BISNIS.COM, JAKARTA--Tasrif, sebutlah begitu namanya, seorang pengangguran. Umurnya 45 tahun. Dulu, 10 tahun lalu, dia seorang pengusaha. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, dia bangkrut. Hutang di mana-mana. Kini,dia hidup sebatang kara. Ditinggal anak isteri dan tidak memiliki saudara. “Hidupku hancur…”
Tasrif tidak sendiri. Di negeri ini, orang seperti Tasrif tak terbilang banyaknya. Orang yang tadinya berkelimpahan harta dan usaha yang tajir, besok sudah terlihat miskin: engga punya uang dan sengsara. Akhirnya hidup pas-pasan. Pas ada uang makan, pas tidak ada uang?
Tak ayal, banyak orang harus belajar: Bagaimana menjadi seorang wirausahawan yang sejati. Mampu menghidupi diri sendiri, menajdi berkat bagiu banyak orang.
Namun, perjalanan menuju ke era gilang gemilang itu, bukan jalan lurus. Kerap berkelok, naik dan turun. Nah…Dalam situasi itu, banyak orang yang gagal. Dia tidak siap saat jalan berkelok, dia gagal saat jalan mendaki dan terpuruk saat jalan turun.
Tak banyak kiat yang bisa jadi pegangan. Namun, Anda layak untuk menyimak, bagaimana seorang Ciputra mampu tumbuh dan berkembang sebagai seorang entrepreneurship. Simak kiatnya:
Dalam berwirausaha, kita perlu menekankan penerapan 3 prinsip fundamental. Pertama ialah integritas. Di sini, tercakup kejujuran, keteguhan dalam memegang janji, dan sebagainya yang berhubungan erat dengan Spiritual Quotient (SQ).
Kedua ialah profesionalisme, termasuk di dalamnya adalah disiplin dan pengetahuan yang bermanfaat dalam menyelesaikan beban tugas, yang berkaitan erat dengan Intelligent Quotient (IQ).
Dan ketiga ialah entrepreneurship. Unsur yang terakhir ini belum banyak dianut di Indonesia, yang menjadi alasan mengapa kita ketinggalan dari negeri lain. Entrepreneurship memiliki hubungan erat dengan Emotional Quotient (EQ) yang dimiliki seseorang.
Inilah yang masih kita perlukan: entrepreneurship! Kita perlu tahu caranya mengubah rongsokan dan sampah menjadi emas.