Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

 

Keberhasilan seseorangdalam berbisnis sering kali dianggap sebagai bagian dari peruntungan, bukan hasil kerja keras. Namun, di balik itu semua, sesungguhnya intuisi seseorang mencium potensi bisnis lebih berperan dari segalanya.
 
Intuisi itulah yang dimiliki oleh Risza Bambang, Chairman PT Padma Radya Aktuaria. Bagi sebagian kalangan, namanya dikenal sebagai perencana keuangan independen.
 
Dia termasuk yang memelopori lahirnya Asosiasi Perencana Keuangan Independen Indonesia.
 
Tapi siapa sangka, dengan latar belakang pendidikan Matematika Aktuaria di Universitas Indonesia, dia justru nyaman menggeluti bisnis properti.
 
Perjalanan menarik pun banyak dipetik olehnya selama melakoni bisnis yang dinilainya prospektif sepanjang masa itu. Bambang, begitu biasa dia disapa oleh rekan-rekannya, mengandaikan darah industri asuransi lebih mengalir deras di dalam tubuhnya, sejak dia duduk di bangku kuliah.
 
“Ibaratnya, kalau kulit saya dipotong, darah yang mengalir isinya asuransi semua,“ ujarnya saat ditemui Bisnis di kantornya, pekan ini, Bambang mengawali karier di industri perasuransian ketika bekerja di Lippo Life. Meski berlatar belakang pendidikan aktuaria, dia tak menekuni keahlian sebagai seorang aktuaris di perusahaan asuransi.
 
Alasannya berawal saat dia magang di sebuah perusahaan asuransi. Kala itu, Bambang melihat pemandangan kontras antara ahli aktuaria dan para agen asuransi.
 
Padahal, saat dirinya berkubang ilmu aktuaria di bangku kuliah, staf pengajar di kampusnya memberi doktrin yang membanggakan.
 
“Dosen-doesn saya kebanyakan direktur perusahaan asuransi nasional. Rata-rata mereka mengatakan kalau mahasiswa aktuaria akan menjadi orang nomor satu di perusahaan asuransi,“ kenangnya.
 
Kenyataan berbalik justru ditemuinya. “Waktu saya magang, saya melihat agen asuransi itu naik turun mobil BMW, sementara aktuarisnya naik turun bus.Rasanya ada yang salah.“
 
Besar pasak daripada tiang
 
Berbekal pendidikan atuaria yang dienyam, Bambang mantap dengan pilihan menjadi agen pemasaran asuransi.
 
Dua tahun di Lippo Life, Bambang `dibajak' oleh Nasaba Life. Saat berada di perusahaan ini, kariernya menanjak.
 
Puncak karier di industri asuransi digenggam kala pindah ke perusahaan asuransi multinasional Prudential. “Saat itu namanya masih Bali Life yang tengah proses akuisisi oleh Prudential. Jabatan terakhir saya di Prudential sebagai vice president.“
 
Bekerja di sebuah perusahaan asuransi papan atas dengan reputasi internasional, tentu Bambang mengantongi pendapatan yang tak sedikit. Apalagi dengan posisinya kala itu sebagai wakil presiden di Prudential.
 
Tak menjamin Rupanya, gaji tinggi tak menjamin jalan hidupnya serba berkecukupan. Saat memutuskan menikah pada 1999, dia dan istrinya sempat menempati kediaman pribadi di kawasan Cibubur Jakarta Timur.
 
“Istri saya biasa tinggal di wilayah selatan, saya juga demikian. Tinggal di kawasan timur, malah jadi nggak betah. Akhirnya kami memutuskan cari rumah di wilayah selatan,“ cerita Bambang.
 
Anehnya, dengan pendapatan di atas rata-rata, demikian juga dengan istrinya, Bambang mengaku tak mampu membeli rumah di daerah selatan. Gaya hidup membawa dia dan keluarganya mengalami kondisi neraca keuangan defisit. Ibaratnya, besar pasak daripada tiang.
 
Dari sinilah dia mencoba mencari letak kesalahan dalam pengelolaan keuangannya. Pergulatan tersebut mempertemukannya dengan buku karya Robert T.Kiyosaki yang berjudul Rich Dad, Poor Dad.
 
Tak gampang bagi dia menerapkan prinsip memupuk kekayaan seperti yang ditulis Robert Kiyosaki itu. Bambang butuh waktu hingga berulang kali untuk mendalami isi buku tersebut.
 
Sampai akhirnya, dia memutuskan menjual rumahnya di kawasan Cibubur.Dengan modal hasil penjualan rumah senilai Rp300 juta dan gaji bulanan dari perusahaannya bekerja, Bambang memilih menyewa rumah di kawasan Jakarta Selatan.
 
 
Berburu properti second
 
Di sinilah intuisi bisnis, sekaligus bahan yang diperoleh dari Robert Kiyosaki berjalan. Modal Rp300 juta dipakainya untuk membeli sebidang tanah di Cipete Jaksel. Tanah yang dibelinya itu lantas dibangun sebuah rumah.
 
Menariknya, saat rumah itu jadi, Bambang dan istrinya memilih untuk menyewakan kepada orang asing, sementara dia tetap tinggal di rumah kontrakan.
 
Singkat cerita, rumah tersebut dijualnya Harga jual yang diterimanya mencapai berkali lipat. Hasil dari penjualan rumah tersebut, dipakai lagi untuk mencari sebidang tanah atau rumah bekas yang sudah tak lagi dihuni, masih di kawasan yang sama.
 
Hampir setiap hari, Bambang berburu tanah maupun rumah second di kawasan Cipete Jakarta Selatan dengan berbekal informasi iklan dari surat kabar.
 
Aktivitas ini dilakukannya terus-menerus tanpa putus semangat. Tanpa disadari, saat dirinya bersama istri sudah memiliki tiga unit rumah, dia masih memutuskan tetap tinggal di rumah kontrakan. “Keluarga besar juga nggak habis pikir, punya rumah sendiri kok masih milih ngontrak.“
 
Kontrak rumah selama 5 tahun membawa bisnis jual beli rumahnya berjalan sukses. Hingga saat ini, dia telah memiliki 8 proyek properti dengan jumlah 11 tempat tinggal.
 
“Dalam setahun, setidaknya saya punya 1-2 proyek properti baru. Saya yakin, properti itu merupakan satu-satu cara bagi orang yang ingin melakukan multiplikasi aset,“ terangnya.
 
Sejak masuk ke industri properti ini, Bambang berani memutuskan pensiun bekerja dengan orang lain. Kunci dari perjalanan bisnis yang dijalaninya tak terlepas dari semangat dan kerja keras.
 
Dia mengaku, tak sedikit orang yang menilai keberhasilan bisnisnya sebagai keberuntungan alias hoki. Bagaimanapun juga, bisnis properti memang tak bisa dilepaskan dari faktor lokasi.
 
Soal ini, dia punya pembelaan tersendiri. Menurutnya, orang tak banyak yang mengetahui bagaimana cara dia menggali informasi untuk mendapatkan lahan properti di lokasi yang diminati.
 
“Saya setiap hari mencari informasi di koran, setiap hari saya berusaha bisa melihat 2-3 properti di iklan itu, kalau perlu datang untuk nawar,“ ujarnya.
 
Dia menambahkan taruhlah sebulan dihitung 20 hari, maka ada 60 rumah yang dia lihat dalam sebulan. “Kalikan setahun, ada berapa banyak rumah. Dari semua itu, paling yang deal hanya 1-2 rumah saja.
Apakah ini disebut hoki?“ .
 
Dalam urusan bisnis properti, dia lebih memilih lokasi yang kebanyakan orang menganggapnya sebagai `sampah'.
 
“Tapi saya mengubah sampah tadi menjadi berlian,“ tandasnya seraya menyebutkan sudah banyak cerita sukses (sut/[email protected])
 
*) artikel ini merupakan tayangan ulang tulisan bertajuk Mengubah 'sampah' menjadi 'berlian' yang dimuat di Bisnis Indonesia Weekend edisi 15 April 2012
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Djony Edward
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper