Bisnis.com, JAKARTA — Salah satu emiten tekstil, yang sempat menjadi terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang.
Pernyataan pailit dirilis melalui putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Dikutip dari situs resmi SIPP PN Semarang, Kamis (24/10/2024), pemohon yaitu PT Indo Bharat Rayon mengajukan pembatalan perdamaian dengan pihak termohon lantaran lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran.
Dalam perkara ini, PT Indobharat meminta PN Niaga untuk membatalkan putusan PN Semarang No. 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg pada 25 Januari 2022 terkait Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).
Adapun, diberitakan sebelumnya, pada Juni 2024, SRIL telah mengungkap memiliki beban berat terkait finansial perusahaan dikarenakan tekanan pasar domestik sejak pandemi dan akibat gempuran produk tekstil impor. Terlebih, pasar ekspor yang masih tertekan imbas konflik geopolitik global.
Sosok Pendiri Sritex
Baca Juga
Di balik berdirinya salah satu perusahaan pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara itu ada nama HM Lukminto, seorang pengusaha keturunan Tionghoa.
Memiliki nama asli Ie Djie Shin, Lukminto lahir di Kertosono, Jawa Timur, 1 Juni 1946 dan menjalani masa muda yang sulit.
Lukminto harus putus sekolah saat kelas 2 SMA karena usai peristiwa G30S-PKI, pemerintah Orde Baru melarang segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis China sehingga sekolahnya pun terpaksa ditutup.
Melanjutkan hidup, Lukminto memilih mengikuti jejak kakaknya, Ie Ay Djing atau Emilia, yang telah lebih dulu berdagang di Pasar Klewer. Di sanalah dia mulai menjejakkan kaki di dunia bisnis tekstil.
Lukminto memulai bisnisnya dengan modal Rp100.000 dari kedua orang tuanya, Djie Sing You dan Tan Pik Giok. Jumlah itu termasuk besar saat di tahun 1966.
Dari modal itu, dia gunakan untuk membeli kain di Semarang dan Bandung dan kemudian mulai berdagang keliling ke Pasar Klewer, Pasar Kliwon, dan sejumlah pabrik batik rumahan.
Setelah setahun berdagang keliling, dia mengajak kakaknya untuk menekuni bisnis tekstil. Dia kemudian membeli dua unit kios di Pasar Klewer pada 1967 dan memiliki toko tetap.
Kios itu diberi nama 'Dagang Textile Sri Redjeki, Kios EIX No. 12 dan 13', yang menjadi cikal bakal nama Sritex.
Dia kemudian mematenkan nama tokonya dan menambahkan nama sang kakak, Isman, untuk kiosnya saat akan dibuatkan akta notaris.
Toko itu kemudian berhasil dan semakin berkembang. Hingga Lukminto ingin melebarkan saya usahanya dengan membuat pabrik sendiri.
Setahun setelah tokonya berdiri, dia mendirikan pabrik di Baturono di atas lahan seluas 1 hektare. Kala itu, Lukminto bisa mempekerjakan sekitar 200 karyawan, dan dari pabrik itu, bisnisnya melesat tajam.
Pada 1978, dia membuka pabrik kedua di Sukoharjo dan berhasil mengintegrasikan seluruh produksi dari pabrik-pabrik yang ada pada 1990.
Sritex kemudian mulai mendapat pesanan dalam jumlah besar, salah satunya dari militer dengan menjadi penyedia logistik ABRI dalam pengadaan seragam prajurit. Produksi tekstil militer menjadi salah satu alasan yang membawa Sritex pada kesuksesan mulai pada 1992.
Saat itu, Sritex meraup sukses di dalam negeri. Ketika itu pula, Lukminto ingin menembus pasar Eropa dengan membidik produksi tekstil untuk German Army.
Sritex terus berkembang, memproduksi seragam militer untuk 30 Negara, seperti Jerman, Austria, Swedia, Belanda, dan Kroasia. Selain Eropa, Sritex juga membuat seragam militer bagi sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi.
Tidak hanya seragam militer negara-negara di dunia. Sritex juga tercatat sebagai produsen seragam tentara organisasi pakta pertahanan negara-negara Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO).
Produksi seragam militer di Sritex bahkan sempat mencapai 50% dari keseluruhan produksi. Separuhnya lagi mereka memproduksi tekstil untuk merek-merek fesyen terkenal di dunia seperti Uniqlo, Zara, JCPenney, dan Timberland.
Seiring dengan perkembangan perusahaan yang pesat Sritex kemudian dicatatkan di pasar modal pada 17 Juni 2013.
Setahun setelah mengantar Sritex IPO, H.M. Lukminto meninggal dunia karena penyakitnya di Singapura pada 2014.