Bisnis.com, JAKARTA - Hari-hari ini nilai tukar rupiah makin mengkhawatirkan, hampir menyentuh sepuluh ribu rupiah per dolar AS. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya. Di halaman ini Ki Dalang sudah pernah mengingatkan, kelambanan pengambilan keputusan soal naik atau tidaknya harga BBM akan berdampak panjang.
Ditambah proses politik yang memperpanjang ketidakpastian itu, lengkaplah sudah beban yang harus ditanggung rupiah kita. Belum lagi hengkangnya sejumlah perusahaan multinasional dan krisis global yang belum reda. Sebuah sambutan selamat datang yang kurang sedap untuk Menteri Keuangan Chatib Basri dan Gubernur BI Agus Martowardojo.
Yang merisaukan bukan semata soal nilai tukar, tapi bagaimana cara kita meresponnya. Sebab hal itu berkorelasi dengan pertanyaan mendasar, ke mana sejatinya arah pembangunan perekonomian nasional kita. Sudahkah kita melangkah di jalur yang benar, atau jangan-jangan kita buta arah sehingga tidak jelas arah mana yang hendak kita tuju. Seperti para wanara yang mendadak buta karena teperdaya istri Rahwana.
Kocap kacarita. Prabu Rama mengutus Hanoman untuk menjadi duta pamungkas dalam memastikan keberadaan Dewi Shinta. Hanoman diberi wewenang untuk membawa pasukan 40 wanara pilihan.
Perjalanan dari Pancawati menuju Alengka tidaklah mudah. Menyeberangi laut luas, menembus hutan, mendaki bukit dan gunung. Dalam keadaan lelah dan menipisnya logistik, Hanoman bermaksud istirahat sejenak.
Kebetulan di tengah hutan yang sunyi terdapat padepokan yang asri, maka Hanoman memutuskan untuk menumpang sejenak. Pemilik padepokan ternyata seorang dewi yang cantik bernama Dewi Sayempraba. Ia mengizinkan Hanoman dan wadya bala wanara beristirahat, bahkan menjamu mereka dengan berbagai makanan, buah-buahan, dan minuman.
Sambutan hangat dari seorang perempuan cantik membuat Hanoman terlena dan tidak waspada. Semua yang disajikan disantap habis, nyaris tanpa sisa. Maka terjadilah insiden di luar prediksi Hanoman. Dia dan semua wanara mendadak buta. Rupanya semua sajian itu telah diberi racun. Dewi Sayempraba tidak lain adalah selir Prabu Rahwana yang diinstruksikan untuk mencegat Hanoman dan pasukan wanara.
KEBUTAAN MASSAL
Akibat kebutaan massal, pasukan khusus dan terlatih itu bergerak tak terkendali dan tanpa arah. Mereka memang bergerak, tapi tidak ke arah depan dan tidak menuju Alengka. Tidak menuju ke mana-mana. Mereka justru saling bertikai dan saling menyalahkan. Hanoman dan pasukannya bukan saja di ambang kegagalan menjalankan tugas mulia, tapi juga terancam mati jika tidak segera mendapatkan obat penawar.
Dalam situasi krisis itu muncullah Semar. Tapi Semar tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyembuhkan mereka. Yang bisa dilakukan Semar adalah menjaga kekompakan, kebersamaan, dan persatuan para prajurit. Semar juga menuntun mereka untuk mencari sosok yang bisa menyembuhkan kebutaan mereka.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Semar menemukan seekor burung Garuda Jatayu. Hanya saja kondisinya juga sangat mengenaskan. Seluruh bulunya tercerabut sehingga dia tidak bisa terbang. Ia hanya terduduk menyepi. Menjawab pertanyaan Semar, Garuda bercerita bahwa belum lama berselang dia bertarung melawan Rahwana.
Dia berniat membebaskan Shinta yang diculik dan hendak dibawa ke Alengka. Sayangnya kesaktiannya masih jauh di bawah Rahwana. Garuda babak belur dihajar, dan bahkan dicabuti semua bulunya. Tanpa bisa dihadang Rahwana melarikan Shinta ke Alengka.
Garuda budiman itu iba melihat kegigihan Hanoman dan para wanara buta menjalankan tugas negara. Satu per satu mereka dipanggil, untuk ditetesi air liur. Ternyata air liur Garuda mujarab menyembuhkan Hanoman cs dari kebutaan. Dengan petunjuk Garuda, Hanoman dan pasukannya tahu persis ke arah mana Rahwana melarikan Shinta. Sudah jelas jalan yang harus ditempuh. Sebelum berpisah, Semar dan Hanoman berkolaborasi untuk memulihkan kondisi Garuda.
Menemukan kembali Sang Garuda, adalah kunci utama di balik keberhasilan Hanoman menunaikan tugas. Berkat Sang Garuda, kelak dalam pertempuran pamungkas Ramawijaya berhasil mengalahkan Rahwana dan merebut kembali Shinta.
Di tengah situasi global yang tidak kondusif saat ini, di tengah rupa-rupa problem yang mendera, di tengah kebimbangan akan arah dan tujuan pembangunan, bangsa Indonesia bak pasukan wanara yang buta arah. Pemimpin buta, prajurit pun buta. Kepanikan dan kegalauan luas melanda. Hilang jati diri dan karakter luhur yang pernah sangat diagung-agungkan.
Agar kebutaan itu tidak semakin menyesatkan dan menjauhkan kita dari jalan yang benar, kita harus punya kerendah-hatian untuk bertanya kepada Semar alias rakyat jelata. Rakyat tidak bisa menjawab keruwetan persoalan yang kita bawa. Tapi rakyat akan menuntun kita kepada Garuda Pancasila.
Kendati sudah terlalu lama dia hidup dalam kesunyian, sekian lama diabaikan dan dipinggirkan, tapi Garuda Pancasila akan memberi kita jalan keluar. Asal kita mau kembali kepadanya, dia tidak akan segan mengucurkan air kebijakan untuk memandu dan membimbing kita.
Asal kita mau kembali kepadanya, Sang Garuda Pancasila akan memberikan jawaban atas semua pertanyaan, memberikan arah untuk mengakhiri kebimbangan dan kegalauan massal.
Rupanya banyak di antara kita, di kalangan pemimpin dan pemuka, para elite politik, terlalu percaya diri dan menganggap tidak butuh lagi Pancasila. Pancasila dianggap barang lama, cukup dihormati sebagai warisan masa lalu. Mereka adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Mereka melihat, tapi sejatinya mereka buta. Jika sosok seperti ini menjadi pemimpin, maka seluruh bangsa akan dibawa entah ke mana. Tanpa arah, tanpa sasaran dan tujuan yang jelas.
Di hari-hari ketika kelahiran Pancasila belum lama kita peringati, sudahkah kita benar-benar punya kerendahan hati untuk kembali kepada Pancasila? Sumangga.