--- Hingga saat ini 80 perajin aktif menyalurkan barang anyaman ke yayasan. Jumlah itu, masih kecil bila dibandingkan dengan 200 perajin yang terdaftar--
Kalimantan Timur punya karya budaya yang elok. Salah satunya, cahung yang dihasilkan oleh suku Ahoeng, suku yang berdiam di Hulu Mahakam, Kabupaten Kutai Barat. Pelindung kepala berbahan pandan itu punya beragam motif, seperti cahung kallung yang motifnya diukir dan cahung tisi yang motifnya dianyam.
Namun, tahukah Anda budaya anak bangsa itu bisa jadi tak lagi ada 10 atau 20 tahun mendatang? Kekhawatiran itu dirasakan Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari, yayasan yang didirikan perusahaan penghasil gas di Indonesia, Total E&P Indonesie.
Saat ini Yayasan Bhakti Total aktif di lima program utama, salah satunya konservasi kerajinan Kalimantan yang berfokus pada penelitian serta penggalian kembali dan pengembangan budaya kerajinan tangan masyarakat adat di pedalaman Kalimantan Timur.
Yayasan Bhakti Total mengaktifkan lagi kegiatan seni dan budaya masyarakat di pedalaman Kalimantan Timur. Konkretnya, yayasan menggelar pelatihan membuat anyaman yang rapi dan dapat dijual ke pasar.
Yayasan Bhakti Total pula yang mendistribusikan anyaman-anyaman tersebut ke artshop hotel, koperasi Total E&P Indonesie, dan gelaran open house. Tahun ini Yayasan Bhakti Total berencana memasarkan anyaman ke Alun-alun Grand Indonesia dan Sarinah. Keduanya merupakan pusat perbelanjaan di Jakarta.
Ketua Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari Eddy Mulyadi mengatakan yayasan aktif menggelar pelatihan pembuatan anyaman sejak Mei 2010. Kala itu, perajin yang dilibatkan berasal dari Suku Ahoeng.
Seorang perajin anyaman dari suku Ahoeng jadi pengajar, namanya Hangin Bang Donggo. Perempuan yang saat ini berusia 56 tahun itu belajar menganyam dari melihat, mengamati, dan mencoba sendiri. Pengetahuan asalnya soal anyaman berasal dari keluarga dan masyarakat sekitar dia tinggal.
“Saya ingin membangkitkan tradisi menganyam, kesenian anyam. Saya memulainya dengan cara mengajari kawan-kawan sekitar,” kata Hangin.
Tidak hanya ingin fokus pada satu daerah, yayasan memperluas pelatihan hingga kabupaten lain. Masih pada tahun yang sama, 2010, pelatihan angkatan kedua digelar. Kali ini melibatkan suku Passer. Barang anyaman yang diajarkan adalah bakul.
Juga pada 2010 pelatihan angkatan ketiga digelar, melibatkan suku Dayak Lundayeh yang berdiam di kecamatan Krayan, kabupaten Nunukan. Anyaman yang diajarkan yakni bakul dan topi, tapi berbeda motif dengan Ahoeng.
“Usai satu pelatihan yang makan waktu 4-5 minggu, kami bagi ke dalam kelompok-kelompok dan berdiskusi soal suplai dan harga,” ucap Eddy.
Harga ditentukan oleh masyarakat, dibantu penghitungannya oleh yayasan. Harga ini mencakup biaya pengambilan bahan baku dan lama bekerja. Misal, selembar tikar yang dikerjakan hingga 2 bulan dihargai Rp900.000. Kadang, bahan baku berupa rotan saga dipasok yayasan ketika stok rotan saga di hutan daerah perajin kurang.
PELATIHAN
Pada 2011, yayasan kembali menggelar pelatihan. Suku Dayak Tenggalan di Nunukan dilibatkan. Di angkatan keempat ini Hangin mengajari cara menganyam tikar. Angkatan berikutnya, yakni angkatan kelima, dibuka. Saat suku Dayak Tahol di Malinau ikut pelatihan. Beberapa perajin diajari pembuatan topi segienam.
“Topi ini sekarang ada di museum di Sabah [Malaysia]. Bisa jadi itu dianggap karya mereka. Sekarang kita harus mulai memproduksinya,” kata Eddy.
Di Malinau, yayasan mengadakan pelatihan hingga dua kali. Bukan di tempat sama, melainkan di desa berbeda dari angkatan sebelumnya. Mereka diajarkan membuat tikar.
Pelatihan teranyar digelar yayasan pada Oktober 2012. Angkatan ketujuh ini melibatkan suku Dayah Kenyah. Mereka diajari cara membuat topi saung seling.
Menurut Eddy, sebelum pelatihan, yayasan harus meminta izin ke ketua adat besar. Sebab, topi tersebut hanya boleh dibuat oleh orang-orang Dayak Kenyah yang strata sosialnya tinggi.
“Karena niat kami adalah melestarikan budaya, akhirnya diizinkan. Syaratnya, perajin tidak boleh memakai sendiri topi itu dan tidak boleh menaruhnya di rumah,” kata Eddy.
Hingga saat ini 80 perajin aktif menyalurkan barang anyaman ke yayasan. Jumlah itu, menurut Eddy, masih kecil bila dibandingkan dengan 200 perajin yang terdaftar. Karena itu, sembari memperluas jalur pemasaran, yayasan berencana mendorong para peserta pelatihan yang tadinya tidak aktif untuk aktif memproduksi.
“Target kami 100 perajin bisa aktif tahun ini. Kami ingin memperbanyak jumlah perajin,” ucap Eddy.
Menurutnya, banyak perajin tidak aktif karena mereka tidak membutuhkan uang. Uang tidak merangsang mereka. Hasil ladang sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup.
Bila jumlah perajin bertambah, tidak tertutup kemungkinan jumlah produk anyaman meningkat. Catatan yayasan Bhakti Total, pada 2012 sebanyak 80 perajin memproduksi 980 barang anyaman. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sekitar 700 barang. Eddy menargetkan jumlah barang anyaman yang tembus 1.200 pada tahun ini.
Eddy punya harapan tinggi terhadap anyaman asal Kalimantan Timur. Dia ingin barang anyaman dinikmati masyarakat luar negeri. Kalau pasar anyaman melebar, tentu saja penghasilan yang didapat perajin bisa lebih tinggi. Lantas, apa yang diperoleh yayasan dari kegiatan semacam ini?
“Sebenarnya kami tidak dapat untung. Ini kan bukan bisnis. Manajemen Total pun tahun ini tidak menghasilkan profit. Malahan perusahaan kasih dana besar, miliaran rupiah. Semakin tahun dananya semakin bertambah,” tutur Eddy.
Sayang, dia enggan mengungkap besaran dana tahunan yang diberikan perusahaan kepada yayasan. Yang pasti, pengeluaran yayasan untuk kegiatan pelestarian anyaman di Kalimantan Timur besar. Biaya pendirian dan pemeliharaan kantor yayasan di Balikpapan, bahan baku, penyewaan pesawat untuk mengangkut anyaman, hingga biaya pemasaran. ([email protected])