juta, maka siswa dan keluarga mereka dapat membayar Frank untuk bernegosiasi dengan sekolah atas nama mereka untuk mendapatkan lebih banyak bantuan keuangan.
Alhasil, dengan sederet kasus tersebut menghasilkan keputusan bahwa Frank harus mengeluarkan pernyataan resmi bahwa dia tidak berafiliasi dengan Departemen Pendidikan dan mengharuskan Frank pindah ke situs web baru yaitu, withfrank.org.
Kembali ke masalah penipuan yang dilakukan Javice, kini operasi startup Frank telah ditutup oleh JP Morgan, begitupun dengan Javice yang sudah dipecat langsung dari jabatannya sebagai direktur pelaksana yang mengawasi Frank.