Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Slamet Rahardjo: Indonesia Miskin Film Berkualitas

Bisnis.com, JAKARTA— Siapa tidak kenal Slamet Rahardjo. Aktor senior yang sudah puluhan tahun malang melintang di jagat perfilman dan panggung teater Tanah Air.Sosoknya yang luar biasa dan lekat dengan pembawaan ningrat ini berkontribusi pada perkembangan

Bisnis.com, JAKARTA— Siapa tidak kenal Slamet Rahardjo. Aktor senior yang sudah puluhan tahun malang melintang di jagat perfilman dan panggung teater Tanah Air.

Sosoknya yang luar biasa dan lekat dengan pembawaan ningrat ini berkontribusi pada perkembangan perfilman Indonesia.

Debut keaktorannya dimulai saat membawakan tokoh Amallo dalam film Wajah Seorang Lelaki (1971), yang disutradarai tokoh film legendaris Tanah Air, Teguh Karya.

Bagaimana pandangannya me ngenai manajemen seniman dan industri film dalam negeri? Berikut petikannya.

Seberapa penting manajemen dalam kesenian, dalam hal ini dunia film?

Manajemen itu penting untuk artis. Apalagi jika dikaitkan dengan bisnis. Kami memang membutuhkan sebuah manajemen.

Pada saat proses penciptaan, kami juga sangat memerlukan manajemen.

Kita semua tahu bahwa proses kreatif tercipta dari gagasan. Gagasan itu sendiri sudah diatur sejak berbentuk konsep dalam pikiran.

Dalam pembuatan sebuah film, diperlukan gambar cerita. Semua itu ter-manage dalam ide.

Jadi, secara garis besar, manajemen itu perlu karena semua hal yang tidak di-manage dengan baik, ya tinggal menunggu kehancurannya.

Khalayak memandang bahwa seniman dalam negeri masih jauh dari kata sejahtera.

Bagaimana Anda menyikapinya?

Saya melihat fenomena ini terjadi bukan dari sisi keaktoran ataupun keaktrisan seseorang.

Jika terdapat seniman yang tidak sejahtera, hal ini terjadi karena dia tidak sanggup me-manage itu tadi.

Hal ini disebut sebagai mismanagement.

Dalam dunia film banyak yang keteteran masalah manajemen waktu.

Banyak artis yang bekerja seperti tak kenal diri. Mereka bekerja dalam sebuah produksi kejar tayang.

Hasilnya, ya tubuh mereka rusak. Jadi jangan heran jika uangnya pun terbatas. Idealnya para seniman bekerja 8 jam hingga 10 jam.

Jika ada yang bekerja lebih lama dari rentang waktu itu, namanya sense binatang, bukan sense manusia.

Tidak hanya di dunia film, di dunia seni lukis banyak kita temukan pelukis yang dalam pandangan publik [hidupnya] tidak karuan.

Padahal mereka dapat cepat kaya jika dilihat dari harga atas karya seni yang dihasilkan.

Nilainya bisa ratusan juta. Namun mereka [pelukis] kerap berpikiran, ‘bagaimana nanti saja’. Nah itu yang salah.

Apakah sineas Indonesia sudah ter-manage dengan baik?

Di Tanah Air, dikenal Mira Lesmana (Miles). Dia adalah salah satu sineas yang serius dalam menggarap film.

Saat heboh film Laskar Pelangi, dia dan Riri Reza benar-benar mempersiapkan semuanya dari A hingga Z.

Mira tidak melakukan semuanya dengan instan. Dia dan timnya mempersiapkan riset, audisi, dan melakukan ini dan itu dengan serius.

Saya rasa, salah satu sineas terbaik di Indonesia adalah Miles.

Apa maksud instan itu?

Sebenarnya saya malas bicara tentang instan karena hal itu merupakan salah satu bentuk penghinaan terhadap seni.

Contohnya saja sinetron. Siapa bilang jelek? Sinetron itu bagus, karena sebenarnya memiliki banyak pengetahuan untuk masyarakat.

Namun sayangnya para pelaku yang terlibat dalam produksi sinetron, banyak yang memilih sistem kejar tayang.

Akibatnya unsur konten cerita tidak dipikirkan kualitasnya.

Jadi menurut saya, sinetron kejar tayang itu sama dengan penghinaan terhadap industri film.

Bagaimana Anda menilai sebuah film itu berkualitas atau tidak?

Bagi saya, film itu sama halnya dengan buku yang serius. Buku yang kurang sensasional biasanya kurang laku.

Jadi, jangan takut untuk membuat karya serius.

Dan dengan segala maaf, film yang berkualitas di Indonesia dalam catatan saya, kurang dari lima judul setiap tahunnya.

Menurut Anda, tema film Indonesia saat ini berkiblat kemana?

Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja tayangan televisi saat ini, pendekatannya lebih ke sensasi.

Pola pikir masyarakat dibentuk dengan sesuatu yang sensasional, bukan tontonan yang cerdas dari sisi esensi.

Jadi jangan heran jika muncul tayangan televisi yang disiarkan secara langsung menampilkan adegan siram menyiram ke wajah seseorang.

Kondisi yang sama juga terjadi di film Indonesia.

Bagaimana sebaiknya mengedukasi penonton?

Ada forum untuk menjadi wadah penonton dalam mengapresiasi film, namanya Kineklub.

Setelah usai menonton sebuah film, penonton kemudian mendiskusikan film tersebut.

Dari diskusi ini, maka penonton paham seperti apa akting, sinematografi, skenario film yang bagus.

Ajang seperti ini akan mengasah kemampuan penonton dalam mengapresiasi film.

Jadi lebih kritis. Dulu, guru saya alm. Teguh Karya menyatakan bahwa pertunjukan film atau teater adalah upacara bersama, di mana penonton dan apa yang ditayangkan berjalan parallel.

Artinya, untuk para sineas bukan membuat film seperti yang mereka tahu. Tetapi mesti membuat film yang semuanya pasti kenal.

Sekarang ini, banyak film yang dibuat hanya berdasarkan pengetahuan yang dimiliki para sineas tetapi tidak dikenal masyarakat.

Bagaimana penilaian Anda tentang sejumlah film yang terbit dalam tiga orde pemerintahan?

Film itu sama halnya dengan anak yang lahir dari sebuah kondisi. Pada Orde Lama, setiap film yang muncul mengandung semangat kemerdekaan.

Pada zaman itu, seni menjadi alat propaganda.

Saat Orde Baru berkuasa, mentalitas di masa pemerintahan Soeharto justru menghancurkan bangsa.

Pembangunan hanya sekedar fisik, bukan mental.

Jadi film-film yang beredar saat itu bertema perlawanan seperti Tjoet Nja’ Dhien [film produksi 1988 yang disutradarai Eros Djarot, dan menjadi film
Indonesia pertama yang ditayangkan di festival Cannes 1989].

Atau karya Sjumandjaja [Andjingandjing gladak, 1972], Teguh Karya [Wadjah Seorang Laki-laki, 1971], dan lainnya.

Pada masa Orde Baru itu, para sineas sangat giat dan bersemangat dalam berkarya. Mereka berkarya di bawah tekanan, tetapi malah menjadi sebuah
tantangan tersendiri.

Membuat film pada zaman Suharto itu capek, karena film belum jadi sudah di sensor.

Jadi bagi saya, sudah tidak ada yang lebih bagus atau jelek. Dari situ justru muncul kepuasan lahir.

Sebaliknya, saat era reformasi ini, film yang muncul tidak karuan. Semua sampah pun masuk.

Memang banyak yang memiliki teknik yang bagus, tetapi tidak tahu mau dibawa kemana kiblatnya.

Maka jangan heran jika saya menyebut hanya lima judul film per tahun yang bagus.

Apa yang Anda harapkan dari pemerintah saat ini?

Saya menunggu realisasi janji dari Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama yang akan memberikan beasiswa kepada para sineas muda.

Banyak sineas muda berbakat tetapi tidak punya biaya melanjutkan pendidikan.

Harapan saya untuk Presiden, tolong sampaikan bahwa Indonesia harus berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan.

Kita tidak dimiskinkan tetapi dibodohkan dengan sistem yang bernama kapitalisme. Itu kalimat seorang pejuang bernama Soekarno.

Tolong sampaikan itu.  (ra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Miftahul Khoer
Editor : Rustam Agus
Sumber : Diena Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper