5. PT Golden Flower Tbk, (POLU) - Nico Purnomo Po
PT Golden Flower Tbk (POLU) mencatat pendapatan Rp36,69 miliar dan laba bersih Rp2,04 miliar pada kuartal II/2024, dan masih kokoh beroperasi dengan kapasitas produksi 8,5 juta potong per tahun.
Di belakang perusahaan ini ada nama Nico Purnomo Po sebagai cucu dari pendiri usaha tekstil yang diawali oleh sang nenek, dengan menjual kemeja yang dia jahit sendiri kepada teman-temannya di Semarang, Jawa Tengah.
Bisnis tekstil tersebut dikembangkan melalui PT Golden Flower, yang masih ada hingga kini, bahkan memasok merek-merek ternama seperti Calvin Klein, Zara, dan Muji.
Nico Po sendiri lahir di Semarang dan datang ke Singapura untuk mengenyam pendidikan, belajar komputasi di National University of Singapore (NUS). Dia memulai kariernya di bidang real estat di Singapura dan kemudian mengalihkan fokusnya kembali ke Indonesia, di mana kebutuhan perumahan dan infrastruktur meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi.
Pada 2018, Bloomberg mencatat kekayaan bersih Nico Po mencapai US$3,6 miliar, saat usianya baru 37 tahun. Dia mendulang kekayaannya mayoritas dari kepemilikan 85 persen perusahaan ayahnya, Pollux Properti, dan 90 persen saham di bisnis properti keluarga yang terdaftar di Singapura, Pollux Properties Ltd.
6. PT Ever Shine Textile Tbk (ESTI) - Sung Pui Man
PT Ever Shine Textile Tbk (ESTI) didirkan oleh pebisnis asal Taiwan, Sung Pui Man pada 1974 dengan fokus pada produksi Poliamida 6 dan memproduksi benang dan kain sintetis.
Baca Juga
Pada kuartal kedua 2024, ESTI mencetak pendapatan mencapai US5,67 juta dengan laba bersih sebesar US$187.475.
Pengalaman panjang Sung Pui Man di balik perusahaan ini bermula saat di masa pemerintahan Presiden Suharto, Indonesia sudah mendekati akhir gelombang pertama pembangunan industrinya.
Meskipun ada beberapa pabrik yang tersebar di seluruh negeri, banyak kelangkaan pasokan dan di sana Sung melihat begitu banyak peluang.
Menjadi orang asing di negeri asing, dia harus memulai dengan membakar uang, terlebih Indonesia kala itu belum membuka diri terhadap investasi asing, sehingga memaksa keluarga tersebut untuk meminjam nama penduduk setempat untuk mendapatkan izin yang diperlukan untuk membangun pabriknya.
Pada 1980-an, Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan mendominasi rantai pasokan tekstil dan garmen global, sehingga menyulitkan Ever Shine yang berbasis di Indonesia untuk memasuki pasar Eropa dan Amerika.
Namun, setelah melewati tahap awal bisnisnya yang memiliki keterbatasan modal, Sung mulai mengarahkan perusahaannya untuk mencatatkan sahamnya di pasar saham pada tahun 1992.
Sung kemudian merencanakan perluasan pabrik dan internasionalisasi, Ever Shine memutuskan untuk mencatatkan sahamnya di pasar saham Indonesia, menjadi perusahaan milik Taiwan pertama yang melakukan hal tersebut.
Setelah 40 tahun berdiri, ESTI sudah menjadi peruahaan Taiwan pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia, dan berhasil mengumpulkan pendapatan tahunan setara dengan Rp1 triliun.