Bisnis.com, JAKARTA -- Fortune Indonesia kembali merilis daftar 100 perusahaan terbesar di Indonesia. Data tersebut dibuat berdasarkan nilai pendapatan terbesar perusahaan sepanjang 2022.
Berada di peringkat pertama, ada perusahaan minyak dan gas BUMN, PT Pertamina (Persero). Perusahaan ini mencatat sepanjang 2022 pendapatannya mencapai Rp1.323.57 triliun atau naik 47,61 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-of-year) 2021.
Sementara itu, laba bersih perseroan yang dibukukan sebesar Rp59,35 triliun atau meningkat 86,09 persen pada sepanjang 2022 dibandingkan dengan 2021.
Pertamina mempertahankan posisinya tetap di nomor 1 dalam daftar Fortune Indonesia 100 tahun ini.
Lantas seperti apa upaya BUMN ini bisa menjadi perusahaan terbesar di Indonesia?
Historia Pertamina
Mengutip laman resmi Pertamina, perusahaan ini dibuat pada 10 Desember 1957 dengan nama PT Perusahaan Minyak Nasional, atau disingkat Permina. Saat itu Permina mengelola ladang minyak di Aceh Timur dan Aceh Tamiang.
Baca Juga
Dua tahun kemudian, pada 1960, PT Permina ditunjuk menjadi perusahaan negara (PN) dan berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN) Permina.
Kemudian, PN Permina digabungkan dengan PN Pertamin dan mengganti namanya menjadi PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) pada 20 Agustus 1968.
Usai dimerger, pemerintah melalui UU No.8 tahun 1971, mengatur agar Pertamina berperan menghasilkan dan mengolah migas dari ladang-ladang minyak serta menyediakan kebutuhan bahan bakar dan gas di Indonesia.
Kemudian melalui UU No.22 tahun 2001, pemerintah mengubah kedudukan Pertamina sehingga penyelenggaraan Public Service Obligation (PSO) dilakukan melalui kegiatan usaha.
Selanjutnya, pada 18 Juni 2003, Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara kembali mengubah namanya dan ditetapkan menjadi PT Pertamina dan Pertamina juga ditetapkan menjadi persero yang melakukan kegiatan usaha migas pada Sektor Hulu hingga Sektor Hilir.
Pada 10 Desember 2005, Pertamina mengubah lambang kuda laut menjadi anak panah dengan warna dasar hijau, biru, dan merah yang merefleksikan unsur dinamis dan kepedulian lingkungan.
Pertamina semakin besar dan terus melakukan transformasi dan ekspansi usaha. Hingga pada 2012 Pertamina mulai menambah modal ditempatkan dan disetor dan mulai melakukan perluasan kegiatan usaha.
Salah satu langkah ekspansi besar yang dilakukan Pertamina adalah mengakuisisi saham perusahaan minyak Etablissements Maurel et Prom (M&P) asal Prancis pada 2017. Kemudian, di tahun berikutnya Pertamina menggantikan posisi Total E&P Indonesia untuk mengelola Blok Mahakam.
Direktur Pertama Pertamina Seorang Dokter TNI
Bukan berasal dari industri perminyakan, awal kehadiran Pertamina dipimpin oleh Letnan Jenderal TNI Ibnu Sutowo, seorang tokoh militer sekaligus dokter yang mengaku "tak tahu apa-apa tentang minyak" dalam buku biografi berjudul Ibnu Sutowo: Pelopor Sistem Bagi Hasil di Bidang Perminyakan (Gunung Agung, 1979: 192).
Pria kelahiran Ibnu Sutowo 23 September 1914 itu merupakan anak dari Raden Sastrodiredjo, Wedana Grobogan yang merupakan keturunan ke-13 dari Sampyan Dalem Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Prabu Hadiwijoyo, yang punya sejarah panjang di Palembang.
Ibnu Sutowo memperoleh gelar dokter dari Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) pada dekade 1940-an. Dia kemudian ditunjuk sebagai dokter pemerintah pada Kantor Pemberantasan Malaria di Palembang. Namun penugasannya hanya dua bulan karena setelah itu, dia dipindahkan ke Martapura, sekitar 60 km dari Belitung.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Ibnu Sutowo kemudian dipindahkan ke Plaju sebagai Kepala Rumah Sakit Plaju dan tak berapa lama diangkat menjadi Kepala Rumah Sakit Umum Palembang.
Namun, tak hanya bertugas di rumah sakit dan menjadi tentara, Ibnu Sutowo juga turut duduk dalam Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri), yang merupakan penjelmaan dari Shell, yang diambil alih oleh Jepang dan kemudian dikuasai Republik.
Di Permiri, Ibnu bertemu dengan Johanes Marcus Pattiasina, yang kelak membantunya mengembangkan Permina, yang saat ini telah menjadi pertamina. Ibnu juga menjadi pengurus organisasi Lasykar Minyak yang dibentuk di Plaju dan Sungai Gerong.
Pada 1957, Ibnu Sutowo ditunjuk oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) saat itu, A. H. Nasution, untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatra Utara yang kemudian berubah nama menjadi Permina.
Dia menjabat posisi Direktur Utama PT Permina mulai 10 Desember 1957 - Oktober 1968 untuk periode pertamanya. Di tahun yang sama, dia juga ditunjuk menjadi Menteri Urusan Minyak Gas, dan Bumi di Kabinet Dwikora II dan Dwikora III, tepatnya pada Februari - Juli 1966.
Ibnu kemudian melanjutkan posisinya sebagai Direktur Utama Pertamina pada periode keduanya, Oktober 1968 sampai dengan Maret 1976.
Di bawah kepemimpinannya saat itu, Pertamina mencapai masa jaya di mana produksi minyak Pertamina rata-rata naik 17,8%. Nilai ekspornya juga naik, dari Rp964,9 juta pada 1972 menjadi Rp1,7 miliar pada 1973.
Penerimaan negara dari sektor migas pada 1974/1975 juga mencapai 42,7% dari total penerimaan RAPBN 1974/1975.
Kesuksesan tersebut mendorong Ibnu Sutowo kian agresif dan ekspansif dengan merambah bidang-bidang usaha lain, seperti proyek kilang baja Karakatau Steel, properti, asuransi, pertanian, perkapalan, pariwisata, konstruksi hingga petrokimia.