Bisnis.com, JAKARTA - Sepanjang sejarah, dalam persoalan hukum, politik, pendidikan, hingga wirausaha, perempuan kerap mendapat tempat kedua setelah lelaki.
Stereotip ini sulit hilang hingga saat ini, meski ada sejumlah kasus yang menempatkan perempuan di atas lelaki.
Salah satunya, jumlah UKM di Indonesia yang sebagian besar, tepatnya 60%, dikelola perempuan.
David McClelland, pengemuka teori kebutuhan, menyatakan need of achievement memiliki hubungan dengan motivasi melakukan wirausaha yang dilakukan lelaki. Pada 1960 hingga 1970-an sudah mulai ada wirausaha/ pebisnis perempuan sebagai bentuk demonstrasi terhadap hal tersebut.
Clara Moningka, psikolog sekaligus Ketua Program Psikologi Universitas Bunda Mulia, Jakarta, mengatakan bila stereotip seperti itu berubah, akan lebih mudah menumbuhkan jiwa wirausaha di diri perempuan. Biasanya perempuan berumah tangga, kalau tidak bekerja di kantor, menghabiskan waktu di rumah untuk memasak dan sebagainya.
Namun, mereka tidak didorong untuk mengembangkan kemampuan yang sebenarnya dimiliki sebagai bentuk aktualisasi diri dan peluang menambah penghasilan keluarga. Pada akhirnya, perempuan merasa terperangkap dalam posisi sebagai perempuan berumah tangga.
“Menumbuhkan kewirausahaan memang tidak bisa instan, butuh kemauan dan motivasi dari orang tersebut. Kemauan untuk meningkatkan diri dan mau keluar dari rutinitas,” kata Clara kepada Bisnis, Senin (15/7/2013).
SUKSES BERBISNIS
Lianna Gunawan, 35 tahun, satu dari segelintir ibu yang mendirikan usaha sendiri. La Spina, sepatu khusus perempuan yang dibalut kain tradisional khas Indonesia, adalah bukti usaha yang dirintisnya sejak 2009. Saat ini Lianna telah memiliki 20 karyawan dan satu workshop di Bandung, Jawa Barat.
Produksi sepatunya tak main-main. Saban bulan La Spina menghasilkan 1.000 pasang sepatu. Harga sepatunya mulai Rp300.000 hingga jutaan rupiah per pasang. Mereka diekspor ke Namibia, Jepang, dan Eropa, selain dipasarkan di Indonesia.
Di tengah pergulatannya dengan La Spina, Lianna tetap memprioritaskan keluarga. Awalnya, ketika membangun usaha, anak semata wayangnya selalu ikut saat Lianna bekerja. Ketika bisnis semakin berkembang, Lianna tidak mungkin lagi mengajak buah hatinya ikut terus-menerus.
Akhirnya, pada usia anak 3 tahun, Lianna menyewa pengurus anak. “Saya sadar pekerjaan utama saya sebagai ibu, kedua baru mengurus bisnis. Sejak awal saya mengajak anak bicara soal ini,” tutur Lianna.
Konkretnya, Senin hingga Jumat Lianna mengurus La Spina, ikut rapat, dan mengatur pameran. Sabtu dan Minggu khusus untuk keluarga. Namun, bila di hari kerja ada kabar dari putrinya yang menginginkan Lianna berada di dekatnya, Lianna pasti meninggalkan pekerjaan sebentar. Pekerjaan lantas dioper ke staf atau jika ada rapat dijadwal ulang.
Cerita lain datang dari Nilam Sari, perempuan pebisnis ini mengaku tantangan terbesar dalam berprofesi sebagai pengusaha sekaligus seorang ibu adalah menentukan skala prioritas dan membagi waktu.
Ketika dia memulai bisnis berjualan makanan dengan merek Piramizza sekitar 7 tahun yang lalu, dia bersama suaminya masih bisa mengelola semua sendiri, mulai dari memasak, belanja bahan baku, sampai pencatatan keuangan.
Namun, seiring berjalannya waktu, bisnis di bawah PT Piramida Zahira ini makin berkembang, dan Nilam mulai menemukan untuk membentuk sebuah tim manajemen.
Kerjanya dulu yang 24 jam pun kini dibatasi sesuai jam kantor. Dia juga menerapkan pemisahan yang ketat terhadap keuangan pribadi dan usaha. Tiap satu outlet, dulu uangnya ditempatkan di satu dompet.
Dua outlet, dua dompet. Setelah outlet-nya mencapai 10, barulah dia mulai rajin belajar ke konsultan maupun ke rekan-rekannya yang juga berbisnis.
Cerita sukes lainnya diutarakan Jessie Dewi. Baginya menjadi seorang mompreneur adalah sebuah jalan yang harus dilakoni dengan sungguh-sungguh. Sebagai ibu dari seorang anak berusia 14 tahun, Jessie harus pintar membagi waktu. Apalagi saat ini, wanita berusia 31 tahun itu menyandang single parent, dia mesti banting tulang membiayai kebutuhan anak sendirian.
Beruntung, bisnis furniture di bawah nama Natural Jess yang kini digelutinya mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Setidaknya membiayai kehidupan diri sendiri dan anak.
Pendapatan per bulan dari bisnis yang dilakoni Jessie tidak besar-besar amat. Meskipun dia menolak membeberkan berapa jumlah yang diterima. “Sudah
bisa nyewa apartemen dan beli mobil dari hasil usaha juga sudah Alhamdulillah,” ujarnya.
Showroom furnitur Natural Jess, yang dulunya bernama Jess Guest berdiri sejak 2008. Bisnis yang digeluti Jessie bergerak di bidang furnitur berbahan alami. Beragam produk seperti sofa, kursi, lemari, meja dan lainnya terbuat dari rotan. Bukan hanya pasar domestik saja yang ingin dia sasar. Target ke depan, sebanyak mungkin produk-produk Natural Jess bisa terbang jauh-jauh ke luar negeri. Apalagi, produk-produk yang dihasilkan cukup bersaing dengan menggunakan bahan berkualitas.
Menurut Jessie, berwirausaha adalah sebuah pilihan. Menjadi mompreneur juga adalah sebuah tantangan tersendiri. Satu sisi dia harus mengurus pesanan,di sisi lain dia bertanggung jawab mengurus anak semata wayangnya. Itulah alasan sang anak kini ditempatkan di boarding school agar bisa terurus dengan baik. Jika weekend tiba, baru dia habiskan waktu dengan anak. ([email protected])
GLORIA N. DOLOROSA, MIFTAHUL
KHOER & BUNGA CITRA NURSYIFANI